Langsung ke konten utama

"MITOS PRIBUMI MALAS"


(Ilustrasi pribumi. Lukisan)

Istilah "mitos pribumi malas" ini saya temui dari buku hasil penelitian yang ditulis Tania Murray Li dan Pujo Semedi (2022). Buku itu berjudul "Hidup Bersama Raksasa". Maksudnya, masyarakat hidup bersama perusahaan perkebunan. Kembali ke soal istilah, "Apakah pribumi kita benar-benar berwatak pemalas? Ataukah ini hanya mitos saja agar kita merasa inferior dalam mengelola sumber daya yang ada secara mandiri dan harmonis?"

Jika kita periksa lembar-lembar sejarah, kita akan temui banyak fakta tentang mustahilnya pribumi kita punya watak pemalas. Kalau pribumi kita pemalas, maka tidak mungkin waktu itu pribumi kita bisa membuat perahu lalu mengarungi samudra sampai ke Madagaskar. Mustahil juga pribumi kita waktu itu melakukan perdagangan internasional sampai di anak benua India, lalu dari situ bahan-bahan dagang kita (putik cengkih, lada, dan pala) tersebar ke seluruh Eropa. 

Usaha pribumi kita melakukan perdagangan internasional waktu itu mustahil berangkat dari watak pemalas. Meski ujung-ujungnya ada efek negatif dari perdagangan internasional itu juga, yakni secara tidak langsung mengundang bangsa Eropa (Portugis, Spanyol, dan Belanda) datang ke daerah-daerah rempah-rempah untuk mengeksploitasi sumber daya yang ada. Ini satu sisi yang saya akan bicarakan besok-besok, tapi pada prinsipnya bahwa watak pribumi kita bukan pemalas tapi sangat rajin. 

Bahkan kalau kita baca buku yang dikarang Hanna Rambe, kita akan menemukan banyak fakta yang menunjukkan bahwa pribumi kita sangat rajin. Hanna Rambe menceritakan tentang bagaimana pola kehidupan pribumi kita sekitar abad-abad 18 silam. Waktu itu, pribumi kita sangat rajin menanam putik cengkih secara diam-diam untuk menghindari ekstirpasi waktu itu. 

Terlepas dari upaya menghindari ekstirpasi yang diinisiasi VOC waktu itu, intinya pribumi kita sangat rajin dan produktif menanam putik cengkih yang nantinya diperdagangkan dengan orang-orang Cina dll pada masa itu. Artinya, pribumi kita sejatinya sangat rajin, sangat produktif, bukan pemalas. Olehnya itu, "watak pribumi malas" dalam tulisan Tania Murray Li dan Pujo Semedi dalam bukunya diberi dengan tanda kutip. Dengan kata lain, belum tentu benar istilah itu dilabeli pada pribumi kita. 

Pribumi kita sangat rajin mengelola alam demi kemaslahatan bersama, bukan hanya terhadap sesama manusia tapi semua makhluk hidup lainnya yakni hewan dan tumbuhan. Hal ini karena pribumi kita sangat mencintai tanah yang ditempatinya sejak lama. Bahkan tumbuhan dan hewan pun dianggap kerabat dekatnya. Sehingga usaha-usaha yang dilakukan pribumi kita dalam mengelola alam tidak dilakukan secara sembarangan, destruktif, dan eksploitatif.

Inilah watak pribumi kita yang sesungguhnya: rajin, produktif, dan bersahaja bersama alam. Bukan pemalas. Mengapa pribumi kita dicap pemalas? Pemberian label pemalas ini memiliki tujuannya tersendiri. Kita dicap pemalas agar kita inferior mengelola alam secara mandiri. Sehingga yang patut mengelola alam adalah orang-orang cerdas alias yang punya tingkat rasionalitas di atas rata-rata. 

Padahal, ketika orang-orang yang cerdas itu mengelola alam, malah dampak yang ditimbulkan sangat buruk sekali. Ekosistem rusak. Muncul kelas sosial baru, yakni para pribumi sebagai orang bawah berhadapan dengan pihak yang punya rasionalitas tingkat tinggi berada di atasnya. Ketimpangan sosial terbuka lebar. Dan seterusnya. 

Jadi, "watak pribumi pemalas" ini hanya mitos saja. Agar para pribumi menjadi inferior sehingga rela memberi semua yang ada baik itu tanah, tumbuhan, hewan dan semuanya kepada orang-orang yang punya rasionalitas tingkat tinggi. Ini merupakan mitos yang didengung-dengungkan. Padahal, jika kita periksa dalam lembar-lembar sejarah, pribumi kita ini sangat rajin, produktif dan selalu bersahaja dengan alam untuk maju bersama. 

