Langsung ke konten utama

DIKENDALIKAN MESIN KECERDASAN BUATAN, MENGERIKAN


(Contoh Kecerdasan Buatan Mengendalikan Kita Semua)
 

Apakah di masa depan manusia masih punya kebebasan untuk mengendalikan alam semesta? Ataukah nanti tergantikan oleh sistem informasi (artifisial inteligensi) yang akan mengendalikan kita semua? Setelah saya nonton film "Mission: Impossible - Dead Reckoning Part One" sekitar dua hari lalu, saya mulai khawatir tentang bagaimana kalau 'artifisial inteligensi' ini yang nantinya mengendalikan kita semua. 


Di dalam film itu, menceritakan tentang bagaimana upaya geng Ethan Hunt berusaha menghentikan 'artifisial inteligensi' yang mampu mengendalikan manusia, bahkan bisa menentukan kapan seseorang itu mati pasca 'artifisial inteligensi' itu berubah menjadi entitas. Di dalam film itu, tampak bahwa ketika 'artifisial inteligensi' telah berubah menjadi entitas, maka ia seolah-olah telah menjadi Tuhan bagi semuanya. 


Dari film itu saya mulai perhatikan kondisi sekarang ini, bahwa salah satu gejala yang membuat saya semakin yakin 'artifisial inteligensi' ini mulai mengendalikan kita semua adalah dengan hadirnya kumpulan kata-kata di kolom mesin ketik smartphone milik kita semua. Misalnya, kalau saya mau tulis kata "tulisan" di mesin ketik maka tiba-tiba muncul kata tertentu sesuai dengan apa yang sedang mau kita tulis/pikirkan (lihat gambar di atas). Kata yang muncul itu, apakah suatu koreksi atau perintah bagi kita, spontan kita meng-klik-nya karena selaras dengan maksud kita. 


Seolah-olah mesin ketik yang tersedia di smartphone yang kita pegang sekarang ini mampu menebak apa yang sedang kita pikirkan. Gejala ini merupakan hasil dari 'artifisial inteligensi' (kecerdasan buatan). Kekhawatiran saya ke depan, tentang apa yang sedang kita imajinasikan, ini semua mudah ditebak oleh mesin kecerdasan buatan (algoritma). Dengan kata lain, masa depan kita dikendalikan oleh algoritma yang kita ciptakan sendiri. 


Jika ke depan kita dikendalikan oleh mesin algoritma (saya menyebut "logika buatan"), lantas bagaimana dengan peran afeksi (emosional) bagi kehidupan? Apakah "logika buatan" ini mampu merasakan penderitaan orang lain? Mampu merasakan bahwa dirinya telah merusak relasi manusia? Mampu merasakan bahwa ia telah membunuh manusia lainnya? Mampu merasakan yang lain-lain? Saya khawatir membayangkan jika suatu saat semua akan terjadi, dan kita semua dikendalikan oleh "logika buatan" ini. 


Lebih jauh lagi, saya mulai khawatir, misalnya jika "logika buatan" bahkan mengendalikan proses pengambilan keputusan kita untuk meraih kebahagiaan bersama melalui eksploitasi terhadap alam. Apakah "logika buatan" punya perasaan bahwa alam itu sungguh penting bagi kelangsungan hidup bersama? Jika ia, mana buktinya?


Bagaimana jika "logika buatan" ini adalah hasil karya para ilmuwan yang berpandangan utilitarian? Yang hanya mengejar kenikmatan sesaat? Demi efisiensi dan efektivitas? Demi modernisasi? Dan kesuksesan rasionalitas? Kalau dipikir-pikir lebih lanjut, sangat membahayakan menurut saya pribadi. Mengerikan.


