Langsung ke konten utama

Maluku Menuntut Keadilan?



Beberapa minggu lalu para intelektual Maluku melakukan webinar dalam rangka memperingati hari lahir republik Indonesia. Webinar itu mudah sekali ditebak substansi pembahasannya ialah soal keadilan sosial, ekonomi, dan pembangunan. 


Awalnya, acara itu berlangsung hikmat. Webinar itu memberi beta sedikit pengetahuan bahwa ternyata industri-industri asing di Maluku "sengaja" dilegalkan hanya untuk menyedot kekayaan alam Maluku tanpa efek timbal balik yang jelas. 


Keuntungan yang diperoleh industri asing itu langsung di kirim ke Jakarta untuk menghidupi gaya hidup "parlente" orang-orang berdasi di sana. Fakta ini sangat memprihatinkan. Maluku hanya dijadikan sapi perah. Ironis. 


Olehnya itu, hasil webinar menuntut keadilan. Rekomendasi yang ditawarkan bukan main-main yakni; (1) melepaskan diri dari Indonesia; (2) merubah regulasi; dan (3) pembagian hasil harus seimbang 50:50. 


Semua orang punya hak menuntut keadilan. Hal ini termasuk perilaku terpuji. Namun, dalam tuntutan itu kalau terlalu berlebihan (lebay) juga kurang baik. Ambil contoh perilaku "berani" ini baik. 


Individu yang "terlalu" berani akan membuatnya ceroboh, sebaliknya kurang berani juga membuat seseorang menjadi ragu. Karena itulah keberanian harus berada dalam posisi moderat (seimbang). 


Posisi moderat ini juga berlaku jika kita ingin menuntut keadilan. Kita saat ini hidup dalam negara padat penduduk. Setiap provinsi memiliki pendapatan kas daerah yang cukup beragam. Belum lagi soal kebudayaan. 


Dalam situasi tersebut, kita harus saling bantu-membantu. Distribusi pendapatan harus merata ke setiap daerah. Pembagian yang adil ini sangat rasional. Sebab, kita tak bisa hidup sendiri, kita harus mengulurkan bantuan ke masyarakat di daerah lainnya. 


Yang kita tolak ialah distribusi itu tidak merata di setiap daerah. Parahnya lagi jika anggaran itu diserap kalangan konglomerat berhidung belang. Kalau sudah begitu, maka ungkapan buya Syafii Maarif sangat tepat yakni, "Sila kelima sudah menjadi yatim piatu".


Terlepas dari wacana di atas, yang membuat beta rasa aneh ialah kenapa muncul stigma ingin melepaskan dari NKRI? Ini sikap yang fatal sekaligus ahistoris. Dalam ulasan webinar itu pun cukup aneh, sebab banyak mengandung ahistoris. 


Dikatakan bahwa dunia dan Indonesia harus berterima kasih kepada Maluku. Sebab, dari Maluku-lah Columbus bisa menemukan benua Amerika. Ini ahistoris. Pengetahuan sempit ini bisa membutakan kita semua. 


Dalam catatan sejarah dunia, sebagaimana yang dikemukakan Openheimer dan dikutip oleh Yudi Latif, menjelaskan bahwa faktor kemaritiman membuat masyarakat di masa lampau berkeinginan kuat menjadi pelaut ulung. 


Sebagai pelaut, masyarakat kala itu kemudian berniaga rempah-rempah sampai ke Afrika melalui samudera Hindia, dan sempat singgah di India. Para pelaut itu rata-rata dari Jawa dan Sumatera. Perlu diketahui bahwa pohon cengkih tak hanya tumbuh di pulau Maluku, tapi di daerah lain juga tumbuh pohon cengkih. 


Dari perniagaan lintas laut itu mengakibatkan orang-orang Eropa akhirnya mengenal kualitas rempah-rempah dari belahan dunia Timur Jauh yakni nusantara. Informasi kualitas rempah-rempah ini sampai juga di telinga ratu Isabella di Spanyol. 


