Langsung ke konten utama

GAYA POLITIK DAN MASALAH KEBANGSAAN DI ERA PASAR BEBAS


Tahun 2024 semakin dekat. Suhu perpolitikan tanah air semakin hangat. Hal ini dapat kita lihat dari menjamurnya baliho-baliho partai di ruang-ruang publik. Di tengah situasi seperti ini, rasionalitas warga negara di uji kelayakannya. Bagaimana kita menghadapi Pemilu tahun 2024 nanti? Apa yang kita harapkan di masa depan? Belajar dari masa lalu, kita sudah melewati empat kali tahun Pemilu secara langsung (2004, 2009, 2014, dan 2019). Idealnya, kalau sudah melewati empat kali tahun Pemilu seharusnya membuat kita lebih rasional dan bermartabat. Namun, kondisi ideal itu jauh dari realita sekarang ini. 


Setiap tahun Pemilu memiliki gaya politiknya sendiri-sendiri. Mulai dari gaya politik pencitraan hingga gaya politik identitas. Gaya-gaya politik semacam ini muncul tidak langsung jadi (taken for granted), melainkan karena efek pasar bebas. Pasca berakhirnya Perang Dingin dan wajah perpolitikan Indonesia setelah reformasi, tampak kondisi kita sekarang ini seolah-olah lebih dikontrol oleh regulasi pasar bebas (globalisasi). Apa yang diistilahkan Adam Smith sebagai "tangan-tangan tak tampak" cukup kuat mendesain "siapa pemenang dan kalah" dalam setiap Pemilu semakin menjadi kenyataan. 


Situasi seperti itu yang nantinya melahirkan gaya politik pencitraan. Gaya politik ini tidak peduli bagaimana wawasan ideologis seorang tokoh politik. Itu tidak penting. Yang paling penting adalah kemenangan meng-goal-kan tuntutan pasar bebas. Karena itulah gaya politik semacam ini difasilitasi penuh oleh pasar global mulai dari logistik hingga soal kosmetik (baca: tokoh politik dipercantik seolah-olah mewakili rakyat jelata). Sisi negatif dari gaya politik semacam ini adalah kedaulatan bangsa dan negara tergadaikan. 


Gaya politik semacam di atas juga diperkuat oleh kondisi kemiskinan di berbagai daerah. Kalau kita perhatikan data BPS tahun 2022 tentang kemiskinan, untuk wilayah Indonesia timur (Papua, Maluku, NTT) masih berada di atas 15 persen. Kondisi sebaliknya dengan wilayah Indonesia barat di sebagian pulau Kalimantan, Jawa dan Sumatera, tingkat kemiskinannya di bawah 5 persen. Fakta ini menunjukkan bahwa sila kelima dari Pancasila belum benar-benar terwujud. Meminjam istilah almarhum Buya Syafii Maarif bahwa sila kelima sekarang masih menjadi "yatim piatu".


Ketimpangan ini yang membuat gaya politik pencitraan semakin mengeras. Munculnya 'money politics' adalah faktanya. Siapa yang punya uang lebih banyak, apalagi berada di daerah miskin, tentu dia akan menang. Hal ini karena orang miskin butuh uang, sehingga tanpa pikir panjang tentang efek lima tahun ke depan pasca Pemilu, lebih baik saya ambil saja 'money politics' itu untuk bertahan hidup satu-dua hari ke depan. Dalam konteks ini, orang miskin tidak salah, hal ini karena "kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" (sila kelima Pancasila) kurang terimplementasikan secara baik. 


Situasi demokrasi Indonesia yang seolah-olah dikontrol pasar bebas di satu sisi, dan ketimpangan sosial di sisi lainnya, ini yang nantinya melahirkan politik identitas. Menguatnya politisasi agama, sukuisme, oligarki kekuasaan di tingkat lokal dan lain sebagainya, adalah boomerang bagi kedaulatan NKRI. Gaya politik identitas ini berbeda dengan masa-masa sebelumnya yakni pada pra-kemerdekaan. Pada masa itu, politik identitas adalah keniscayaan (given). Soekarno dan kawan-kawannya memang berpolitik identitas, namun identitas yang dimaksud pada masa itu adalah identitas nasional bukan identitas suku, agama dan lain-lain sejenisnya seperti sekarang ini. 


Fakta dari gaya-gaya perpolitikan di atas itu merupakan buah dari reformasi yakni "demokrasi liberal". Reformasi menghendaki perubahan sistem perpolitikan ke arah lebih tampak "liberal" (hilang kontrol) sekarang ini. Hal ini yang membuat wajah perpolitikan kita sekarang ini tampak sangat kering ideologi kebangsaan (Pancasila). Dalam situasi demikian, kita sebagai warga negara harus pandai, tidak boleh pandir. Kita harus pandai secara kritis memilah mana yang baik untuk integrasi bangsa dan mana yang buruk memecahbelah kesatuan bangsa.


Ditengah ketimpangan dan desakan regulasi pasar tersebut, harapannya kita harus berani mengaktualisasikan ego (rasionalitas) di atas tuntutan id (hasrat). Jangan sampai hasrat mendominasi rasionalitas kita, sehingga yang terjadi adalah bukan perbaikan melainkan pemburukan. Hasrat yang dimaksud dalam konteks disini adalah seperti memilih calon pemimpin berdasarkan sukuisme, materialistik (money politics: uang), dan lain sejenisnya. Kita harus mengupayakan rasionalitas kita di atas segalanya itu (hasrat). 


