Langsung ke konten utama

TUHAN, MANUSIA DAN ALAM


"Alam telah memberi beta kenyamanan dan ketenangan". Argumen ini muncul setelah beta mengingat-ingat kembali tentang pengalaman beta saat mendaki gunung Merbabu di Jawa Tengah sekitar tahun 2013 lalu. Waktu itu, beta bersama tiga orang teman lainnya menapaki jalur pendakian gunung Merbabu. Kami mendaki pada malam hari. Tepatnya jam 21.00 WIB.


Perjalanan melewati jalur pendakian gunung Merbabu adalah pengalaman yang sangat menggembirakan beta kala itu. Di dalam perjalanan, beta bersama tiga orang teman lainnya berhenti di bawah pohon rindang setelah melewati pos dua. Kami sengaja berhenti untuk melepas lelah. Waktu menunjukkan semakin larut malam. Udara semakin terasa dingin. Keringat mengucur deras keluar dari pori-pori kulit.


Saat berhenti dibawah pohon yang rindang itu, beta lalu menengadahkan kepala ke atas melihat langit-langit malam. Spontan yang keluar dari mulut beta adalah MasyaAllah, luar biasa. Beta lihat langit malam ditaburi kilauan cahaya bintang yang sangat banyak. Kilauan cahayanya saling membalas indah. Dalam bathin, beta merasa sangat nyaman dan tenang secara psikologis. 


Belakangan, beta baru menyadari bahwa ketenangan dan kenyamanan yang beta rasakan itu karena 'mindfulness'. 'Mindfulness' adalah gejala keterarahan (memfokuskan) pikiran kita pada kualitas objek tertentu (yakni alam sekitar) yang kemudian membangkitkan emosi ketenangan dan kenyamanan. Kualitas objek dalam konteks cerita beta di atas adalah berkaitan dengan efek ketenangan dan kenyamanan yang diberikan alam (kilauan cahaya bintang) ke pikiran beta. 


Dari proses itu kemudian beta merasa bahwa diri beta sudah 'dwelling' (bermukim) di tengah alam semesta (in itself). Disini kemudian terjalin relasi antara diri beta dengan alam semesta menjadi sangat harmonis. Relasi beta dengan alam akhirnya semakin menyatu karena beta menyadari bahwa alam telah memberi beta kenyamanan dan ketenangan itu. 


Apa yang diharapkan setiap manusia hanya ini: ketenangan dan kenyamanan. Harapan akan kenyamanan dan ketenangan ini muncul karena manusia dilahirkan dengan virtue tersebut. Ketenangan dan kenyamanan ini ibarat chip yang ditempelkan tanpa sengaja dibalik dasar otak manusia. Chip ini dinamakan gen yang mengandung kode-kode DNA, yang kemudian hal itu ditransmisikan turun-temurun dari generasi ke generasi, menjadi semacam arketipe. 


Kita sekarang mewarisi kode-kode DNA akan ketenangan dan kenyamanan ini. Kode-kode itu akan muncul pada situasi tertentu ketika kita berhadapan dengan alam semesta. Kode-kode DNA akan kenyamanan dan ketenangan ini untuk sementara dinamakan keinginan. Kita selalu ingin tenang dan nyaman. Kita selalu mendambakannya. 


Keinginan akan kenyamanan dan ketenangan ini merupakan virtue yang orang agamawan meyakininya sebagai hadiah yang diberikan Tuhan Maha Esa. Segala sesuatu yang bersumber dari Tuhan selalu tercerahkan. Begitupun dengan keinginan yang merupakan virtue pemberian Tuhan adalah selalu tercerahkan. Dengan kata lain, keinginan akan ketenangan dan kenyamanan merupakan suatu hal yang tercerahkan. 


Namun, adakalanya juga keinginan akan ketenangan dan kenyamanan ini menjadi tidak tercerahkan karena lepas kontrol dari kendali Tuhan. Hal ini disebut sebagai keinginan yang banal. Keinginan yang destruktif. Wujudnya adalah realisasi kenyamanan dan ketenangan melalui tindakan yang banal dan tidak bertanggungjawab terhadap alam semesta.


Demi merealisasikan keinginan akan kenyamanan dan ketenangan yang banal itu, manusia menyibak alam dengan tindakan destruktif (mengeksploitasinya). Mengeksploitasi alam demi memenuhi hasrat ketenangan dan kenyamanan banal yang sejatinya bersifat sementara. Eksploitasi terhadap alam melalui realisasi hasrat destruktif demi mengejar ketenangan dan kenyamanan sesaat ini sama halnya mengeksploitasi keinginan manusia lain yang tercerahkan. 


Dengan kata lain, eksploitasi alam sama halnya mengeksploitasi sesama manusia lainnya. Yakni, eksploitasi dari keinginan yang tidak tercerahkan terhadap keinginan yang tercerahkan. Watak eksploitatif ini merupakan watak yang banal. Sekarang, beta telah sampai pada satu kesimpulan sementara bahwa era sekarang adalah era "clash of desire". Yakni benturan antara keinginan yang tercerahkan versus keinginan yang tidak tercerahkan. 


Benturan antara keinginan merealisasikan kenyamanan dan ketenangan melalui tindakan banaal mengeksploitasi alam, versus realisasi keinginan akan kenyamanan dan ketenangan melalui tindakan tercerahkan yakni selalu membangun relasi penuh harmonis dan apresiatif terhadap alam (bukan malah mengeksploitasinya secara membabi-buta). 


