Langsung ke konten utama

MENGKAJI PEMIKIRAN GLENN ALBRECHT (BAGIAN 1)

 


Glenn Albrecht. Filsuf satu ini memang jarang sekali diketahui banyak orang. Tapi tulisan-tulisannya memiliki daya tonjok psikologis yang membuat kita menyadari, bahwa masalah utama kita sekarang ini adalah sedang menghadapi perang emosional yang ia sebut Perang Dunia ke-III.

Sebelum kita mengetahui seperti apa perang emosional menurut Albrecht, maka dalam artikel ini saya akan mengulas terlebih dahulu tentang biografi singkat Glenn Albrecht. Ulasan biografi ini memang penting, karena menurut saya bahwa spirit pemikiran seorang tokoh hampir sebagian besar bertolak dari pengalaman masa lalunya. Begitupun dengan Glenn Albrecht.

Biografi singkat Glenn Albrecht ini saya ambil dari bukunya berjudul "Earth Emotion" yang diterbitkan tahun 2019 lalu. Saya sementara sedang membaca bukunya. Bukunya memang sangat keren dan enak dibaca semua kalangan. Saya merekomendasikan Anda untuk membacanya.

Glenn Albrecht lahir di kota Perth tahun 1953. Tepatnya, dia lahir di kampung Noongar, kota Perth. Perth merupakan kota yang berada di South West of Western Australia. Ayah Albrecht bernama Tony Albrecht, ibunya bernama Thelma. Ibunya ini lahir di Majimup, sementara ayahnya lahir di Kolombo tahun 1926.

Dari garis keturunannya, Albrecht memiliki darah campuran Belanda, Portugis, dan Sri Lanka. Karena itulah, kulitnya berwarna kecoklatan sehingga menurutnya sering menjadi objek perundungan teman-teman masa kecilnya. Teman-temannya sering merundungnya dengan stigma rasis Aborigin. Dari proses ia kerap menjadi objek perundungan tersebut, maka ia sekarang punya perhatian lebih untuk melawan stigma rasis yang tertuju terutama kepada orang-orang Aborigin di Australia.

Pembelaannya pada orang-orang Aborigin tersebut tampak dari upayanya membela atau bersama-sama menjaga kelestarian pola hidup Aborigin yang selalu hidup bersama alam. Bagi orang-orang Aborigin, mereka sudah punya ‘sense of place’ yang tinggi dengan tempat tinggalnya. Sehingga jika tempat tinggalnya dihancurkan, maka hal itu akan berdampak negatif secara psikologis.

Olehnya itu, Albrecht rela mengorbankan dirinya untuk membela hak-hak hidup orang-orang Aborigin tersebut. Pembelaannya terhadap hak-hak hidup itu punya makna “simbiosis” (istilah simbiosis ini akan saya ulas di artikel saya selanjutnya), makna itu berarti bahwa membela hak hidup masyarakat sama saja dengan membela hak-hak pohon, tanah, dan segala non-manusia lainnya. Hal ini karena antara manusia dan non-manusia adalah satu ikatan kerjasama yang tak terpisahkan, yang diistilahkan Albrecht sebagai simbiosis

Perasaan mencintai alam mulai tumbuh di dalam diri Albrecht ketika ia menjadi seorang pecinta burung “budgie”. Suatu saat, ia melihat burung itu diterkam ular di dalam sangkarnya. Ular itu menyantap burung tersebut. Karena burung yang ditelan ular itu terlalu besar, maka ular tersebut tidak bisa keluar dari sangkar. Bibi Albrecht melihat kejadian itu lalu membunuh ular itu bersamaan dengan matinya burung tersebut. Albrecht merasa sedih dengan proses bunuh-membunuh itu. Dari kejadian inilah maka tumbuh rasa cinta (kepedulian) Albrecht terhadap semua makhluk hidup.

Melalui kejadian itu, Albrecht lalu menganggap bahwa makhluk hidup lain adalah juga kerabat kita bersama. Anggapan bahwa semua adalah kerabat adalah suatu bentuk sikap hidup bersama (living together) yang belakangan ia sebut sebagai “symbiocene” (istilah ini akan saya ulas di lain kesempatan).

Keseriusannya dengan kehidupan tersebut membawanya pada prinsip hidup yang sering ditanamkan kakek-neneknya di masa lampau yakni, “Bahwa jika Anda ingin mengetahui apa yang terjadi di sekitar anda (terutama di hutan) adalah dengan selalu mengaktifkan indera pendengaran Anda”. Perasaan keintimannya di tengah alam semesta ini (tanah, udara, satwa liar dan seterusnya) yang ia sebut “endemofilia”, merupakan bentuk emosi yang terikat pada tempat-tempat khusus tertentu dan kecintaan pada sesuatu yang unik dimiliki alam semesta.

