"Jangan-jangan, psikologi yang saya pahami adalah buah dari kerja-kerja relasi kuasa di luar sana, yang saya tidak mengerti, tapi diam-diam masuk dan kita meyakininya sebagai kebenaran. Parahnya, kita mempraktikkannya tanpa kesadaran kritis" (Jumat, 11 Oktober 2024). Asumsi itu muncul setelah saya baru selesai mengikuti kegiatan Konferensi Nasional yang diadakan oleh Fakultas Psikologi UGM. Kegiatan ini mengangkat tema "Menyala Indonesiaku: Psikologi sebagai Pilar Kesehatan Mental Generasi Emas". Dalam kegiatan itu, ada satu kajian yang menarik perhatian saya yakni, psikologi diskursus atau psikologi kritis. Sebuah kajian yang sedang saya minati belakangan ini. Berikut ini adalah sedikit dari catatan saya mengenai kegiatan itu yang kemudian saya gabungkan/menyadur dari artikel Prof. Teguh Wijaya Mulya. .................. Teori-teori psikologi yang sudah mapan belum tentu dapat digunakan secara langsung untuk membaca fenomena psikologis di Indonesia. Perlu melihat ...
Salah satu peradaban yang paling gemilang di masa lampau, Mesopotamia, ini bisa runtuh karena perilaku eksploitatif yang terlalu mubazir sehingga alam punya kemauan untuk meruntuhkannya. Begitupun dengan sekarang, ketika orang-orang mulai mengglorifikasikan "Cogito Ergo Sum", tampaknya kehancuran semakin dekat di depan mata. Bahwa kerusakan alam yang disebabkan oleh antroposen ini justru mematikan antroposen itu sendiri. Salah satu fakta psikologis yang paling terasa adalah munculnya sindrom kecemasan dari tingkat lokal hingga global ketika suhu bumi mulai mengalami peningkatan sekarang ini. Proyek-proyek deforestasi, gentrifikasi, industrialisasi, dan teknikalisme, yang semangatnya bertumpu pada antroposen faktanya memberi sumbangsih bagi kematian antroposen sendiri. Ketika situasi mulai tampak mengkhawatirkan, upaya pertolongan pertama yang paling dekat adalah mengupayakan bagaimana caranya agar manusia tetap eksis di tengah kehancuran ekosistem. Demi menghindari kematia...