Langsung ke konten utama

CONTOH: TULISAN ESAI LULUS BEASISWA


Untuk melamar beasiswa, seperti beasiswa LPDP Kemenkeu, maka pelamar diminta untuk menulis esai singkat tentang sejumlah kontribusi yang telah dilakukan selama ini. Ulasan tentang kontribusi ini paling tidak menjawab tiga hal yakni; (1) Kontribusi apa yang TELAH dilakukan?; (2) Kontribusi apa yang SEMENTARA dilakukan?; dan (3) Kontribusi apa yang NANTI dilakukan?. Intinya, ceritakan kontribusi apa baik itu SEBELUM, SEKARANG, dan NANTI. Membicarakan kontribusi ini bukan bermaksud untuk membanggakan diri sendiri, tapi sejauhmana peran anda di tengah kehidupan sosial. Berikut ini adalah contoh esai yang sudah saya tulis, dan alhamdulillah lulus beasiswa. Semoga bermanfaat. 


.............................. 


"Hidup damai” adalah dambaan setiap makhluk hidup di dunia ini. Baik itu hewan, tumbuhan, tanah, dan manusia, semuanya mendambakan kedamaian hidup. Itulah yang saya rasakan saat menulis personal statement ini setelah merefleksikan perjalanan hidup saya mulai sejak lahir hingga sekarang dan kedepannya. Hanya dua kata yang bisa menggambarkan semuanya yakni “hidup damai”. Bagi saya, dua kata ini muncul bukan tanpa alasan. Sebab, dua kata itu sudah melalui proses yang panjang, bergumul dengan ruang dan waktu, terutama berkaitan dengan diri saya saat bersentuhan dengan kenyataan dan apa yang bisa saya lakukan untuk merealisasikan dua kata tersebut terkhusus di lingkungan keluarga saya, masyarakat Maluku dan Indonesia secara luas.


Saya lahir di Tidore 20 Februari 1993 dari keluarga yang sangat sederhana. Ayah saya seorang pensiunan PNS Transmigrasi dan ibu saya seorang guru SD. Ketika ayah ditugaskan ke Tidore, di sana saya lahir. Ibu sempat bercerita, waktu itu saya lahir di bekas kamar Sultan Tidore, karena kebetulan kami tinggal di situ ketika rumah Sultan dialihkan untuk para pegawai Transmigrasi. Karena saya lahir di situ maka oleh masyarakat sekitar ingin menamai saya Zainal Abidin Syah salah satu Sultan Tidore yang sekaligus bekas Gubernur Irian Barat (sekarang Papua). Namun, nama itu tidak langsung menempel pada diri saya. Ayah dan ibu lebih mengikuti saran dari Tuan Guru (Guru Ngaji) mereka yang memberi nama saya Muhammad Kashai Ramdhani Pelupessy. Nama adalah doa, menurut Tuan Guru, Kashai adalah seorang penulis. Olehnya itu, hingga sekarang saya suka menulis, paling banyak menulis tentang kedamaian hidup.


Tujuh tahun setelah saya lahir, saya kemudian dihadapkan pada situasi sosial yang membuat saya kaget sekaligus sedih. Tahun 1999, Maluku dan sekitarnya dilanda konflik sosial. Konflik ini berlangsung dari tahun 1999 hingga 2002, memakan korban ratusan/ribuan orang. Saya menyaksikan sendiri, bagaimana sesama anak bangsa saling bertikai karena berbeda agama dan pandangan. Konflik ini bermula dari Ambon kemudian menyebar ke Maluku Utara (termasuk Tidore) dan sekitarnya. Delapan orang meninggal di depan mata saya, sungguh membuat saya kaget sekaligus sedih, mengapa bisa terjadi seperti ini? Dimana kedamaian hidup itu? Bagaimana saya harus menyelesaikannya? Waktu itu, bagi saya yang masih berusia tujuh tahun saya belum punya rasionalisasi yang kuat untuk menjelaskannya.


