Langsung ke konten utama

Mengenal Asal-usul Melalui Tanda


Ulasan mengenai "tanda" dalam penelusuran sejarah sangat-lah penting. Hal ini mengingatkan saya pada buku Sapiens karangan Yuval Noah Harari. 

Buku setebal 530 halaman ini mengulang kata "tanda" sebanyak 73 kali. Artinya, betapa pentingnya sebuah "tanda" bagi si penulis selama ia mengulas tentang “sejarah manusia” di dalam bukunya tsb.

Saat ini, kalau sejarah tidak punya “tanda”, maka pembahasan sejarah menjadi kurang absah (valid). Oleh karenanya, ulasan mengenai "tanda" dalam sejarah jangan di anggap sepele.

Untuk mengetahui "tanda", maka kita perlu selidiki, apa alasan orang tua-tua kita meninggalkan “tanda” ke kita? Apakah mereka ingin memberitahu kita bahwa dulunya mereka pernah ada di tempat tsb? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Terkait pertanyaan itu, saya serahkan pada ahli (antropolog dan sejarawan) untuk menjawabnya. Dalam ulasan ini, tugas saya hanya-lah memeretas sekaligus membuka sedikit wacana saja.

Hegel mengatakan, "Manusia ialah hasil dari sejarah masa lalu".

Dalam pembahasan genetik terkait manusia dan perilakunya, bahwa setiap generasi akan selalu menitipkan sekaligus meneruskan kode DNA kepada generasi berikutnya. Di dalam DNA kita, ada sejumlah kode-kode yang berkaitan dengan unsur-unsur biologis sekaligus perilaku manusia.

Jika kode DNA selalu di teruskan dari setiap generasi ke generasi berikutnya, maka sesuai dengan pernyataan Hegel di atas bahwa memang “manusia ialah hasil dari sejarah masa lalu”.

Artinya, apa yang manusia alami saat ini, terkait; rasa spiritual, hasrat ekonomis, perilaku politik, kerangka berpikir, dst., semuanya adalah produk masa lalu. Karena yang kita alami saat ini ialah kode DNA yang di titipkan dari generasi sebelumnya.

Perlu di ingat, bahwa orang tua-tua kita tempo dulu sering bilang, “inga-inga diri bae-bae” (ingat-ingat diri). Frasa ini bukan tanpa makna, melainkan sebagai pijakan bagi kita untuk mengetahui asal-usul diri kita sendiri.

Kalau manusia adalah produk masa lalu, maka coba kita tengok ke dalam diri kita masing-masing, detik ini. Tanyakan kepada diri sendiri,

"Bagaimana kerangka berpikir saya? Apakah saya 'suka' dengan ilmu-ilmu spiritual? Apakah saya ‘senang’ dengan yang namanya mistik? dst".

Kalau pertanyaan-pertanyaan itu kita jawab sendiri, maka kita akan tahu sejarah orang-orang tua kita di masa lalu. Ingat kata Hegel di atas bahwa, “Manusia ialah hasil dari sejarah masa lalu”. Artinya, apa yang kita alami saat ini ialah juga di alami orang tua-tua kita pada masa-nya.

Di mulai dari pertanyaan-pertanyaan kepada diri sendiri, maka kita akan tahu, "Bagaimana kerangka berpikir orang tua-tua kita... Apakah mereka ‘suka' dengan mistik... Apakah mereka ‘senang' dengan ilmu-ilmu spiritual... dst".

Dari ulasan tsb, dapat di katakan bahwa mencari dan menemukan benang merah sejarah tidaklah sulit. Yakni, di mulai dari diri sendiri (psikologis), dan bukti-bukti otentik seperti "tanda" - jangan di sepelekan.

Qashai Pelupessy
Maluku - Ambon
Sabtu, 06 Juni 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Islam Masuk ke Siri-Sori Islam

