Langsung ke konten utama

KRITIK ATAS RISET-RISET PSIKOLOGI KONTEMPORER


Bagaimana ilmuwan psikologi dapat mencerna persoalan psikologis masyarakat yang tinggal di sekitar daerah industri? Yakni para masyarakat marjinal. Bagaimana kondisi psikologis masyarakat yang tinggal di wilayah perkebunan sawit? Apa yang dirasakan masyarakat yang tinggal di daerah situ? Bagaimana dinamika psikologisnya? Jika ada masalah psikologis yang dirasakan, lalu bagaimana menyelesaikannya? 


Akhir-akhir ini sejumlah riset psikologi tampak sangat kaku. Kurang studi etnografinya. Minim riset fenomenologinya. Riset-riset psikologi paling banyak menggunakan pendekatan kuantitatif. Positivistik. Kaku. Rigid. Kurang fleksibel. Tidak bebas. Dan sangat normatif. Ini realita riset-riset psikologi di Indonesia. 


Belum lagi, misalnya seorang periset psikologi, ketika hendak menerapkan studi etnografi dalam penelitiannya, kadang dicemooh. Kadang tidak dipedulikan. Katanya, itu riset abal-abal. Hasilnya ndak bisa diuniversalkan. Akhirnya, para periset psikologi menjadi tidak percaya diri saat menggunakan pendekatan kualitatif dalam penelitiannya. 


Parahnya lagi, ketika ada periset psikologi junior ingin menerapkan studi etnografi atau fenomenologi dalam penelitiannya, periset psikologi senior menyarankan untuk dibawa ke Mixed Method. Kalau sudah ada saran (mungkin dapat dikatakan "tekanan") seperti ini maka mustahil temuan risetnya mengalami perkembangan. Bahkan untuk menyelesaikan masalah psikologis pun sulit terpecahkan. Ini merupakan kondisi feodalistik dikalangan para ilmuwan kita sekarang ini di Indonesia. 


Kembali ke masalah tentang harus menerapkan Mixed Method. Cara kerja Mixed Method sependek yang saya tahu seperti ini: "Saat data-data penelitian sudah terkumpul dengan pendekatan kualitatif, maka tugas periset selanjutnya adalah merefleksikan dinamika psikologis yang tampak dari temuannya tersebut. Setelah itu, dinamika psikologis yang terdiri dari dimensi-dimensi psikologis itu lalu dibawa ke kuantitatif. Dibuatlah dalam bentuk alat ukur agar bisa di-general-kan. Ketika sudah jadi alat ukur, maka sampai disinilah hasil kerja riset-riset psikologi. Alat ukur itu lalu diujicobakan supaya valid dan reliabel setiap tahun. Lambat laun alat ukur itu menjadi universal". 


Pertanyaannya adalah apakah informasi tentang kondisi psikologis seseorang bisa dikuantitatifkan? Apakah bisa mengkuantitatifkan kebahagiaan masyarakat marjinal? Kecemasan? Kesengsaraan? Ketidaksejahteraan? Dan seterusnya? 


Saya pikir, para periset psikologi perlu berbenah diri. Perlu memikirkan kembali bagaimana kerja-kerja riset psikologi di masa depan sebagaimana mestinya. Berkaitan dengan hal ini, saya tidak bermaksud menyampingkan penggunaan pendekatan kuantitatif lalu menonjolkan kualitatif dalam riset-riset psikologi di masa mendatang. Tidak seperti itu. Hanya saja, yang sedang saya pikirkan adalah bagaimana para periset psikologi lebih percaya diri saat menerapkan pendekatan kualitatif dalam penelitiannya. Lebih percaya diri mengeksplorasi fenomena psikologis masyarakat pinggiran. Masyarakat marjinal. 


Pendekatan kualitatif diterapkan untuk terutama mencari tahu seperti apa dimensi-dimensi psikologis yang tampak dari masyarakat marjinal? Bagaimana dimensi-dimensi psikologis itu berdinamika di dalam diri masyarakat tersebut? Apa yang dirasakan mereka? 


Para periset psikologi harus kembali ke fenomena psikologis itu apa adanya. Mencari tahu sedetail-detailnya. Tanpa perlu dikuantitatifkan. Karena kalau dikuantitatifkan maka fenomena psikologis yang ada di alat ukur (berupa angket; kuesioner; atau skala) menjadi tidak murni lagi. Hilang esensi temuannya. Padahal, yang diharapkan adalah para periset perlu menampilkan fenomena psikologis masyarakat apa adanya. Ibaratnya adalah para periset psikologi sedang melukis fenomena psikologis masyarakat apa adanya, sejujur-jujurnya, di atas kanvas ilmu pengetahuan psikologi. Begitulah kira-kira yang diharapkan. Sehingga bagi yang membaca hasil temuan riset itu menjadi tercerahkan, dan mengeluarkan kata, "Oh... Ternyata seperti itu ya kondisi psikologi masyarakat marjinal". Kata "oh" di pernyataan itu berarti pembaca telah mendapat makna dibalik fenomena psikologis yang digambarkan para periset psikologi. 


Ketika kata "oh" itu muncul, maka ada upaya bersama untuk memperbaikinya jika fenomena psikologis yang ditampilkan periset sangat buruk. Misalnya, periset menggambarkan kondisi psikologis masyarakat marjinal yang sedang mengalami kesengsaraan psikologis. Dimensi-dimensi psikologis yang ditampilkan adalah hal-hal yang membuat seseorang di dalam masyarakat marjinal mengalami kesengsaraan psikologis. Lantas dari temuan ini lalu ditampilkan apa adanya kepada para pembaca, sehingga ada gerakan bersama untuk menyembuhkan kesengsaraan psikologis yang di derita masyarakat marjinal tersebut. Bukankah tujuan ilmu pengetahuan seperti ini? Memberi insight bagi pembaca sehingga ia mendapat secercah pengetahuan, sehingga dari situ ada gerakan pembaruan. 