Dari situ asal-muasal kerjasama sang ratu dengan salah-seorang penjelajah kaliber yakni, Colombus. Sang ratu lalu mendanai perjalanan Columbus mencari pulau penghasil rempah-rempah tersebut. Alhasil, Columbus nyasar sampai ke benua Amerika. 


Fakta sejarah itu membuktikan bahwa dunia harus berterimakasih kepada pelaut-pelaut nusantara, bukan hanya Maluku. Fakta ini juga sekaligus membuktikan bahwa egoisme identitas kita harus diruntuhkan. Ini sanggahan pertama.


Sanggahan kedua, beta ingin mengatakan bahwa proses penjajahan di nusantara kala itu tak hanya di derita orang Maluku saja, tapi di semua daerah mengalami hal serupa. Artinya, satu rasa semua rasa, potong di kuku rasa di daging.


Menjadi wajar jika para pejuang waktu itu berlomba-lomba mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Meskipun proses pengusiran itu masih bersifat kedaerahan karena faktor kerajaan, tapi semua punya prinsip yang sama yakni "penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan". 


Oleh sebab itu, lahirnya Indonesia ini adalah hasil perjuangan bersama, karena semua daerah punya prinsip yang sama tadi. Fakta ini tak bisa kita nafikan begitu saja. 


Adapun dikemudian hari kedapatan perilaku menyeleweng, hal ini harus diselesaikan secara bersama-sama. Bukan malah menuntut untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebab keinginan melepaskan diri itu AHISTORIS. 


Saat ini, kita kembali ke diri kita masing-masing sebagai orang Maluku. Maluku yang waktu itu melahirkan ilmuwan-ilmuwan ternama di Indonesia, sekaligus juga pernah menjadi daerah kaya, kini Maluku tinggal kenangan. 


Saat ini, Maluku defisit ilmuwan. Status Maluku sekarang masuk dalam daftar daerah miskin di Indonesia. Belum lagi soal kualitas lulusan sarjana yang tinggal di Maluku, dari kalangan aktivis hampir banyak memilih menjadi politisi. 


Fakta itu menarik sekaligus fatal. Bagaimana kita ingin melepaskan diri dari NKRI? Sedangkan kualitas kita hanya sampai di tenggorokan yakni menjadi politisi. Apakah alam yang kaya ini bisa dikelola oleh para politisi? Ini sungguh tidak mungkin terjadi.


Satu hal yang membuat beta bersyukur sampai sekarang ialah kita (orang Maluku) masih kritis dan prihatin melihat ketimpangan sosial dan masalah ketidakadilan yang terjadi di depan mata. Wajar kalau kita menuntut keadilan di Maluku. 


Namun, sebelum menuntut keadilan itu kita harus melepaskan egoisme identitas kita terlebih dahulu. Di sisi lain yang membuat beta kurang 'sreg' ialah jika proses menuntut keadilan itu dilandasi semangat "politik identitas". Ini kurang baik sekaligus berakibat fatal. 


Gunung Malintang - Ambon

Minggu, 16 Agustus 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Permainan Hidup

Di saat realita berganti wajah,  kau hadir, selalu tanpa esensi.  Kadang kau bahagia, hari ini kau sengsara,  besok kau memuakkan.  Hidup. Memang sebatas permainan.  Gelar yang kau bawa ke mana-mana,  di tempel di atas almanak,  undangan, koran, brosur, pamflet,  dan sejenisnya,  tak ku temukan esensi di sana.  Memang, hidup hanya sebatas permainan.  Aku melihat, sarjana hukum,  tak paham arti keadilan.  Aku melihat, sarjana ekonomi,  tak paham arti kesejahteraan.  Aku melihat, sarjana fisika, kimia, tak paham arti keharmonisan alam.  Aku melihat, sarjana sosiologi,  tak paham arti kerukunan.  Aku melihat, sarjana politik.  tak paham arti etika politik.  Aku melihat, sarjana filsafat,  tak paham arti kebijaksanaan. Kau hadir, selalu tanpa esensi.  Memang, hidup sebatas permainan.  Hanya sedikit yang p aham arti keadilan, kesejahter...