MKR Pelupessy
20 Mei 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Islam Masuk ke Siri-Sori Islam

Sampai detik ini, sejarah masuknya Islam ke pulau Saparua, tepatnya di negeri Siri-Sori Islam masih menjadi misteri. Ada pendapat mengatakan bahwa masuknya Islam ke Siri-Sori Islam tepat pada tahun 1212 masehi. Apakah pendapat ini benar demikian? Wallahua’lam. Jika kita mengatakan Islam masuk ke Saparua, tepatnya di Siri-Sori Islam pada abad 11/12 masehi, maka bisa dikatakan bahwa pendapat itu “hampir” benar adanya. Memang, pada abad 11/12 masehi ini Islam masuk ke Nusantara dibawa saudagar muslim asal Persia. Buktinya ialah pengaruh bahasa Persia dikalangan kerajaan-kerajaan Nusantara tentang kebiasaan duduk “bersila”. Kata “bersila” ini diserap dari kitab ‘Ajaib Al-Hind dikarang oleh muslim Persia bernama Buzurg bin Shariyar Al-Ramhurmuzi abad 11 masehi. Sekarang, mari kita tengok budaya kerajaan kita (di Siri-Sori Islam), apakah ada kebiasaan duduk “bersila” di hadapan raja? Wallahua’lam. Kalau kita lihat budaya kita, mustahil ada budaya duduk bersila dihadapan raja. Artinya, hal in...

Kata "Tabea" sebagai Wujud Perilaku Sopan-santun Orang Maluku - Malut

Dialah Dieter Bartels, antropolog asal Jerman yang sudah puluhan tahun melakukan studi di Maluku, mengatakan bahwa, meskipun orang Maluku itu punya watak keras dan terkadang diperankan sebagai "preman" di kota-kota besar, namun banyak juga orang Maluku yang punya perangai cerdas, cerdik, dan berpengetahuan luas. Artinya, stigma keras kepala alih-alih kurang beradab yang melekat pada orang Maluku ialah suatu kekeliruan yang cukup besar.  Orang Maluku yang beradab ini dapat kita lihat dalam praktik kebudayaan, ada terselip nilai-nilai etis yang sangat tinggi. Salah-satu budaya yang dapat kita perlihatkan di sini ialah kata "tabea", biasa dipakai dalam komunikasi sehari-hari atau dalam upacara adat tertentu. Hampir setiap daerah yang ada di Indonesia bagian timur, kata "tabea" ini tak asing lagi di dengar khayalak umum.  Di Bone, Sulawesi Selatan, misalnya, ada kata "tabea" (dengan penghilangan huruf a menjadi tabe). Beta pernah dengar ...

Kata "Tabea" sebagai Bentuk Motivasi Orang Maluku - Malut

Di artikel sebelumnya, beta telah ulas mengenai kata "tabea" sebagai wujud perilaku sopan-santun. Sekarang ini, beta akan bahas perihal kata tabea sebagai "daya tonjok psikologis" atau bisa kita maknai sebagai motivasi diri. Kata "tabea" biasa dipraktikkan ketika seorang pemuda berjalan di depan orang tua, maka ia harus nunduk sambil membungkukkan badan, terus ia katakan "tabea - permisi".  Adakalanya juga kata "tabea" ini muncul dalam praktik tarian-tarian adat di Maluku, seperti tarian soya-soya (di Maluku Utara), dan sesekali kata itu juga diteriakkan para penari dalam tarian cakelele. Selain itu, kata tabea juga muncul dalam tradisi "arumbai manggurebe". Para kapitan atau malesi dalam beberapa kesempatan upacara adat, setelah mereka menutup sambutan akan dibarengi dengan teriakan, "tabea!" (dengan suara lantang), sontak masyarakat yang mendengar juga meneriakkan kata yang sama, "tabea!".  ...

PSIKOLOGI KRITIS (Sedikit Catatan)

"Jangan-jangan, psikologi yang saya pahami adalah buah dari kerja-kerja relasi kuasa di luar sana, yang saya tidak mengerti, tapi diam-diam masuk dan kita meyakininya sebagai kebenaran. Parahnya, kita mempraktikkannya tanpa kesadaran kritis" (Jumat, 11 Oktober 2024).  Asumsi itu muncul setelah saya baru selesai mengikuti kegiatan Konferensi Nasional yang diadakan oleh Fakultas Psikologi UGM. Kegiatan ini mengangkat tema "Menyala Indonesiaku: Psikologi sebagai Pilar Kesehatan Mental Generasi Emas". Dalam kegiatan itu, ada satu kajian yang menarik perhatian saya yakni, psikologi diskursus atau psikologi kritis. Sebuah kajian yang sedang saya minati belakangan ini. Berikut ini adalah sedikit dari catatan saya mengenai kegiatan itu yang kemudian saya gabungkan/menyadur dari artikel Prof. Teguh Wijaya Mulya.  .................. Teori-teori psikologi yang sudah mapan belum tentu dapat digunakan secara langsung untuk membaca fenomena psikologis di Indonesia. Perlu melihat ...