Ketika Albrecht berusaia 12 tahun, ayahnya menemukan bahwa ia sudah memiliki lebih dari 120 burung di halaman belakang rumah, ditambah satu kolam yang penuh dengan ikan dan kura-kura. Ayahnya terlambat menyadari bahwa ia sudah punya kontak intens dengan hewan-hewan tersebut, yang mana hewan-hewan itu menurutnya merupakan ekspresi emosi-bumi-positif.

Pada usia 16 tahun, kondisi psikologisnya terguncang ketika ayahnya meninggal dunia dengan bunuh diri, karena itulah ia akhirnya berjuang mandiri bersama ibu dan adik laki-lakinya demi mengamankan kebutuhan emosional dan fisiologis mereka. Sebagaimana telah saya ulas di atas, bahwa selama di sekolah, ia kerap di bully oleh teman-teman karena warna kulitnya yang tampak gelap. Ia sering disebut “negro” oleh beberapa orang kulit putih di Australia.

Karena itulah, empati awalnya terbentuk bersama orang-orang Aborigin di Australia yang kerap juga menjadi objek rasis kepada mereka. Hal ini yang kemudian membawanya pada pembelaan atas kehidupan orang-orang Aborigin yang kerap dipandang “sepele”. Berangkat dari tindakan rasis tersebut, ia lalu menjadi pembaca setia filsafat eksistensialis. Ia haus akan pengetahuan tentang kondisi manusia.

Pasca lulus dari universitas, ia memilih bekerja dan berkebun untuk memenuhi nafkah materil maupun psikologis keluarganya. Baginya, berkebun membuatnya tetap dekat dengan bumi, memelihara bumi, serta memaknai filosofi bumi. Karena keasyikannya meneliti tentang “burung”, maka hal ini telah mengantarkannya menjadi ahli burung di University of Western Australia.

Olehnya itu, ketika ia melihat penebangan hutan secara sembarangan maka ia merasa jijik. Hal ini karena moralitasnya sudah terikat dengan keberadaan hutan tersebut. Rasa jijik yang membuatnya senang disebut sebagai “anarcho-greenie”.

Albrecht merupakan lulusan ilmu sosial (sosiologi) dan kemudian melanjutkan mengambil bidang filsafat (PhD). Untuk memperoleh gelar filsafat, ia memilih topik untuk mengkaji sejarah gagasan yang berkaitan dengan konsep organikisme yang menjelaskan tentang kehidupan organisme alami melalui teks-teks Yunani kuno, para idealis Jerman, Karl Marx, dan para idealis Inggris.

Filsafat organik dan dialektika Hegel sangat menonjol dalam studi filsafatnya. Untuk mendalami gagasan tersebut, ia dibimbing oleh Julius Kovesi yang setiap saat mengawasinya di University of Western Australia. Julius sangat pandai menguraikan pemikiran Hegel yang selaras dengan minat kajiannya.

Selain itu, ia juga dibimbing oleh filsuf Hegelian lainnya yakni Dr. Bill Doniela yang bekerja di Universitas Newcastle. Baginya, untuk bisa memaknai kehidupan alam semesta seperti tanah, pohon, dll, anda harus punya cinta terlebih dahulu sebelum motivasi anda muncul untuk melindunginya menjadi sesuatu hal yang penting menurut anda.

Cinta yang tumbuh dari dalam diri anda terhadap kehidupan alam semesta itu mengesampingkan afiliasi politik. Cinta terhadap tempat adalah topopholia, cinta terhadap bumi adalah biofilia. Bagi Albrecht, cinta kita terhadap bumi dapat menstimulasi emosi-bumi-positif tertransfer ke dalam diri kita sehingga muncul ‘sense of place’ kita dengan bumi.

Sekarang ini, Albrecht masih terus menggelorakan isu-isu menjaga kelestarian hidup bersama (living together) melalui istilah yang ia ciptakan yakni symbiocene. Istilah ini muncul dari studinya tentang orang-orang yang menderita akibat tekanan perubahan lanskap. Penderitaan psikologis yang dirasakan orang-orang yang hidup ditengah perubahan lanskap ini ia menyebutnya dengan istilah solastalgia. Istilah ini saya akan ulas di lain kesempatan. Pemikiran Glenn Albrecht menarik untuk kita kaji secara perlahan-lahan. Tulisan saya berikutnya akan menjelaskan pemikirannya.

