Langsung ke konten utama

Bisikan (1)


Apakah aku harus kembali belajar mengenalnya (masa iya, harus? Tanya suara hati). Memang sudah seharusnya, dan mau tak mau kau harus melakukannya. Baiklah, kan ku coba, tegasnya dalam hati. 

Laki-laki dewasa itu bangkit dari kursi yang mulai rusak. Mungkin, karena umur kursi sudah setahun lebih tak pernah di ganti. Joknya sudah keriput, spons-nya kempes. Sudah tidak empuk lagi. Tapi, masih layak buat sekedar duduk-duduk. Tempat yang nyaman buat merenung, refleksi, tentang masa silam, terus kemudian ke masa depan. 

Waktu terus berproses bagaikan kupu-kupu yang baru lepas dari rumah kepompongnya. Awalnya, situasi menuntut kita (seperti kupu-kupu) harus banyak berpuasa. Hakikat puasa ialah imsak, yang artinya menahan. 

Menahan diri dari amarah, iri, dengki, sombong, dan seterusnya. Yang semua itu di arahkan pada hal-hal yang dapat menenteramkan bathin, seperti ikhlas, syukur, pemaaf, semangat, dan keyakinan diri yang kuat. 

Itulah kupu-kupu, selama menjadi kepompong, ia sangat rajin berpuasa. Ia melindungi dirinya dengan benang sutra halus, halus sekali. Meski angin bertiup kencang, tapi rumahnya tak pernah goyah, kuat.

Sampai pada waktunya, jrengg.. lahir menjadi kupu-kupu yang warnanya, aduhai, indah sekali. Hasil dari puasa selama beberapa hari menjadikan dirinya lebih terlihat mempesona. 

Kita bagaikan kupu-kupu, yang mau-tak-mau harus belajar menahan diri dari segala bentuk rayuan kehidupan. Dengan demikian, kita akan lahir menjadi pribadi yang sangat mempesona. Dan ketika sudah mempesona, barulah kita siap melakukan berbagai hal untuk memenuhi tuntutan kehidupan. 

Laki-laki yang sudah sedari tadi berdiri meninggalkan jok kursi kusam itu, mondar-mandir tanpa henti. Ia berpikir, apakah dirinya sudah siap? Apakah dirinya sudah selesai dengan proses menahan diri -- seperti kepompong itu? Apakah sudah? Apakah pantas? [Tanyanya dalam bathin].

Tiba-tiba, suara halus berbisik dari balik hatinya, "insya...Allah.. yakin saja.. semakin kau bertanya kapan kau siap, semakin itu pula kau merasa tidak siap.. ke-tidak-siap-an ialah bentuk lain dari bisikan syaitan.. percayalah, bersama Allah kau akan tenang.." (Suara itu sangat halus terdengar dari lubuk hati paling dalam). 

Laki-laki itu, sontak menghentikan langkah kakinya yang sedari tadi mondar-mandir tak jelas. Ia lalu menatap ke langit-langit rumah. Ia tengadahkan wajahnya ke atas. Sembari ia berdoa, 

"Ya Allah, Ya Tuhan-ku, bersama Nabi Muhammad utusan-Mu, jika semua ini adalah keharusan, dan karena pengabdian ku sebagai hamba-Mu, maka perkenankan suara bathin tadi ya Rabb, aku akan mencoba belajar kembali mengenalnya, semoga saja dia terbuka dan membuka diri, aamiin".

Selepas berdoa, laki-laki itu langsung bergegas keluar meninggalkan rumahnya. Dia berjalan menyusuri lorong-lorong sempit, dan menghilang. [BERSAMBUNG].

Qashai Pelupessy
Maluku - Ambon
Kamis, 11 Juni 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Islam Masuk ke Siri-Sori Islam

