"Panas pela" merupakan salah-satu tradisi yang ada di Maluku. Pela berarti hubungan genetik antar masyarakat dari dua kampung yang berbeda. Orang Maluku menyebut ikatan genetik sebagai "gandong", yang berarti saudara.
Masyarakat dari setiap kampung di Maluku menganut keyakinan agama yang berbeda-beda, Islam dan Kristen. Uniknya, meskipun ada perbedaan identitas, yang cenderung menyulut konflik sosial, namun bisa ditangani dengan hubungan "pela" ini.
Ada beberapa jenis pela yang ada di Maluku. Munculnya beberapa jenis pela di latar belakangi faktor sinkronik sejarah masa silam. Ada tiga jenis pela di Maluku yakni pela keras, pela gandong, dan pela tampa sirih.
Pela keras ialah hubungan persaudaraan atas dasar sumpah darah para leluhur dari dua masyarakat beda kampung akibat perang di masa silam. Pela gandong berarti hubungan pela dilandasi ikatan genetik para leluhur dari dua kampung yang berbeda.
Terkait pela gandong, misalnya leluhur orang Siri-Sori Islam punya hubungan genetik dengan leluhur orang Waai. Terakhir, jenis pela tampa sirih ialah hubungan atas dasar sumpah makan sirih antar leluhur dari dua masyarakat beda kampung setelah perang.
Ketiga jenis pela itu punya "kekuatan hubungan" dari lentur sampai keras. Jenis pela yang paling lentur ialah pela tampa sirih. Sedangkan, ikatan pela paling keras ialah jenis pela keras yang diikuti pela gandong.
Sumpah-sumpah pela yang dilakukan para leluhur tempo dulu itu punya spirit sampai hari ini. Semua itu karena dilandasi frasa "sei leli hatulo, hatulo eleli esepei" yang berarti "siapa yang melanggar sumpah ini akan mendapat petaka".
Untuk menjaga spirit sumpah pela para leluhur, maka masyarakat Maluku mengenangnya dengan selalu melakukan ritual "panas pela". Di samping menjaga spirit sumpah pela, juga untuk menjaga kohesi sosial sebagai solusi mengatasi berbagai konflik akibat perbedaan pandangan, agama, dan keyakinan di Maluku.
Qashai Pelupessy
Maluku - Ambon
Sabtu, 27 Juni 2020
Komentar
Posting Komentar