 

Ambon, 10 Juli 2023

MKR Pelupessy

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Permainan Hidup

Di saat realita berganti wajah,  kau hadir, selalu tanpa esensi.  Kadang kau bahagia, hari ini kau sengsara,  besok kau memuakkan.  Hidup. Memang sebatas permainan.  Gelar yang kau bawa ke mana-mana,  di tempel di atas almanak,  undangan, koran, brosur, pamflet,  dan sejenisnya,  tak ku temukan esensi di sana.  Memang, hidup hanya sebatas permainan.  Aku melihat, sarjana hukum,  tak paham arti keadilan.  Aku melihat, sarjana ekonomi,  tak paham arti kesejahteraan.  Aku melihat, sarjana fisika, kimia, tak paham arti keharmonisan alam.  Aku melihat, sarjana sosiologi,  tak paham arti kerukunan.  Aku melihat, sarjana politik.  tak paham arti etika politik.  Aku melihat, sarjana filsafat,  tak paham arti kebijaksanaan. Kau hadir, selalu tanpa esensi.  Memang, hidup sebatas permainan.  Hanya sedikit yang p aham arti keadilan, kesejahter...

Jalan-jalan ke Benteng Amsterdam, Bertemu Putri Duyung-nya Rumphius

Hari ini, beta ingin menceritakan tentang pengalaman beta jalan-jalan ke benteng Amsterdam, desa Hila, kecamatan Leihitu, Maluku Tengah. Di Maluku, benteng-benteng peninggalan Portugis, Belanda, dan Spanyol terlampau banyak.  Ada benteng Victoria di pusat kota Ambon, benteng Durstede di pulau Saparua, benteng Orange di Ternate, benteng Kastela, benteng Toloko, dan masih banyak lagi. Hadirnya beberapa benteng ini membuktikan bahwa Maluku pada masanya sempat menjadi pusat perniagaan rempah-rempah.  Dalam beberapa catatan sejarah, seperti yang di tulis Adnan Amal, bahwa setiap benteng memiliki fungsinya masing-masing. Misalnya, benteng Victoria atau benteng Kastela, biasanya digunakan sebagai kantor Gubernur. Ada juga benteng yang berfungsi sebagai lokasi pertahanan, seperti benteng Toloko.  Selain itu, ada juga benteng yang digunakan sebagai tempat penyimpanan rempah-rempah (loji), seperti benteng Amsterdam. Benteng Amsterdam ialah salah-satu benteng yan...

"MITOS PRIBUMI MALAS"

( Ilustrasi pribumi. Lukisan ) Istilah "mitos pribumi malas" ini saya temui dari buku hasil penelitian yang ditulis Tania Murray Li dan Pujo Semedi (2022). Buku itu berjudul "Hidup Bersama Raksasa". Maksudnya, masyarakat hidup bersama perusahaan perkebunan. Kembali ke soal istilah, "Apakah pribumi kita benar-benar berwatak pemalas? Ataukah ini hanya mitos saja agar kita merasa inferior dalam mengelola sumber daya yang ada secara mandiri dan harmonis?" Jika kita periksa lembar-lembar sejarah, kita akan temui banyak fakta tentang mustahilnya pribumi kita punya watak pemalas. Kalau pribumi kita pemalas, maka tidak mungkin waktu itu pribumi kita bisa membuat perahu lalu mengarungi samudra sampai ke Madagaskar. Mustahil juga pribumi kita waktu itu melakukan perdagangan internasional sampai di anak benua India, lalu dari situ bahan-bahan dagang kita (putik cengkih, lada, dan pala) tersebar ke seluruh Eropa.  Usaha pribumi kita melakukan perdagangan internasional...

Baileo sebagai Tempat Musyawarah ("Hablumminannas?)

Baileo (rumah adat), di berbagai negeri/desa punya bentuk/arsitektur yang cukup beragam. Ada Baileo patasiwa dan ada patalima. Ulasan patasiwa dan patalima punya kontroversi tersendiri (bisa baca di buku Bartels). Karena kontroversi, maka Beta tidak masuk ke pembahasan tsb. Beta mau lihat, sejauhmana makna bangunan Baileo ini dibalik kepala orang Maluku. Baileo identik dengan istilah "balai" (istilah ini masih di perdebatkan), adalah tempat musyawarah para tetuah. Dalam sejarah manusia (bisa baca buku Yuval Noah Harari), masyarakat mulai mengenal sistem musyawarah ini sejak manusia lepas dari sistem berburu-meramu-nomaden. Harari mengatakan, perpindahan dari sistem berpikir nomaden ke masyarakat "fiksi - kognitif" yang mengandalkan akal sebagai alat musyawarah, adalah loncatan peradaban yang sangat luar biasa sekali. Artinya, jika kita turunkan ulasan ini ke makna "Baileo" maka sebetulnya masyarakat kita zaman dulu punya sistem berpikir yang s...