Sampai detik ini, sejarah masuknya Islam ke pulau Saparua, tepatnya di negeri Siri-Sori Islam masih menjadi misteri. Ada pendapat mengatakan bahwa masuknya Islam ke Siri-Sori Islam tepat pada tahun 1212 masehi. Apakah pendapat ini benar demikian? Wallahua’lam. Jika kita mengatakan Islam masuk ke Saparua, tepatnya di Siri-Sori Islam pada abad 11/12 masehi, maka bisa dikatakan bahwa pendapat itu “hampir” benar adanya. Memang, pada abad 11/12 masehi ini Islam masuk ke Nusantara dibawa saudagar muslim asal Persia. Buktinya ialah pengaruh bahasa Persia dikalangan kerajaan-kerajaan Nusantara tentang kebiasaan duduk “bersila”. Kata “bersila” ini diserap dari kitab ‘Ajaib Al-Hind dikarang oleh muslim Persia bernama Buzurg bin Shariyar Al-Ramhurmuzi abad 11 masehi. Sekarang, mari kita tengok budaya kerajaan kita (di Siri-Sori Islam), apakah ada kebiasaan duduk “bersila” di hadapan raja? Wallahua’lam. Kalau kita lihat budaya kita, mustahil ada budaya duduk bersila dihadapan raja. Artinya, hal in...

Kata "Tabea" sebagai Wujud Perilaku Sopan-santun Orang Maluku - Malut

Dialah Dieter Bartels, antropolog asal Jerman yang sudah puluhan tahun melakukan studi di Maluku, mengatakan bahwa, meskipun orang Maluku itu punya watak keras dan terkadang diperankan sebagai "preman" di kota-kota besar, namun banyak juga orang Maluku yang punya perangai cerdas, cerdik, dan berpengetahuan luas. Artinya, stigma keras kepala alih-alih kurang beradab yang melekat pada orang Maluku ialah suatu kekeliruan yang cukup besar.  Orang Maluku yang beradab ini dapat kita lihat dalam praktik kebudayaan, ada terselip nilai-nilai etis yang sangat tinggi. Salah-satu budaya yang dapat kita perlihatkan di sini ialah kata "tabea", biasa dipakai dalam komunikasi sehari-hari atau dalam upacara adat tertentu. Hampir setiap daerah yang ada di Indonesia bagian timur, kata "tabea" ini tak asing lagi di dengar khayalak umum.  Di Bone, Sulawesi Selatan, misalnya, ada kata "tabea" (dengan penghilangan huruf a menjadi tabe). Beta pernah dengar ...

Kata "Tabea" sebagai Bentuk Motivasi Orang Maluku - Malut

Di artikel sebelumnya, beta telah ulas mengenai kata "tabea" sebagai wujud perilaku sopan-santun. Sekarang ini, beta akan bahas perihal kata tabea sebagai "daya tonjok psikologis" atau bisa kita maknai sebagai motivasi diri. Kata "tabea" biasa dipraktikkan ketika seorang pemuda berjalan di depan orang tua, maka ia harus nunduk sambil membungkukkan badan, terus ia katakan "tabea - permisi".  Adakalanya juga kata "tabea" ini muncul dalam praktik tarian-tarian adat di Maluku, seperti tarian soya-soya (di Maluku Utara), dan sesekali kata itu juga diteriakkan para penari dalam tarian cakelele. Selain itu, kata tabea juga muncul dalam tradisi "arumbai manggurebe". Para kapitan atau malesi dalam beberapa kesempatan upacara adat, setelah mereka menutup sambutan akan dibarengi dengan teriakan, "tabea!" (dengan suara lantang), sontak masyarakat yang mendengar juga meneriakkan kata yang sama, "tabea!".  ...

PSIKOLOGI KRITIS (Sedikit Catatan)

"Jangan-jangan, psikologi yang saya pahami adalah buah dari kerja-kerja relasi kuasa di luar sana, yang saya tidak mengerti, tapi diam-diam masuk dan kita meyakininya sebagai kebenaran. Parahnya, kita mempraktikkannya tanpa kesadaran kritis" (Jumat, 11 Oktober 2024).  Asumsi itu muncul setelah saya baru selesai mengikuti kegiatan Konferensi Nasional yang diadakan oleh Fakultas Psikologi UGM. Kegiatan ini mengangkat tema "Menyala Indonesiaku: Psikologi sebagai Pilar Kesehatan Mental Generasi Emas". Dalam kegiatan itu, ada satu kajian yang menarik perhatian saya yakni, psikologi diskursus atau psikologi kritis. Sebuah kajian yang sedang saya minati belakangan ini. Berikut ini adalah sedikit dari catatan saya mengenai kegiatan itu yang kemudian saya gabungkan/menyadur dari artikel Prof. Teguh Wijaya Mulya.  .................. Teori-teori psikologi yang sudah mapan belum tentu dapat digunakan secara langsung untuk membaca fenomena psikologis di Indonesia. Perlu melihat ...