MKR Pelupessy

15 Juli 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Islam Masuk ke Siri-Sori Islam

Sampai detik ini, sejarah masuknya Islam ke pulau Saparua, tepatnya di negeri Siri-Sori Islam masih menjadi misteri. Ada pendapat mengatakan bahwa masuknya Islam ke Siri-Sori Islam tepat pada tahun 1212 masehi. Apakah pendapat ini benar demikian? Wallahua’lam. Jika kita mengatakan Islam masuk ke Saparua, tepatnya di Siri-Sori Islam pada abad 11/12 masehi, maka bisa dikatakan bahwa pendapat itu “hampir” benar adanya. Memang, pada abad 11/12 masehi ini Islam masuk ke Nusantara dibawa saudagar muslim asal Persia. Buktinya ialah pengaruh bahasa Persia dikalangan kerajaan-kerajaan Nusantara tentang kebiasaan duduk “bersila”. Kata “bersila” ini diserap dari kitab ‘Ajaib Al-Hind dikarang oleh muslim Persia bernama Buzurg bin Shariyar Al-Ramhurmuzi abad 11 masehi. Sekarang, mari kita tengok budaya kerajaan kita (di Siri-Sori Islam), apakah ada kebiasaan duduk “bersila” di hadapan raja? Wallahua’lam. Kalau kita lihat budaya kita, mustahil ada budaya duduk bersila dihadapan raja. Artinya, hal in...

Kata "Tabea" sebagai Wujud Perilaku Sopan-santun Orang Maluku - Malut

Dialah Dieter Bartels, antropolog asal Jerman yang sudah puluhan tahun melakukan studi di Maluku, mengatakan bahwa, meskipun orang Maluku itu punya watak keras dan terkadang diperankan sebagai "preman" di kota-kota besar, namun banyak juga orang Maluku yang punya perangai cerdas, cerdik, dan berpengetahuan luas. Artinya, stigma keras kepala alih-alih kurang beradab yang melekat pada orang Maluku ialah suatu kekeliruan yang cukup besar.  Orang Maluku yang beradab ini dapat kita lihat dalam praktik kebudayaan, ada terselip nilai-nilai etis yang sangat tinggi. Salah-satu budaya yang dapat kita perlihatkan di sini ialah kata "tabea", biasa dipakai dalam komunikasi sehari-hari atau dalam upacara adat tertentu. Hampir setiap daerah yang ada di Indonesia bagian timur, kata "tabea" ini tak asing lagi di dengar khayalak umum.  Di Bone, Sulawesi Selatan, misalnya, ada kata "tabea" (dengan penghilangan huruf a menjadi tabe). Beta pernah dengar ...

Kata "Tabea" sebagai Bentuk Motivasi Orang Maluku - Malut

Di artikel sebelumnya, beta telah ulas mengenai kata "tabea" sebagai wujud perilaku sopan-santun. Sekarang ini, beta akan bahas perihal kata tabea sebagai "daya tonjok psikologis" atau bisa kita maknai sebagai motivasi diri. Kata "tabea" biasa dipraktikkan ketika seorang pemuda berjalan di depan orang tua, maka ia harus nunduk sambil membungkukkan badan, terus ia katakan "tabea - permisi".  Adakalanya juga kata "tabea" ini muncul dalam praktik tarian-tarian adat di Maluku, seperti tarian soya-soya (di Maluku Utara), dan sesekali kata itu juga diteriakkan para penari dalam tarian cakelele. Selain itu, kata tabea juga muncul dalam tradisi "arumbai manggurebe". Para kapitan atau malesi dalam beberapa kesempatan upacara adat, setelah mereka menutup sambutan akan dibarengi dengan teriakan, "tabea!" (dengan suara lantang), sontak masyarakat yang mendengar juga meneriakkan kata yang sama, "tabea!".  ...

PSIKOLOGI KRITIS (Sedikit Catatan)

"Jangan-jangan, psikologi yang saya pahami adalah buah dari kerja-kerja relasi kuasa di luar sana, yang saya tidak mengerti, tapi diam-diam masuk dan kita meyakininya sebagai kebenaran. Parahnya, kita mempraktikkannya tanpa kesadaran kritis" (Jumat, 11 Oktober 2024).  Asumsi itu muncul setelah saya baru selesai mengikuti kegiatan Konferensi Nasional yang diadakan oleh Fakultas Psikologi UGM. Kegiatan ini mengangkat tema "Menyala Indonesiaku: Psikologi sebagai Pilar Kesehatan Mental Generasi Emas". Dalam kegiatan itu, ada satu kajian yang menarik perhatian saya yakni, psikologi diskursus atau psikologi kritis. Sebuah kajian yang sedang saya minati belakangan ini. Berikut ini adalah sedikit dari catatan saya mengenai kegiatan itu yang kemudian saya gabungkan/menyadur dari artikel Prof. Teguh Wijaya Mulya.  .................. Teori-teori psikologi yang sudah mapan belum tentu dapat digunakan secara langsung untuk membaca fenomena psikologis di Indonesia. Perlu melihat ...