Namun, riset-riset psikologi sekarang ini jauh dari upaya tersebut. Riset-riset psikologi sekarang ini hanya mengulang-ngulang terus temuan sebelumnya. Sehingga teori-teori psikologi menjadi kokoh tapi tidak membumi. Akibatnya, masalah psikologi tidak terpecahkan. Tidak terselesaikan secara bersama-sama. Idealnya ilmu pengetahuan adalah menciptakan tanggungjawab bersama untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat tertentu. Tapi, akhir-akhir ini, ilmu pengetahuan terutama bidang ilmu psikologi sangat kurang antusias ke arah situ. Sekian. 


Ambon, 28 Mei 2023

MKR Pelupessy

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Permainan Hidup

Di saat realita berganti wajah,  kau hadir, selalu tanpa esensi.  Kadang kau bahagia, hari ini kau sengsara,  besok kau memuakkan.  Hidup. Memang sebatas permainan.  Gelar yang kau bawa ke mana-mana,  di tempel di atas almanak,  undangan, koran, brosur, pamflet,  dan sejenisnya,  tak ku temukan esensi di sana.  Memang, hidup hanya sebatas permainan.  Aku melihat, sarjana hukum,  tak paham arti keadilan.  Aku melihat, sarjana ekonomi,  tak paham arti kesejahteraan.  Aku melihat, sarjana fisika, kimia, tak paham arti keharmonisan alam.  Aku melihat, sarjana sosiologi,  tak paham arti kerukunan.  Aku melihat, sarjana politik.  tak paham arti etika politik.  Aku melihat, sarjana filsafat,  tak paham arti kebijaksanaan. Kau hadir, selalu tanpa esensi.  Memang, hidup sebatas permainan.  Hanya sedikit yang p aham arti keadilan, kesejahter...

Jalan-jalan ke Benteng Amsterdam, Bertemu Putri Duyung-nya Rumphius

Hari ini, beta ingin menceritakan tentang pengalaman beta jalan-jalan ke benteng Amsterdam, desa Hila, kecamatan Leihitu, Maluku Tengah. Di Maluku, benteng-benteng peninggalan Portugis, Belanda, dan Spanyol terlampau banyak.  Ada benteng Victoria di pusat kota Ambon, benteng Durstede di pulau Saparua, benteng Orange di Ternate, benteng Kastela, benteng Toloko, dan masih banyak lagi. Hadirnya beberapa benteng ini membuktikan bahwa Maluku pada masanya sempat menjadi pusat perniagaan rempah-rempah.  Dalam beberapa catatan sejarah, seperti yang di tulis Adnan Amal, bahwa setiap benteng memiliki fungsinya masing-masing. Misalnya, benteng Victoria atau benteng Kastela, biasanya digunakan sebagai kantor Gubernur. Ada juga benteng yang berfungsi sebagai lokasi pertahanan, seperti benteng Toloko.  Selain itu, ada juga benteng yang digunakan sebagai tempat penyimpanan rempah-rempah (loji), seperti benteng Amsterdam. Benteng Amsterdam ialah salah-satu benteng yan...

"MITOS PRIBUMI MALAS"

( Ilustrasi pribumi. Lukisan ) Istilah "mitos pribumi malas" ini saya temui dari buku hasil penelitian yang ditulis Tania Murray Li dan Pujo Semedi (2022). Buku itu berjudul "Hidup Bersama Raksasa". Maksudnya, masyarakat hidup bersama perusahaan perkebunan. Kembali ke soal istilah, "Apakah pribumi kita benar-benar berwatak pemalas? Ataukah ini hanya mitos saja agar kita merasa inferior dalam mengelola sumber daya yang ada secara mandiri dan harmonis?" Jika kita periksa lembar-lembar sejarah, kita akan temui banyak fakta tentang mustahilnya pribumi kita punya watak pemalas. Kalau pribumi kita pemalas, maka tidak mungkin waktu itu pribumi kita bisa membuat perahu lalu mengarungi samudra sampai ke Madagaskar. Mustahil juga pribumi kita waktu itu melakukan perdagangan internasional sampai di anak benua India, lalu dari situ bahan-bahan dagang kita (putik cengkih, lada, dan pala) tersebar ke seluruh Eropa.  Usaha pribumi kita melakukan perdagangan internasional...

Baileo sebagai Tempat Musyawarah ("Hablumminannas?)

Baileo (rumah adat), di berbagai negeri/desa punya bentuk/arsitektur yang cukup beragam. Ada Baileo patasiwa dan ada patalima. Ulasan patasiwa dan patalima punya kontroversi tersendiri (bisa baca di buku Bartels). Karena kontroversi, maka Beta tidak masuk ke pembahasan tsb. Beta mau lihat, sejauhmana makna bangunan Baileo ini dibalik kepala orang Maluku. Baileo identik dengan istilah "balai" (istilah ini masih di perdebatkan), adalah tempat musyawarah para tetuah. Dalam sejarah manusia (bisa baca buku Yuval Noah Harari), masyarakat mulai mengenal sistem musyawarah ini sejak manusia lepas dari sistem berburu-meramu-nomaden. Harari mengatakan, perpindahan dari sistem berpikir nomaden ke masyarakat "fiksi - kognitif" yang mengandalkan akal sebagai alat musyawarah, adalah loncatan peradaban yang sangat luar biasa sekali. Artinya, jika kita turunkan ulasan ini ke makna "Baileo" maka sebetulnya masyarakat kita zaman dulu punya sistem berpikir yang s...