Seiring berjalannya waktu, konflik pun mereda. Namun, suasana konflik masih terus membekas di dalam ingatan saya. Tentu saya tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan saat saya mengingat-ingat kembali situasi konflik saat itu. Saya harus mencari solusi tepat bersifat jangka panjang demi mencapai kedamaian hidup bersama di masa mendatang. Dalam perjalanan hidup tentu akan ada konflik, namun sesungguhnya kita dapat meminimalisirnya. Saya yakin akan hal itu. Sekarang, tugas saya adalah bagaimana meminimalisirnya jika suatu saat akan muncul konflik di kemudian hari? Bagaimana saya dapat merumuskan solusi tepat bersifat jangka panjang untuk meminimalisir dan mengantisipasi sehingga tidak terjadi konflik di kemudian hari? Disinilah saya tertantang untuk merumuskannya.


Saya menyelesaikan SD di Tidore, setelah itu saya merantau ke Ternate tinggal cukup lama bersama bibi disana. SMP dan SMA saya habiskan di Ternate, hingga kemudian saya merantau ke Yogyakarta untuk mengambil studi S1 Psikologi di Universitas Islam Indonesia. Di Yogyakarta, prinsip “hidup damai” makin kuat dalam benak saya semenjak saya pilih jurusan psikologi dan masuk ke organisasi HMI. Pilihan saya jatuh pada psikologi untuk mendalami kondisi psikologis orang-orang yang terlibat pertikaian. Pilihan ini berangkat dari pengalaman saya saat menyaksikan konflik sosial di Maluku. Di HMI, saya belajar tentang toleransi dalam keberagaman dari buku-buku almarhum profesor Nurcholish Madjid. Sentuhan pengalaman inilah yang mewarnai skripsi saya saat mengangkat judul “Hubungan Bullying dengan Perilaku Memaafkan”. Bagi saya, bullying merupakan salah satu pintu masuk menuju agresivitas, membuat hubungan interpersonal terganggu dan mengarah pada konflik. Secara teoritik kasus bullying dapat diminimalisir dengan perilaku memaafkan, meskipun ada sejumlah variabel psikologis lainnya yang dapat meminimalisirnya.


Selesai dari S1 saya lanjut S2 Psikologi di Universitas Negeri Yogyakarta. Saat tesis saya ingin mengangkat kembali kasus bullying dengan fokus pada peran bystander untuk meminimalisir kasus tersebut. Namun, niat itu saya urungkan karena terbentur biaya, karena waktu itu ayah saya sudah mau pensiun sehingga ibu menelpon saya untuk segera menyelesaikan studi S2 secepatnya. Olehnya itu, karena kebetulan saya dipilih terlibat dalam tim penelitian pascasarjana karena diajak oleh dosen saya, maka saya pun terlibat dalam penelitian tersebut. Waktu itu kami meneliti tentang “Karakteristik Psikologi Atlet di Pertandingan Asian Games tahun 2018”. Sembari terlibat dalam tim penelitian tersebut, saya terus membaca dan mendiskusikan bersama teman-teman serta menulis isu-isu kedamaian hidup yang saya kirim ke sejumlah media nasional seperti Alif.ID, NU Online, dan lainnya. Selama di S2, pada semester 1 nilai IPK saya 4,0 dan saya wisuda dengan IPK 3,96. Orang tua sangat bangga sekali. Setelah lulus saya balik ke Ambon untuk wujudkan komitmen saya mengimplementasikan ilmu yang saya peroleh selama studi di Yogyakarta. Enam bulan setelah lulus S2 saya diterima sebagai PNS Dosen Psikologi di IAIN Ambon.


Selama menjadi dosen, saya wujudkan prinsip hidup damai ke dalam perkuliahan maupun kegiatan organisasi mahasiswa. Beberapa kali adik-adik mahasiswa mengundang saya menjadi pemateri dalam kegiatan seperti Himapro, komunitas Baileo Literasi, dan komunitas Sansekerta untuk mendiskusikan tentang kemajuan pendidikan dari perspektif psikologi. Dalam kegiatan ini saya kerap menyisipkan materi kedamaian hidup di kalangan mahasiswa. Selain itu, saya juga kerap membicarakan tentang kesehatan ekologi dari perspektif psikologi kepada mahasiswa karena menurut saya kesehatan ekologi akan berefek pada kedamaian hidup di masa mendatang. Saya membicarakan hal tersebut baik di dalam kelas maupun dalam kegiatan organisasi mahasiswa. Para adik-adik mahasiswa sangat antusias sekali, sehingga beberapa kali saya diundang untuk membicarakannya terus-menerus. Di masyarakat saya sempat diundang oleh komunitas Lanite yakni salah satu komunitas yang concern membicarakan budaya Maluku, di sini saya mendiskusikan tentang kesehatan ekologi demi meraih kedamaian hidup di masa mendatang dari perspektif psikologi.