Jalan-jalan ke Benteng Amsterdam, Bertemu Putri Duyung-nya Rumphius

Hari ini, beta ingin menceritakan tentang pengalaman beta jalan-jalan ke benteng Amsterdam, desa Hila, kecamatan Leihitu, Maluku Tengah. Di Maluku, benteng-benteng peninggalan Portugis, Belanda, dan Spanyol terlampau banyak.  Ada benteng Victoria di pusat kota Ambon, benteng Durstede di pulau Saparua, benteng Orange di Ternate, benteng Kastela, benteng Toloko, dan masih banyak lagi. Hadirnya beberapa benteng ini membuktikan bahwa Maluku pada masanya sempat menjadi pusat perniagaan rempah-rempah.  Dalam beberapa catatan sejarah, seperti yang di tulis Adnan Amal, bahwa setiap benteng memiliki fungsinya masing-masing. Misalnya, benteng Victoria atau benteng Kastela, biasanya digunakan sebagai kantor Gubernur. Ada juga benteng yang berfungsi sebagai lokasi pertahanan, seperti benteng Toloko.  Selain itu, ada juga benteng yang digunakan sebagai tempat penyimpanan rempah-rempah (loji), seperti benteng Amsterdam. Benteng Amsterdam ialah salah-satu benteng yan...

"MITOS PRIBUMI MALAS"

( Ilustrasi pribumi. Lukisan ) Istilah "mitos pribumi malas" ini saya temui dari buku hasil penelitian yang ditulis Tania Murray Li dan Pujo Semedi (2022). Buku itu berjudul "Hidup Bersama Raksasa". Maksudnya, masyarakat hidup bersama perusahaan perkebunan. Kembali ke soal istilah, "Apakah pribumi kita benar-benar berwatak pemalas? Ataukah ini hanya mitos saja agar kita merasa inferior dalam mengelola sumber daya yang ada secara mandiri dan harmonis?" Jika kita periksa lembar-lembar sejarah, kita akan temui banyak fakta tentang mustahilnya pribumi kita punya watak pemalas. Kalau pribumi kita pemalas, maka tidak mungkin waktu itu pribumi kita bisa membuat perahu lalu mengarungi samudra sampai ke Madagaskar. Mustahil juga pribumi kita waktu itu melakukan perdagangan internasional sampai di anak benua India, lalu dari situ bahan-bahan dagang kita (putik cengkih, lada, dan pala) tersebar ke seluruh Eropa.  Usaha pribumi kita melakukan perdagangan internasional...

Baileo sebagai Tempat Musyawarah ("Hablumminannas?)

Baileo (rumah adat), di berbagai negeri/desa punya bentuk/arsitektur yang cukup beragam. Ada Baileo patasiwa dan ada patalima. Ulasan patasiwa dan patalima punya kontroversi tersendiri (bisa baca di buku Bartels). Karena kontroversi, maka Beta tidak masuk ke pembahasan tsb. Beta mau lihat, sejauhmana makna bangunan Baileo ini dibalik kepala orang Maluku. Baileo identik dengan istilah "balai" (istilah ini masih di perdebatkan), adalah tempat musyawarah para tetuah. Dalam sejarah manusia (bisa baca buku Yuval Noah Harari), masyarakat mulai mengenal sistem musyawarah ini sejak manusia lepas dari sistem berburu-meramu-nomaden. Harari mengatakan, perpindahan dari sistem berpikir nomaden ke masyarakat "fiksi - kognitif" yang mengandalkan akal sebagai alat musyawarah, adalah loncatan peradaban yang sangat luar biasa sekali. Artinya, jika kita turunkan ulasan ini ke makna "Baileo" maka sebetulnya masyarakat kita zaman dulu punya sistem berpikir yang s...