Langsung ke konten utama

NEGARA IDEAL PERSPEKTIF AL-FARABI

 


Para pemikir seperti Plato, Thomas Aquinas, Hobbes, Ibnu Khaldun, Machiavelli, dan lainnya kerap memposisikan masyarakat dibawah subordinasi negara. Pendapat ini berangkat dari suatu keyakinan bahwa negara hadir karena semua individu di dalam masyarakat telah mengorbankan hak individualnya menjadi hak negara untuk mengaturnya agar semua orang dapat mencapai kebahagiaan bersama. 

Dengan kata lain, ketika negara hadir maka hak individu tidak ada. Semua tergantung pada negara melalui kewenangan dan kekuasaannya untuk mengontrol hak-hak individu agar semua dapat tertib. Argumentasi ini juga tak jauh beda dengan Karl Marx. 

Dalam pandangan Marx, jika gerakan proletar dapat mengambil alih alat produksi dari kalangan "borjuis besar" (yakni para kapitalis) yang sedang berkuasa, maka akan melahirkan kekuasaan "borjuis-borjuis kecil" yang dipegang oleh kalangan proletariat. Dari sini sehingga tercipta situasi tanpa kelas. Ini merupakan manifesto komunis. 

Ketika situasinya sudah seperti itu, maka negara dibawah kendali "borjuis-borjuis kecil" (kalangan proletariat) ini akan berusaha memaksa semua orang untuk mengikuti kehendaknya agar situasi tetap tertib, stabil, dan adil. Inilah wujud negara komunis. 

Dalam konteks pembahasan tersebut, negara memiliki kendali penuh terhadap semua orang. Dengan kata lain, tidak ada hak individual yang patut diperjuangkan mati-matian. Negara memiliki kekuatan yang sangat besar, kuat dan sekaligus represif. 

Berkebalikan dengan argumentasi tersebut, para pemikir lainnya seperti John Locke, Rousseau, Montesquieu, Antonio Gramsci, dan Al-Farabi meyakini bahwa negara sejatinya dapat dikontrol oleh hak-hak individual di dalam komunitas-komunitas masyarakat tertentu. Pengontrolan yang dapat dilakukan oleh masyarakat terhadap negara ini disebut hubungan simbiotik, yakni antara hak negara dengan hak-hak individual bisa saling menguntungkan. 

Artinya, ada relasi yang bisa saling mengoreksi dan saling membutuhkan. Jika negara terlampau represif dengan kediktatorannya, maka situasi ini secara tidak langsung akan melanggengkan kekuasaan yang oligarki, koruptif, dan hal-hal negatif lainnya, sehingga situasi tersebut perlu dikoreksi oleh hak-hak individual di dalam masyarakat. 

Berkaitan dengan pengontrolan yang dapat dilakukan oleh setiap individu (masyarakat) terhadap negara, maka ada syarat khusus bagi masyarakat yakni harus dalam kategori "civil society", ialah masyarakat yang beradab (tamaddun). Masyarakat yang beradab adalah masyarakat yang bertindak mengontrol negara karena atas dasar kesadaran rasionalitas dan moralitas. 

Jadi, pengontrolan dari masyarakat terhadap negara bukan dilakukan secara arogan, brutal dan tidak beradab. Apalagi pengontrolan itu dilakukan secara tidak sadar, ini akan semakin memperparah situasi bahkan berujung pada ketidaknyamanan bersama. Pengontrolan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap negara berangkat dari kesadaran rasionalitas adalah masyarakat yang kritis terhadap setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sebagai penyelenggara negara. 

Jika masyarakat menilai secara kritis bahwa kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak adil bagi kelangsungan hidup bersama, maka wajib bagi masyarakat untuk menuntut hak-hak diperlakukan secara adil. Begitupun pengontrolan yang berangkat dari kesadaran moralitas. Ada kewajiban etis yang harus diwujudkan untuk mengontrol jalannya negara. 

Dalam konteks Indonesia, kesadaran rasionalitas dan moralitas dari masyarakat guna mengontrol negara harus berangkat dari spirit Pancasila. Pancasila harus menjadi 'leitstar dinamis' (bintang penuntun) oleh masyarakat guna mengontrol pemerintah sebagai penyelenggara negara. Hal ini agar negara tetap berada di jalur ideologi, terutama berkaitan dengan usaha-usahanya untuk merealisasikan nilai-nilai Pancasila. 

