Langsung ke konten utama

RAKYAT KECIL TERPERANGKAP DI JARING LABA-LABA

 


Jaring laba-laba adalah rumah yang rapuh (menurut ukuran manusia). Meskipun demikian, jaring laba-laba itu cukup handal menangkap serangga-serangga kecil yang berani singgah disitu. Tak sedikit serangga kecil terkecoh dengan jaring-jaring itu. Dikiranya tidak ada, karena jaring-jaring itu tampak transparan sekali, eh padahal jaring-jaring itu sangat berbahaya. Berbahaya bagi diri si serangga kecil. 


Serangga kecil yang terperangkap di dalam jaring-jaring itu sudah tentu merasa risau. Khawatir. Kecewa. Stres, dan seterusnya. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia sudah terperangkap dan tidak bisa terbang bebas lagi. Jaring laba-laba sebagai wujud rumah yang rapuh ini adalah seperti perusahaan, industri, dan perusahaan perkebunan. 


Setelah saya membaca buku hasil riset dengan judul "Hidup Bersama Raksasa: Manusia dan Pendudukan Perkebunan Sawit" oleh Tania Murray Li dan Pujo Semedi, saya sampai pada satu asumsi bahwa perusahaan perkebunan itu ibarat jaring laba-laba, rumah yang rapuh tapi handal dan terampil. 




Rumah itu rapuh, tapi terampil memangsa rakyat-rakyat kecil yang ada disekitarnya. Rakyat-rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa tentang teknologi politik dan ekonomi politik yang dimainkan si pemilik rumah rapuh tsb. Rakyat-rakyat kecil yang hanya tahu bahwa istri dan anak-anaknya besok harus bisa makan. Rakyat-rakyat kecil yang tulus dalam bekerja, tapi diam-diam dibodohi secara masif. 


Disaat rakyat-rakyat kecil itu terperangkap di dalam rumah jaring laba-laba perusahaan perkebunan, mereka tidak bisa mengelak lagi. Mereka harus tunduk dan setia pada si pemilik rumah yang rapuh tsb. Kalau tidak, mereka tidak akan punya masa depan. 


Perusahaan perkebunan sebagai jaring laba-laba ini menawarkan janji-janji manis di masa depan. Janjinya adalah para petani akan mendapat kapling tanah seluas dua hektar setelah masa kredit berakhir. Uniknya, perusahaan perkebunan ini bertindak sebagai mediator antara dirinya dengan pihak bankir. Diatas surat perjanjian kredit, perusahaan perkebunan meminjam uang ke bank untuk membeli 6000 hektar tanah yang nantinya disediakan kepada para petani per-dua hektar. 


Lalu, para petani diberi luas tanah sebesar dua hektar untuk bertani agar dapat melunasi kredit bank. Disini perusahaan perkebunan sebagai mediator lepas tangan. Janji perusahaan perkebunan bahwa ketika para petani sudah melunasi kredit itu maka dua hektar tanah tsb akan menjadi milik petani. Untuk bisa melunasi tanah, para petani secara tanpa sadar diperintahkan oleh perusahaan perkebunan untuk harus menanam tumbuhan monokultur, yakni sawit. Kalau tidak, maka mereka (para petani) tidak akan mendapat untung (penghasilan). 


Lagipula, desakan ekonomi yang tersedia hanya menjual sawit saja. Dan ini yang paling dekat. Kalaupun para petani mau menanam tumbuhan lain, justru meraka tidak akan memperoleh apa-apa alias pendapatannya nol. Olehnya itu, hanya menanam sawit sajalah solusi satu-satunya. 


Buah-buah sawit itu yang nantinya dijual para petani ke perusahaan perkebunan. Ironisnya, para petani tidak tahu berapa besaran kredit yang harus dilunasi sebagaimana janji mereka ke perusahaan perkebunan. Parahnya lagi, para petani juga sering ditipu karena uang hasil jualan buah sawit yang dipotong terus-menerus itu rupanya masuk ke kantong-kantong manajer perusahaan dll. Praktik mafia yang sungguh mengenaskan. (Jadi kapan akan lunas kredit tanah itu? Petani tidak tahu apa-apa). 


Perusahaan perkebunan terus ngotot agar petani harus terus bekerja intens. Tidak boleh berhenti. Kalau mereka berhenti maka mereka tidak akan memperoleh tanah dua hektar sebagaimana janji perusahaan jika kreditnya selesai. Dalam situasi seperti itulah, para petani semakin terjebak di rumah jaring laba-laba perusahaan perkebunan. Jaring-jaring tsb adalah janji-janji manis perusahaan. Janji-janji itu sangat transparan seperti jaring laba-laba, tapi sungguh berbahaya bagi siapa saja (para petani) yang mendekatinya. 


Para petani yang sudah terjebak di dalamnya (di jaring laba-laba perusahaan perkebunan) itu akhirnya tidak bisa keluar lagi. Mereka (para petani) terperangkap dalam janji-janji perusahaan perkebunan, dan paling mengenaskan lagi adalah karena terlilit kredit agar bisa memiliki dua hektar tanah yang utopis di masa mendatang. Ironis. Sekian. 