Selain itu, saya juga terlibat sebagai pengelola Jurnal Pengabdian Masyarakat Mangente LPPM IAIN Ambon sebagai editor. Disini saya mengusulkan isu-isu moderasi beragama dan sosial-budaya sebagai scope jurnal, harapannya dapat menarik antusias para pengabdi/peneliti yang concern membicarakan implementasi isu-isu kedamaian hidup di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, saya bersama teman-teman dosen seangkatan memprakarsai berdirinya lembaga Pusat Studi Masyarakat Kepulauan (Pussaka) IAIN Ambon. Di lembaga ini saya diamanahkan sebagai sekretaris pusat studi. Kegiatan pertama yang kami buat ialah Seminar Nasional dengan mengangkat tema “Kerentanan dan Ketahanan Masyarakat Kepulauan Maluku di Era Antroposen”. Saya juga sempat dilibatkan oleh HIMPSI Maluku bekerjasama dengan Polda Maluku untuk menjadi pewawancara dalam seleksi psikologi calon bintara dan taruna. Disini, saya sangat serius mengimplementasikan ilmu psikologi yang saya peroleh dari S1 dan S2 dalam pengembangan kualitas institusi Polri melalui seleksi yang ketat. Saya pikir bahwa jika para polisi ke depannya berkualitas terkhusus di Maluku maka hidup damai akan terwujud segera.


Sebagai akademisi saya juga menyebarkan prinsip “hidup damai” dalam bentuk artikel yang sudah terbit di beberapa jurnal nasional. Selain itu, saya juga tergabung ke dalam salah satu Banom Nahdlatul Ulama yakni Jatman dan MATAN Maluku. Di organisasi masyarakat ini kami fokus sebarkan isu-isu kedamaian dalam keberagaman di Maluku. Untuk menjadi pribadi yang bermanfaat sebagaimana saran ayah dan ibu, saya kemudian terlibat dalam tim Psychological First Aid di HIMPSI Indonesia untuk membantu orang-orang yang menderita tekanan psikologis di tengah situasi pandemi tahun 2019-2021. Bagi saya inilah salah satu cara saya memberi kontribusi bagi Maluku dan Indonesia secara luas.


Belakangan ini, saya perhatikan masalah sosial di Indonesia dan terkhusus di Maluku semakin kompleks. Krisis ekologi, kesenjangan ekonomi, konflik horizontal, ini semua berdampak pada ketidaksejahteraan psikologis setiap individu di dalam masyarakat. Olehnya itu, butuh proses penyelesaian yang tepat untuk mengatasi sejumlah masalah tersebut. Menurut saya untuk merumuskan penyelesaian yang tepat butuh kapabilitas rasional yang berkualitas. Maka dari itu saya harus menempa diri saya lagi dengan cara lanjut studi S3 Psikologi di UGM untuk meningkatkan reputasi kepakaran saya di bidang psikologi dalam proses penyelesaian masalah sosial yang begitu kompleks melalui riset dasar, pengembangan dan terapan. Menurut saya, lanjut studi doktoral merupakan salah satu alasan untuk meningkatkan reputasi kepakaran, sehingga saran yang saya berikan dapat diterima masyarakat luas serta pengambil kebijakan.


.............................. 


Itulah contoh esai yang saya buat sehingga dapat lulus beasiswa. Harapan saya, paling tidak, esai ini dapat memberi gambaran bagi para calon pelamar yang ingin mendaftar beasiswa yang salah satu tuntutannya adalah wajib menulis esai. Semoga memberi manfaat. 