Atau benturan antara keinginan watak egoistis yang lepas kontrol dari kendali Tuhan, versus keinginan yang tercerahkan karena dibawah kendali Tuhan. Berangkat dari ulasan ini, maka beta semakin yakin bahwa manusia yang ber-Tuhan akan selalu mengarahkan dirinya untuk selalu membangun relasi harmonis bersama alam. 


Sampai disini beta belum benar-benar sampai pada suatu kesimpulan akhir. Masih ada banyak hal yang mau beta jabarkan ulasannya. Tapi, untuk sementara beta akhiri sampai disitu saja. Dan beta akan teruskan ulasannya di lain kesempatan. Sekian. 


Ambon, 07 Mei 2023

MKR Pelupessy

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Islam Masuk ke Siri-Sori Islam

Sampai detik ini, sejarah masuknya Islam ke pulau Saparua, tepatnya di negeri Siri-Sori Islam masih menjadi misteri. Ada pendapat mengatakan bahwa masuknya Islam ke Siri-Sori Islam tepat pada tahun 1212 masehi. Apakah pendapat ini benar demikian? Wallahua’lam. Jika kita mengatakan Islam masuk ke Saparua, tepatnya di Siri-Sori Islam pada abad 11/12 masehi, maka bisa dikatakan bahwa pendapat itu “hampir” benar adanya. Memang, pada abad 11/12 masehi ini Islam masuk ke Nusantara dibawa saudagar muslim asal Persia. Buktinya ialah pengaruh bahasa Persia dikalangan kerajaan-kerajaan Nusantara tentang kebiasaan duduk “bersila”. Kata “bersila” ini diserap dari kitab ‘Ajaib Al-Hind dikarang oleh muslim Persia bernama Buzurg bin Shariyar Al-Ramhurmuzi abad 11 masehi. Sekarang, mari kita tengok budaya kerajaan kita (di Siri-Sori Islam), apakah ada kebiasaan duduk “bersila” di hadapan raja? Wallahua’lam. Kalau kita lihat budaya kita, mustahil ada budaya duduk bersila dihadapan raja. Artinya, hal in...

Kata "Tabea" sebagai Wujud Perilaku Sopan-santun Orang Maluku - Malut

Dialah Dieter Bartels, antropolog asal Jerman yang sudah puluhan tahun melakukan studi di Maluku, mengatakan bahwa, meskipun orang Maluku itu punya watak keras dan terkadang diperankan sebagai "preman" di kota-kota besar, namun banyak juga orang Maluku yang punya perangai cerdas, cerdik, dan berpengetahuan luas. Artinya, stigma keras kepala alih-alih kurang beradab yang melekat pada orang Maluku ialah suatu kekeliruan yang cukup besar.  Orang Maluku yang beradab ini dapat kita lihat dalam praktik kebudayaan, ada terselip nilai-nilai etis yang sangat tinggi. Salah-satu budaya yang dapat kita perlihatkan di sini ialah kata "tabea", biasa dipakai dalam komunikasi sehari-hari atau dalam upacara adat tertentu. Hampir setiap daerah yang ada di Indonesia bagian timur, kata "tabea" ini tak asing lagi di dengar khayalak umum.  Di Bone, Sulawesi Selatan, misalnya, ada kata "tabea" (dengan penghilangan huruf a menjadi tabe). Beta pernah dengar ...

Kata "Tabea" sebagai Bentuk Motivasi Orang Maluku - Malut

Di artikel sebelumnya, beta telah ulas mengenai kata "tabea" sebagai wujud perilaku sopan-santun. Sekarang ini, beta akan bahas perihal kata tabea sebagai "daya tonjok psikologis" atau bisa kita maknai sebagai motivasi diri. Kata "tabea" biasa dipraktikkan ketika seorang pemuda berjalan di depan orang tua, maka ia harus nunduk sambil membungkukkan badan, terus ia katakan "tabea - permisi".  Adakalanya juga kata "tabea" ini muncul dalam praktik tarian-tarian adat di Maluku, seperti tarian soya-soya (di Maluku Utara), dan sesekali kata itu juga diteriakkan para penari dalam tarian cakelele. Selain itu, kata tabea juga muncul dalam tradisi "arumbai manggurebe". Para kapitan atau malesi dalam beberapa kesempatan upacara adat, setelah mereka menutup sambutan akan dibarengi dengan teriakan, "tabea!" (dengan suara lantang), sontak masyarakat yang mendengar juga meneriakkan kata yang sama, "tabea!".  ...

PSIKOLOGI KRITIS (Sedikit Catatan)

"Jangan-jangan, psikologi yang saya pahami adalah buah dari kerja-kerja relasi kuasa di luar sana, yang saya tidak mengerti, tapi diam-diam masuk dan kita meyakininya sebagai kebenaran. Parahnya, kita mempraktikkannya tanpa kesadaran kritis" (Jumat, 11 Oktober 2024).  Asumsi itu muncul setelah saya baru selesai mengikuti kegiatan Konferensi Nasional yang diadakan oleh Fakultas Psikologi UGM. Kegiatan ini mengangkat tema "Menyala Indonesiaku: Psikologi sebagai Pilar Kesehatan Mental Generasi Emas". Dalam kegiatan itu, ada satu kajian yang menarik perhatian saya yakni, psikologi diskursus atau psikologi kritis. Sebuah kajian yang sedang saya minati belakangan ini. Berikut ini adalah sedikit dari catatan saya mengenai kegiatan itu yang kemudian saya gabungkan/menyadur dari artikel Prof. Teguh Wijaya Mulya.  .................. Teori-teori psikologi yang sudah mapan belum tentu dapat digunakan secara langsung untuk membaca fenomena psikologis di Indonesia. Perlu melihat ...