Rasionalitas kita sebetulnya ada di dalam memori kolektif kita sendiri yakni Pancasila, yang hal ini sudah ditransmisikan turun-temurun bahkan sudah mengkristal menjadi kepribadian bangsa. Di atas nilai-nilai Pancasila inilah kita berpijak untuk melihat dan mencari siapa yang pantas memimpin kita lima tahun ke depan pasca Pemilu 2024. Jika rasionalitas tersebut yang kita tonjolkan, maka kesejahteraan, kesatuan, keadilan, kemartaban, dan kemajuan akan terwujud segera pasca Pemilu 2024.


Ambon, 04 Januari 2023

MKR Pelupessy

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Islam Masuk ke Siri-Sori Islam

Sampai detik ini, sejarah masuknya Islam ke pulau Saparua, tepatnya di negeri Siri-Sori Islam masih menjadi misteri. Ada pendapat mengatakan bahwa masuknya Islam ke Siri-Sori Islam tepat pada tahun 1212 masehi. Apakah pendapat ini benar demikian? Wallahua’lam. Jika kita mengatakan Islam masuk ke Saparua, tepatnya di Siri-Sori Islam pada abad 11/12 masehi, maka bisa dikatakan bahwa pendapat itu “hampir” benar adanya. Memang, pada abad 11/12 masehi ini Islam masuk ke Nusantara dibawa saudagar muslim asal Persia. Buktinya ialah pengaruh bahasa Persia dikalangan kerajaan-kerajaan Nusantara tentang kebiasaan duduk “bersila”. Kata “bersila” ini diserap dari kitab ‘Ajaib Al-Hind dikarang oleh muslim Persia bernama Buzurg bin Shariyar Al-Ramhurmuzi abad 11 masehi. Sekarang, mari kita tengok budaya kerajaan kita (di Siri-Sori Islam), apakah ada kebiasaan duduk “bersila” di hadapan raja? Wallahua’lam. Kalau kita lihat budaya kita, mustahil ada budaya duduk bersila dihadapan raja. Artinya, hal in...

Kata "Tabea" sebagai Wujud Perilaku Sopan-santun Orang Maluku - Malut

Dialah Dieter Bartels, antropolog asal Jerman yang sudah puluhan tahun melakukan studi di Maluku, mengatakan bahwa, meskipun orang Maluku itu punya watak keras dan terkadang diperankan sebagai "preman" di kota-kota besar, namun banyak juga orang Maluku yang punya perangai cerdas, cerdik, dan berpengetahuan luas. Artinya, stigma keras kepala alih-alih kurang beradab yang melekat pada orang Maluku ialah suatu kekeliruan yang cukup besar.  Orang Maluku yang beradab ini dapat kita lihat dalam praktik kebudayaan, ada terselip nilai-nilai etis yang sangat tinggi. Salah-satu budaya yang dapat kita perlihatkan di sini ialah kata "tabea", biasa dipakai dalam komunikasi sehari-hari atau dalam upacara adat tertentu. Hampir setiap daerah yang ada di Indonesia bagian timur, kata "tabea" ini tak asing lagi di dengar khayalak umum.  Di Bone, Sulawesi Selatan, misalnya, ada kata "tabea" (dengan penghilangan huruf a menjadi tabe). Beta pernah dengar ...

Kata "Tabea" sebagai Bentuk Motivasi Orang Maluku - Malut

Di artikel sebelumnya, beta telah ulas mengenai kata "tabea" sebagai wujud perilaku sopan-santun. Sekarang ini, beta akan bahas perihal kata tabea sebagai "daya tonjok psikologis" atau bisa kita maknai sebagai motivasi diri. Kata "tabea" biasa dipraktikkan ketika seorang pemuda berjalan di depan orang tua, maka ia harus nunduk sambil membungkukkan badan, terus ia katakan "tabea - permisi".  Adakalanya juga kata "tabea" ini muncul dalam praktik tarian-tarian adat di Maluku, seperti tarian soya-soya (di Maluku Utara), dan sesekali kata itu juga diteriakkan para penari dalam tarian cakelele. Selain itu, kata tabea juga muncul dalam tradisi "arumbai manggurebe". Para kapitan atau malesi dalam beberapa kesempatan upacara adat, setelah mereka menutup sambutan akan dibarengi dengan teriakan, "tabea!" (dengan suara lantang), sontak masyarakat yang mendengar juga meneriakkan kata yang sama, "tabea!".  ...

PSIKOLOGI KRITIS (Sedikit Catatan)

"Jangan-jangan, psikologi yang saya pahami adalah buah dari kerja-kerja relasi kuasa di luar sana, yang saya tidak mengerti, tapi diam-diam masuk dan kita meyakininya sebagai kebenaran. Parahnya, kita mempraktikkannya tanpa kesadaran kritis" (Jumat, 11 Oktober 2024).  Asumsi itu muncul setelah saya baru selesai mengikuti kegiatan Konferensi Nasional yang diadakan oleh Fakultas Psikologi UGM. Kegiatan ini mengangkat tema "Menyala Indonesiaku: Psikologi sebagai Pilar Kesehatan Mental Generasi Emas". Dalam kegiatan itu, ada satu kajian yang menarik perhatian saya yakni, psikologi diskursus atau psikologi kritis. Sebuah kajian yang sedang saya minati belakangan ini. Berikut ini adalah sedikit dari catatan saya mengenai kegiatan itu yang kemudian saya gabungkan/menyadur dari artikel Prof. Teguh Wijaya Mulya.  .................. Teori-teori psikologi yang sudah mapan belum tentu dapat digunakan secara langsung untuk membaca fenomena psikologis di Indonesia. Perlu melihat ...