Ambon, 30 Mei 2023

MKR Pelupessy

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Permainan Hidup

Di saat realita berganti wajah,  kau hadir, selalu tanpa esensi.  Kadang kau bahagia, hari ini kau sengsara,  besok kau memuakkan.  Hidup. Memang sebatas permainan.  Gelar yang kau bawa ke mana-mana,  di tempel di atas almanak,  undangan, koran, brosur, pamflet,  dan sejenisnya,  tak ku temukan esensi di sana.  Memang, hidup hanya sebatas permainan.  Aku melihat, sarjana hukum,  tak paham arti keadilan.  Aku melihat, sarjana ekonomi,  tak paham arti kesejahteraan.  Aku melihat, sarjana fisika, kimia, tak paham arti keharmonisan alam.  Aku melihat, sarjana sosiologi,  tak paham arti kerukunan.  Aku melihat, sarjana politik.  tak paham arti etika politik.  Aku melihat, sarjana filsafat,  tak paham arti kebijaksanaan. Kau hadir, selalu tanpa esensi.  Memang, hidup sebatas permainan.  Hanya sedikit yang p aham arti keadilan, kesejahter...

Jalan-jalan ke Benteng Amsterdam, Bertemu Putri Duyung-nya Rumphius

Hari ini, beta ingin menceritakan tentang pengalaman beta jalan-jalan ke benteng Amsterdam, desa Hila, kecamatan Leihitu, Maluku Tengah. Di Maluku, benteng-benteng peninggalan Portugis, Belanda, dan Spanyol terlampau banyak.  Ada benteng Victoria di pusat kota Ambon, benteng Durstede di pulau Saparua, benteng Orange di Ternate, benteng Kastela, benteng Toloko, dan masih banyak lagi. Hadirnya beberapa benteng ini membuktikan bahwa Maluku pada masanya sempat menjadi pusat perniagaan rempah-rempah.  Dalam beberapa catatan sejarah, seperti yang di tulis Adnan Amal, bahwa setiap benteng memiliki fungsinya masing-masing. Misalnya, benteng Victoria atau benteng Kastela, biasanya digunakan sebagai kantor Gubernur. Ada juga benteng yang berfungsi sebagai lokasi pertahanan, seperti benteng Toloko.  Selain itu, ada juga benteng yang digunakan sebagai tempat penyimpanan rempah-rempah (loji), seperti benteng Amsterdam. Benteng Amsterdam ialah salah-satu benteng yan...

"MITOS PRIBUMI MALAS"

( Ilustrasi pribumi. Lukisan ) Istilah "mitos pribumi malas" ini saya temui dari buku hasil penelitian yang ditulis Tania Murray Li dan Pujo Semedi (2022). Buku itu berjudul "Hidup Bersama Raksasa". Maksudnya, masyarakat hidup bersama perusahaan perkebunan. Kembali ke soal istilah, "Apakah pribumi kita benar-benar berwatak pemalas? Ataukah ini hanya mitos saja agar kita merasa inferior dalam mengelola sumber daya yang ada secara mandiri dan harmonis?" Jika kita periksa lembar-lembar sejarah, kita akan temui banyak fakta tentang mustahilnya pribumi kita punya watak pemalas. Kalau pribumi kita pemalas, maka tidak mungkin waktu itu pribumi kita bisa membuat perahu lalu mengarungi samudra sampai ke Madagaskar. Mustahil juga pribumi kita waktu itu melakukan perdagangan internasional sampai di anak benua India, lalu dari situ bahan-bahan dagang kita (putik cengkih, lada, dan pala) tersebar ke seluruh Eropa.  Usaha pribumi kita melakukan perdagangan internasional...

Baileo sebagai Tempat Musyawarah ("Hablumminannas?)

Baileo (rumah adat), di berbagai negeri/desa punya bentuk/arsitektur yang cukup beragam. Ada Baileo patasiwa dan ada patalima. Ulasan patasiwa dan patalima punya kontroversi tersendiri (bisa baca di buku Bartels). Karena kontroversi, maka Beta tidak masuk ke pembahasan tsb. Beta mau lihat, sejauhmana makna bangunan Baileo ini dibalik kepala orang Maluku. Baileo identik dengan istilah "balai" (istilah ini masih di perdebatkan), adalah tempat musyawarah para tetuah. Dalam sejarah manusia (bisa baca buku Yuval Noah Harari), masyarakat mulai mengenal sistem musyawarah ini sejak manusia lepas dari sistem berburu-meramu-nomaden. Harari mengatakan, perpindahan dari sistem berpikir nomaden ke masyarakat "fiksi - kognitif" yang mengandalkan akal sebagai alat musyawarah, adalah loncatan peradaban yang sangat luar biasa sekali. Artinya, jika kita turunkan ulasan ini ke makna "Baileo" maka sebetulnya masyarakat kita zaman dulu punya sistem berpikir yang s...