Langsung ke konten utama

Obat Kampung Orang Maluku


Era “new normal”. Menarik. Terlihat, istilah ini akan berdampak pada dua aspek dalam kehidupan kita. Pertama, pemulihan ekonomi. Kedua, pemahaman masyarakat pada istilah ‘survival of the fittest’ (siapa kuat dia menang). 

Terkait “siapa kuat dia menang” merupakan kajian menarik. Era new normal menghendaki setiap individu harus “menyesuaikan diri” dengan covid-19. 

Kebijakan itu ibarat kita sedang memakan buah simalakama. Jika aktivitas kita tidak di kembalikan pada posisi normal, maka semua unsur kehidupan akan terus mengalami resesi. 

Dampak resesi yang terasa akhir-akhir ini ialah pada bidang ekonomi. Tak sedikit orang secara tiba-tiba mengalami kehilangan pekerjaan.

Dalam bidang psikologi, banyak orang mengalami kekhawatiran, kecemasan, dan stres. Ada yang sampai nekat bunuh diri. 

Pada bidang sosial-politik, masyarakat tanpa sadar terpecah menjadi empat kubu. Yakni, dua kubu terjadi dalam masyarakat agama. Dan, dua kubu lainnya dalam masyarakat rasional. 

Dua kubu dalam masyarakat agama ialah pertama mereka yang yakin bahwa soal kematian hanya Allah Sang Pengaturnya. Kedua, mereka yang yakin bahwa manusia punya kemampuan “menghindar” dari kematian dengan syarat selalu mematuhi protokol kesehatan. 

Dua kubu dalam kelompok masyarakat rasional ialah pertama mereka yang percaya bahwa wabah ini tak lepas dari konspirasi global. Kedua, mereka yang yakin bahwa wabah ini benar-benar ada karena setiap penyakit selalu berevolusi. 

Itulah sederet fenomena resesi yang saat ini “menghantui” kita semua. Dengan demikian, diperlukan kebijakan yang dapat mengembalikan situasi pada posisi normal, yakni dengan penerapan istilah “new normal”. 

Proses mengembalikan kehidupan pada posisi normal ini bukan perkara yang langsung jadi. Memulihkan seseorang dari gejala stres saja butuh proses, apalagi semua kehidupan harus di pulihkan, bukan perkara main-main. 

Dalam situasi wabah sekarang ini, apalagi belum di temukan vaksin, sebagian individu mulai melirik obat-obat “kampung”. Katanya, obat kampung ini mujarab menghindarkan seseorang dari simtom covid-19. 

Bahkan, katanya obat kampung dapat menyembuhkan seseorang dari covid-19 (?). Dalam dunia keilmuan, obat kampung mendapat posisi dalam bidang kajian antropologi kesehatan. 

Setiap kelompok masyarakat “pasti” memiliki pandangan tersendiri terkait pola hidup sehat. Di Maluku misalnya ada pengobatan melalui proses “baukup”. 

Yang mana, setiap individu akan masuk ke dalam sejenis bilik yang terbuat dari kain. Di dalam kain (bilik) ada kompor dan panci. Panci digunakan untuk memasak tumbuhan-tumbuhan seperti daun cengkih, daun pala, daun minyak kayu putih, dan sejenis daun rempah lainnya. 

menghirup uap tersebut. Proses ini seperti sauna. Selepas baukup, seseorang akan merasa segar baik psikologis maupun fisiologis. 

Di Maluku, obat kampung tak hanya mengenai baukup. Di Siri-Sori Islam misalnya, ada obat kampung untuk menyembuhkan demam tinggi, mual-mual, dan sakit kepala. Obatnya diramu dari daun sirih. 

Proses membuat obat dari daun sirih pun ada syaratnya. Pertama, daun sirih yang di petik harus berjumlah 24 daun. Kedua, daun sirih harus di tumbuk sampai halus. 

Ketiga, hasil tumbukan itu kemudian diperas sehingga menghasilkan air daun sirih. Kempat, air daun sirih itu dikasih sedikit garam (ujung sendok), kemudian di aduk sampai merata. Kelima, daun sirih harus diberi “doa-doa” tertentu. 

Setelah semua syarat terpenuhi, barulah seseorang yang sakit meminumnya. Kasus empirik yang kami temukan, pengakuan dari salah-satu warga bahwa ia merasa sembuh setelah tiga kali meminum air daun sirih. 

Itulah obat-obat kampung yang berasal dari Maluku. Apakah obat kampung ini dapat menghindarkan seseorang dari penyakit, terutama dari covid-19? Sejauh ini belum ada penelitian medis yang membuktikannya. 

Namun, masyarakat meyakini bahwa obat kampung dapat menghindarkan seseorang dari beragam penyakit. Dalam kacamata psikologi, jika seseorang punya “keyakinan” yang tinggi dapat sembuh dari penyakit, maka bisa dikatakan kondisi psikologisnya “pasti” dalam keadaan sehat. 

Jika kondisi psikologis seseorang dalam keadaan sehat, maka akan berpengaruh pada kondisi fisiologisnya. Tentu dampaknya ialah sehat fisiologis. 

Meskipun demikian, asumsi ini perlu di uji secara empirik. Sehingga dapat di pastikan bahwa obat kampung dapat menghindarkan seseorang dari beragam penyakit tertentu, terutama covid-19.