Ambon, 11 Mei 2023
MKR Pelupessy


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Permainan Hidup

Di saat realita berganti wajah,  kau hadir, selalu tanpa esensi.  Kadang kau bahagia, hari ini kau sengsara,  besok kau memuakkan.  Hidup. Memang sebatas permainan.  Gelar yang kau bawa ke mana-mana,  di tempel di atas almanak,  undangan, koran, brosur, pamflet,  dan sejenisnya,  tak ku temukan esensi di sana.  Memang, hidup hanya sebatas permainan.  Aku melihat, sarjana hukum,  tak paham arti keadilan.  Aku melihat, sarjana ekonomi,  tak paham arti kesejahteraan.  Aku melihat, sarjana fisika, kimia, tak paham arti keharmonisan alam.  Aku melihat, sarjana sosiologi,  tak paham arti kerukunan.  Aku melihat, sarjana politik.  tak paham arti etika politik.  Aku melihat, sarjana filsafat,  tak paham arti kebijaksanaan. Kau hadir, selalu tanpa esensi.  Memang, hidup sebatas permainan.  Hanya sedikit yang p aham arti keadilan, kesejahter...

Jalan-jalan ke Benteng Amsterdam, Bertemu Putri Duyung-nya Rumphius

Hari ini, beta ingin menceritakan tentang pengalaman beta jalan-jalan ke benteng Amsterdam, desa Hila, kecamatan Leihitu, Maluku Tengah. Di Maluku, benteng-benteng peninggalan Portugis, Belanda, dan Spanyol terlampau banyak.  Ada benteng Victoria di pusat kota Ambon, benteng Durstede di pulau Saparua, benteng Orange di Ternate, benteng Kastela, benteng Toloko, dan masih banyak lagi. Hadirnya beberapa benteng ini membuktikan bahwa Maluku pada masanya sempat menjadi pusat perniagaan rempah-rempah.  Dalam beberapa catatan sejarah, seperti yang di tulis Adnan Amal, bahwa setiap benteng memiliki fungsinya masing-masing. Misalnya, benteng Victoria atau benteng Kastela, biasanya digunakan sebagai kantor Gubernur. Ada juga benteng yang berfungsi sebagai lokasi pertahanan, seperti benteng Toloko.  Selain itu, ada juga benteng yang digunakan sebagai tempat penyimpanan rempah-rempah (loji), seperti benteng Amsterdam. Benteng Amsterdam ialah salah-satu benteng yan...

"MITOS PRIBUMI MALAS"

( Ilustrasi pribumi. Lukisan ) Istilah "mitos pribumi malas" ini saya temui dari buku hasil penelitian yang ditulis Tania Murray Li dan Pujo Semedi (2022). Buku itu berjudul "Hidup Bersama Raksasa". Maksudnya, masyarakat hidup bersama perusahaan perkebunan. Kembali ke soal istilah, "Apakah pribumi kita benar-benar berwatak pemalas? Ataukah ini hanya mitos saja agar kita merasa inferior dalam mengelola sumber daya yang ada secara mandiri dan harmonis?" Jika kita periksa lembar-lembar sejarah, kita akan temui banyak fakta tentang mustahilnya pribumi kita punya watak pemalas. Kalau pribumi kita pemalas, maka tidak mungkin waktu itu pribumi kita bisa membuat perahu lalu mengarungi samudra sampai ke Madagaskar. Mustahil juga pribumi kita waktu itu melakukan perdagangan internasional sampai di anak benua India, lalu dari situ bahan-bahan dagang kita (putik cengkih, lada, dan pala) tersebar ke seluruh Eropa.  Usaha pribumi kita melakukan perdagangan internasional...

Baileo sebagai Tempat Musyawarah ("Hablumminannas?)

Baileo (rumah adat), di berbagai negeri/desa punya bentuk/arsitektur yang cukup beragam. Ada Baileo patasiwa dan ada patalima. Ulasan patasiwa dan patalima punya kontroversi tersendiri (bisa baca di buku Bartels). Karena kontroversi, maka Beta tidak masuk ke pembahasan tsb. Beta mau lihat, sejauhmana makna bangunan Baileo ini dibalik kepala orang Maluku. Baileo identik dengan istilah "balai" (istilah ini masih di perdebatkan), adalah tempat musyawarah para tetuah. Dalam sejarah manusia (bisa baca buku Yuval Noah Harari), masyarakat mulai mengenal sistem musyawarah ini sejak manusia lepas dari sistem berburu-meramu-nomaden. Harari mengatakan, perpindahan dari sistem berpikir nomaden ke masyarakat "fiksi - kognitif" yang mengandalkan akal sebagai alat musyawarah, adalah loncatan peradaban yang sangat luar biasa sekali. Artinya, jika kita turunkan ulasan ini ke makna "Baileo" maka sebetulnya masyarakat kita zaman dulu punya sistem berpikir yang s...