Sampai detik ini, sejarah masuknya Islam ke pulau Saparua, tepatnya di negeri Siri-Sori Islam masih menjadi misteri. Ada pendapat mengatakan bahwa masuknya Islam ke Siri-Sori Islam tepat pada tahun 1212 masehi. Apakah pendapat ini benar demikian? Wallahua’lam. Jika kita mengatakan Islam masuk ke Saparua, tepatnya di Siri-Sori Islam pada abad 11/12 masehi, maka bisa dikatakan bahwa pendapat itu “hampir” benar adanya. Memang, pada abad 11/12 masehi ini Islam masuk ke Nusantara dibawa saudagar muslim asal Persia. Buktinya ialah pengaruh bahasa Persia dikalangan kerajaan-kerajaan Nusantara tentang kebiasaan duduk “bersila”. Kata “bersila” ini diserap dari kitab ‘Ajaib Al-Hind dikarang oleh muslim Persia bernama Buzurg bin Shariyar Al-Ramhurmuzi abad 11 masehi. Sekarang, mari kita tengok budaya kerajaan kita (di Siri-Sori Islam), apakah ada kebiasaan duduk “bersila” di hadapan raja? Wallahua’lam. Kalau kita lihat budaya kita, mustahil ada budaya duduk bersila dihadapan raja. Artinya, hal in...

Kata "Tabea" sebagai Wujud Perilaku Sopan-santun Orang Maluku - Malut

Dialah Dieter Bartels, antropolog asal Jerman yang sudah puluhan tahun melakukan studi di Maluku, mengatakan bahwa, meskipun orang Maluku itu punya watak keras dan terkadang diperankan sebagai "preman" di kota-kota besar, namun banyak juga orang Maluku yang punya perangai cerdas, cerdik, dan berpengetahuan luas. Artinya, stigma keras kepala alih-alih kurang beradab yang melekat pada orang Maluku ialah suatu kekeliruan yang cukup besar.  Orang Maluku yang beradab ini dapat kita lihat dalam praktik kebudayaan, ada terselip nilai-nilai etis yang sangat tinggi. Salah-satu budaya yang dapat kita perlihatkan di sini ialah kata "tabea", biasa dipakai dalam komunikasi sehari-hari atau dalam upacara adat tertentu. Hampir setiap daerah yang ada di Indonesia bagian timur, kata "tabea" ini tak asing lagi di dengar khayalak umum.  Di Bone, Sulawesi Selatan, misalnya, ada kata "tabea" (dengan penghilangan huruf a menjadi tabe). Beta pernah dengar ...

Kata "Tabea" sebagai Bentuk Motivasi Orang Maluku - Malut

Di artikel sebelumnya, beta telah ulas mengenai kata "tabea" sebagai wujud perilaku sopan-santun. Sekarang ini, beta akan bahas perihal kata tabea sebagai "daya tonjok psikologis" atau bisa kita maknai sebagai motivasi diri. Kata "tabea" biasa dipraktikkan ketika seorang pemuda berjalan di depan orang tua, maka ia harus nunduk sambil membungkukkan badan, terus ia katakan "tabea - permisi".  Adakalanya juga kata "tabea" ini muncul dalam praktik tarian-tarian adat di Maluku, seperti tarian soya-soya (di Maluku Utara), dan sesekali kata itu juga diteriakkan para penari dalam tarian cakelele. Selain itu, kata tabea juga muncul dalam tradisi "arumbai manggurebe". Para kapitan atau malesi dalam beberapa kesempatan upacara adat, setelah mereka menutup sambutan akan dibarengi dengan teriakan, "tabea!" (dengan suara lantang), sontak masyarakat yang mendengar juga meneriakkan kata yang sama, "tabea!".  ...

PSIKOLOGI KRITIS (Sedikit Catatan)

"Jangan-jangan, psikologi yang saya pahami adalah buah dari kerja-kerja relasi kuasa di luar sana, yang saya tidak mengerti, tapi diam-diam masuk dan kita meyakininya sebagai kebenaran. Parahnya, kita mempraktikkannya tanpa kesadaran kritis" (Jumat, 11 Oktober 2024).  Asumsi itu muncul setelah saya baru selesai mengikuti kegiatan Konferensi Nasional yang diadakan oleh Fakultas Psikologi UGM. Kegiatan ini mengangkat tema "Menyala Indonesiaku: Psikologi sebagai Pilar Kesehatan Mental Generasi Emas". Dalam kegiatan itu, ada satu kajian yang menarik perhatian saya yakni, psikologi diskursus atau psikologi kritis. Sebuah kajian yang sedang saya minati belakangan ini. Berikut ini adalah sedikit dari catatan saya mengenai kegiatan itu yang kemudian saya gabungkan/menyadur dari artikel Prof. Teguh Wijaya Mulya.  .................. Teori-teori psikologi yang sudah mapan belum tentu dapat digunakan secara langsung untuk membaca fenomena psikologis di Indonesia. Perlu melihat ...