Di era sekarang ini, apalagi tentang ‘survival of the fittest’, maka setidaknya kita harus memperhatikan beberapa fenomena yang sudah “terbuktikan” di tengah-tengah masyarakat. Tentu hal ini berkaitan dengan antropologi kesehatan. 

Catatan: Artikel itu beta tulis dan di terbitkan oleh media nasional ALIF.ID salah-satu media yang concern pada kajian "Keberislaman dalam Kebudayaan" di Indonesia.

Qashai Pelupessy
Ambon - Maluku
Senin, 01 Juni 2020


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Islam Masuk ke Siri-Sori Islam

Sampai detik ini, sejarah masuknya Islam ke pulau Saparua, tepatnya di negeri Siri-Sori Islam masih menjadi misteri. Ada pendapat mengatakan bahwa masuknya Islam ke Siri-Sori Islam tepat pada tahun 1212 masehi. Apakah pendapat ini benar demikian? Wallahua’lam. Jika kita mengatakan Islam masuk ke Saparua, tepatnya di Siri-Sori Islam pada abad 11/12 masehi, maka bisa dikatakan bahwa pendapat itu “hampir” benar adanya. Memang, pada abad 11/12 masehi ini Islam masuk ke Nusantara dibawa saudagar muslim asal Persia. Buktinya ialah pengaruh bahasa Persia dikalangan kerajaan-kerajaan Nusantara tentang kebiasaan duduk “bersila”. Kata “bersila” ini diserap dari kitab ‘Ajaib Al-Hind dikarang oleh muslim Persia bernama Buzurg bin Shariyar Al-Ramhurmuzi abad 11 masehi. Sekarang, mari kita tengok budaya kerajaan kita (di Siri-Sori Islam), apakah ada kebiasaan duduk “bersila” di hadapan raja? Wallahua’lam. Kalau kita lihat budaya kita, mustahil ada budaya duduk bersila dihadapan raja. Artinya, hal in...

Kata "Tabea" sebagai Wujud Perilaku Sopan-santun Orang Maluku - Malut

Dialah Dieter Bartels, antropolog asal Jerman yang sudah puluhan tahun melakukan studi di Maluku, mengatakan bahwa, meskipun orang Maluku itu punya watak keras dan terkadang diperankan sebagai "preman" di kota-kota besar, namun banyak juga orang Maluku yang punya perangai cerdas, cerdik, dan berpengetahuan luas. Artinya, stigma keras kepala alih-alih kurang beradab yang melekat pada orang Maluku ialah suatu kekeliruan yang cukup besar.  Orang Maluku yang beradab ini dapat kita lihat dalam praktik kebudayaan, ada terselip nilai-nilai etis yang sangat tinggi. Salah-satu budaya yang dapat kita perlihatkan di sini ialah kata "tabea", biasa dipakai dalam komunikasi sehari-hari atau dalam upacara adat tertentu. Hampir setiap daerah yang ada di Indonesia bagian timur, kata "tabea" ini tak asing lagi di dengar khayalak umum.  Di Bone, Sulawesi Selatan, misalnya, ada kata "tabea" (dengan penghilangan huruf a menjadi tabe). Beta pernah dengar ...

Kata "Tabea" sebagai Bentuk Motivasi Orang Maluku - Malut

Di artikel sebelumnya, beta telah ulas mengenai kata "tabea" sebagai wujud perilaku sopan-santun. Sekarang ini, beta akan bahas perihal kata tabea sebagai "daya tonjok psikologis" atau bisa kita maknai sebagai motivasi diri. Kata "tabea" biasa dipraktikkan ketika seorang pemuda berjalan di depan orang tua, maka ia harus nunduk sambil membungkukkan badan, terus ia katakan "tabea - permisi".  Adakalanya juga kata "tabea" ini muncul dalam praktik tarian-tarian adat di Maluku, seperti tarian soya-soya (di Maluku Utara), dan sesekali kata itu juga diteriakkan para penari dalam tarian cakelele. Selain itu, kata tabea juga muncul dalam tradisi "arumbai manggurebe". Para kapitan atau malesi dalam beberapa kesempatan upacara adat, setelah mereka menutup sambutan akan dibarengi dengan teriakan, "tabea!" (dengan suara lantang), sontak masyarakat yang mendengar juga meneriakkan kata yang sama, "tabea!".  ...

PSIKOLOGI KRITIS (Sedikit Catatan)

"Jangan-jangan, psikologi yang saya pahami adalah buah dari kerja-kerja relasi kuasa di luar sana, yang saya tidak mengerti, tapi diam-diam masuk dan kita meyakininya sebagai kebenaran. Parahnya, kita mempraktikkannya tanpa kesadaran kritis" (Jumat, 11 Oktober 2024).  Asumsi itu muncul setelah saya baru selesai mengikuti kegiatan Konferensi Nasional yang diadakan oleh Fakultas Psikologi UGM. Kegiatan ini mengangkat tema "Menyala Indonesiaku: Psikologi sebagai Pilar Kesehatan Mental Generasi Emas". Dalam kegiatan itu, ada satu kajian yang menarik perhatian saya yakni, psikologi diskursus atau psikologi kritis. Sebuah kajian yang sedang saya minati belakangan ini. Berikut ini adalah sedikit dari catatan saya mengenai kegiatan itu yang kemudian saya gabungkan/menyadur dari artikel Prof. Teguh Wijaya Mulya.  .................. Teori-teori psikologi yang sudah mapan belum tentu dapat digunakan secara langsung untuk membaca fenomena psikologis di Indonesia. Perlu melihat ...