Ambon - Indonesia

MKR Pelupessy

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Permainan Hidup

Di saat realita berganti wajah,  kau hadir, selalu tanpa esensi.  Kadang kau bahagia, hari ini kau sengsara,  besok kau memuakkan.  Hidup. Memang sebatas permainan.  Gelar yang kau bawa ke mana-mana,  di tempel di atas almanak,  undangan, koran, brosur, pamflet,  dan sejenisnya,  tak ku temukan esensi di sana.  Memang, hidup hanya sebatas permainan.  Aku melihat, sarjana hukum,  tak paham arti keadilan.  Aku melihat, sarjana ekonomi,  tak paham arti kesejahteraan.  Aku melihat, sarjana fisika, kimia, tak paham arti keharmonisan alam.  Aku melihat, sarjana sosiologi,  tak paham arti kerukunan.  Aku melihat, sarjana politik.  tak paham arti etika politik.  Aku melihat, sarjana filsafat,  tak paham arti kebijaksanaan. Kau hadir, selalu tanpa esensi.  Memang, hidup sebatas permainan.  Hanya sedikit yang p aham arti keadilan, kesejahter...

Jalan-jalan ke Benteng Amsterdam, Bertemu Putri Duyung-nya Rumphius

Hari ini, beta ingin menceritakan tentang pengalaman beta jalan-jalan ke benteng Amsterdam, desa Hila, kecamatan Leihitu, Maluku Tengah. Di Maluku, benteng-benteng peninggalan Portugis, Belanda, dan Spanyol terlampau banyak.  Ada benteng Victoria di pusat kota Ambon, benteng Durstede di pulau Saparua, benteng Orange di Ternate, benteng Kastela, benteng Toloko, dan masih banyak lagi. Hadirnya beberapa benteng ini membuktikan bahwa Maluku pada masanya sempat menjadi pusat perniagaan rempah-rempah.  Dalam beberapa catatan sejarah, seperti yang di tulis Adnan Amal, bahwa setiap benteng memiliki fungsinya masing-masing. Misalnya, benteng Victoria atau benteng Kastela, biasanya digunakan sebagai kantor Gubernur. Ada juga benteng yang berfungsi sebagai lokasi pertahanan, seperti benteng Toloko.  Selain itu, ada juga benteng yang digunakan sebagai tempat penyimpanan rempah-rempah (loji), seperti benteng Amsterdam. Benteng Amsterdam ialah salah-satu benteng yan...

"MITOS PRIBUMI MALAS"

( Ilustrasi pribumi. Lukisan ) Istilah "mitos pribumi malas" ini saya temui dari buku hasil penelitian yang ditulis Tania Murray Li dan Pujo Semedi (2022). Buku itu berjudul "Hidup Bersama Raksasa". Maksudnya, masyarakat hidup bersama perusahaan perkebunan. Kembali ke soal istilah, "Apakah pribumi kita benar-benar berwatak pemalas? Ataukah ini hanya mitos saja agar kita merasa inferior dalam mengelola sumber daya yang ada secara mandiri dan harmonis?" Jika kita periksa lembar-lembar sejarah, kita akan temui banyak fakta tentang mustahilnya pribumi kita punya watak pemalas. Kalau pribumi kita pemalas, maka tidak mungkin waktu itu pribumi kita bisa membuat perahu lalu mengarungi samudra sampai ke Madagaskar. Mustahil juga pribumi kita waktu itu melakukan perdagangan internasional sampai di anak benua India, lalu dari situ bahan-bahan dagang kita (putik cengkih, lada, dan pala) tersebar ke seluruh Eropa.  Usaha pribumi kita melakukan perdagangan internasional...

Baileo sebagai Tempat Musyawarah ("Hablumminannas?)

Baileo (rumah adat), di berbagai negeri/desa punya bentuk/arsitektur yang cukup beragam. Ada Baileo patasiwa dan ada patalima. Ulasan patasiwa dan patalima punya kontroversi tersendiri (bisa baca di buku Bartels). Karena kontroversi, maka Beta tidak masuk ke pembahasan tsb. Beta mau lihat, sejauhmana makna bangunan Baileo ini dibalik kepala orang Maluku. Baileo identik dengan istilah "balai" (istilah ini masih di perdebatkan), adalah tempat musyawarah para tetuah. Dalam sejarah manusia (bisa baca buku Yuval Noah Harari), masyarakat mulai mengenal sistem musyawarah ini sejak manusia lepas dari sistem berburu-meramu-nomaden. Harari mengatakan, perpindahan dari sistem berpikir nomaden ke masyarakat "fiksi - kognitif" yang mengandalkan akal sebagai alat musyawarah, adalah loncatan peradaban yang sangat luar biasa sekali. Artinya, jika kita turunkan ulasan ini ke makna "Baileo" maka sebetulnya masyarakat kita zaman dulu punya sistem berpikir yang s...