Berikut sederet "problem identitas" (pantaskah di sebut "problem"?), dengan tanpa sadar kita alami sehari-hari.
Ketika kita berada di kampus, kita menjadi mahasiswa atau dosen. Namun, ketika kita berada di rumah, kita menjadi ayah/ibu/anak.
Ketika kita berada di kantor, kita menjadi pegawai. Namun, ketika kita berada di kafe, kita menjadi penikmat kopi.
Ketika kita berada di dalam bis, kita menjadi penumpang. Namun, ketika Anda sedang mengantar ibu Anda ke sekolah, Anda menjadi pengendara (sopir).
Ketika kita berada di dunia maya, kita menjadi pribadi yang seolah-olah tahu segalanya. Namun, ketika kita berada di dunia nyata, kita menjadi pribadi yang tidak tahu segalanya.
Ketika kita berada di ladang, kita menjadi petani. Namun, ketika kita berada di tempat pengajian, kita menjadi santri.
Ketika kita berada di masjid, kita menjadi jamaah. Namun, ketika kita berada di rumah (kalau Anda laki-laki), kita menjadi imam, dan (kalau Anda perempuan) tetap menjadi makmum (kecuali dalam kondisi tertentu menjadi imam).
Apakah problem identitas selalu terkait dengan ruang dan waktu? Ketika beta berada di situ, beta menjadi "itu", dan ketika beta berada di sini, beta menjadi "ini".
Menjawab pertanyaan itu sungguh butuh kajian reflektif tingkat tinggi, seharusnya begitu. Apakah hal ini penting kita pikirkan? Ya, nanti saja.
Itulah sederet problem identitas yang tanpa sadar kita alami sehari-hari. Dari situ, kita bisa tahu bahwa diri kita penuh dengan paradoks.
Adakalanya menjadi "ini" dan terkadang menjadi "itu". Kalau di dalam diri kita saja penuh dengan "keberagaman" lantas bagaimana dengan di luar diri kita? (Pasti sangat beragam sekali).
Dengan adanya problem identitas ini, kita belajar banyak hal tentang hakikat "keberagaman". Setiap manusia berbeda-beda. Meskipun di dalam diri kita penuh keberagaman, namun kita sangat "enjoy" menjalaninya.
Qashai Pelupessy
Maluku - Ambon
Kamis, 09 Juli 2020
Komentar
Posting Komentar