Di Maluku dan Maluku Utara terdapat banyak sekali tradis (lihat: https://alif.id/read/author/m-kashai-ramdhani-pelupessy/). Ada satu tradisi unik di desa Kao, Halmahera Utara. Salah-satu tradisinya di sebut "tagi jere".
Tradisi "tagi jere" ini merupakan ritual ziarah ke makam keramat yang berlokasi di Kao Tua. Masyarakat setempat meyakini, bahwa Kao Tua merupakan tempat ("asal") mereka. Jarak antara Kao Tua dengan desa Kao yang ditempati masyarakat saat ini ialah 17 kilometer.
Untuk sampai di Kao Tua, peziarah harus menggunakan perahu, terus melewati sepanjang bibir pantai, sampai kemudian bertemu satu sungai. Setelah itu, peziarah harus masuk mengikuti hilir sungai menuju ke Kao Tua.
Selama perjalanan, memasuki hilir sungai, masyarakat akan melawan arus sungai. Situasi itu, mungkin dapat di maknai, sebagai proses "kembali ke asal" (baca: ziarah) tidak-lah mudah.
Dalam konteks ke-iman-an, melawan arus sungai menandakan "rintangan" atau "godaan" yang sering menghalangi setiap manusia mengenal asal-usulnya. Mengenal asal-usul ini penting bagi setiap manusia agar lebih tawaddu' di kemudian hari.
Tradisi "tagi jere" dari perspektif kebudayaan sangat sarat dengan nilai-nilai religiusitas. Salah-satu nilai-nilai religiusitas yang dapat dimaknai ialah ketika masyarakat melawan arus sungai tersebut.
Masyarakat meyakini bahwa "jere" merupakan kuburan seorang mubaligh asal Baghdad bernama Syaikh Mansyur. Syaikh inilah yang dipercayai sebagai orang pertama yang meng-Islam-kan masyarakat Kao Tua (leluhur mereka).
Konon, semasa hidup Syaikh Mansyur pernah berpesan, bahwa dirinya akan hadir bagi siapa saja yang ingin menziarahinya. Oleh karenanya, mungkin tradisi ini di sebut "tagi jere" (tagi = menagih janji).
Pelaksanaan "tagi jere" selalu di bawah wewenang dan tanggungjawab lembaga-lembaga tradisional. Lembaga-lembaga tersebut ialah Dewan Adat (sangaji Kao) dan Badan Syara' (imam dan stafnya).
Tradisi "tagi jere" biasanya di lakukan pada saat bulan Sya'ban menjelang Ramadhan. Uniknya, pelaksanaannya harus bertepatan pada hari Senin mulai dari pukul 07.00 sampai 09.00 WIT. Hal ini karena sesuai dengan pesan Syaikh Mansyur semasa hidupnya.
Selama di makam Syaikh Mansyur, peziarah akan melakukan tawasullan. Masyarakat meyakini bahwa dengan tawasullan maka doa mereka akan di dengar Allah SWT. Di samping itu, karena tawasullan ini sebagai bentuk pelunasan janji Syaikh Mansyur yang akan "menghantarkan" doa mereka kepada Allah SWT.
Setelah ber-tawasullan di makam Syaikh Mansyur, peziarah akan menyempatkan diri ke masjid tua. Lokasinya tidak jauh dari makam Syaikh Mansyur. Sampai detik ini, masih terlihat beberapa bongkahan batu yang menandakan bekas bangunan masjid tua tersebut.
Itulah prosesi ritual “tagi jere” masyarakat Kao di Halmahera Utara. Ada "sedikit" hikmah yang dapat kita petik dari tradisi "tagi jere". Salah-satu di antaranya ialah terkait proses mengenal asal-usul diri orang Kao, dan penghormatan atas pesan-pesan keislaman para leluhur (Syaikh Mansyur).
Hikmah itu dapat menjadi kekuatan bagi orang Kao untuk mengatasi setiap problem kehidupan. Di samping itu, melalui tradisi ini juga akan lebih mempertebal adab anak kepada orang tua.
Sekian prosesi dan hikmah yang dapat kita petik dari tradisi "tagi jere" di desa Kao, Halmahera Utara, Maluku Utara. Tradisi ini sarat akan nilai-nilai religiusitas yang patut di pertahankan.
Qashai Pelupessy
Ambon - Maluku
13 November 2019
Komentar
Posting Komentar