Langsung ke konten utama

Said Perintah dan Thomas Matulessy, Figur Pengayom di Bumi Raja-Raja


Sebagaimana nama Maluku, yakni Jaziratul Muluk, berarti negerinya para raja-raja, mengandung makna sangat dalam. Secara eksplisit, tampak negeri ini punya banyak sekali raja-rajanya. Di sebelah utara pulau Maluku, ada kerajaan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Sedangkan di bagian tengah, ada kerajaan Hitu, Iha, dan Siri-Sori Islam.

Semua dari mereka ialah kerajaan-kerajaan Islam, yang harum namanya sampai ke pelosok negeri Eropa (Portugis, Spanyol, dan Belanda), bahkan juga ke ujung Filipina dan dataran Cina.

Jaziratul Mulk, secara implisit (tak tampak), bermakna pengayom, pemutus-perkara, dan progresif demi kemajuan bersama. Hal ini tercermin pada perilaku raja-rajanya.

Sejumlah kerajaan yang di kelilingi lautan ini, membawa dampak pada pembentukan perilaku rakyatnya, yakni menjadi “pengayom dan pembersih”. Sebagaimana sifat lautan ialah pelindung gugusan pulau (pengayom), penyerap dan pembersih.

Penyerap dan pembersih ini punya maksud bahwa, jika suatu ideologi “impor” yang tidak sesuai dengan iklim psikologis raja dan rakyatnya, maka ideologi tsb sudah pasti terbersihkan dari bumi al-Muluk.

Namun, jika suatu ideologi “impor” punya tendensi ke arah “pengayom-mengayomi”, maka ideologi tsb akan terserap dengan sangat mudahnya.

Pengayom tidak hanya berarti satu arah. Efek timbal-balik dari pengayom ialah mengayomi. Pengayom bersifat ke dalam ke kelompok, sedangkan mengayomi ialah keluar kelompok. Jika pengayom dan mengayomi ini kita gabungkan dalam satu tarikan nafas bersama, maka akan tercipta situasi yang harmonis di bumi al-Muluk. 

Sebetulnya, “pengayom-mengayomi” ini sudah tertanam lama dalam sanubari para tetuah. Yang lama-kelamaan naik tingkat menjadi prinsip hidup orang Maluku. Hal ini bisa kita lihat dalam praktik “panas pela”, salah-satu tradisi berwatak toleransi di Jaziratul Muluk.

Prinsip “pengayom-mengayomi” ini juga bisa kita resapi dari perkataan Sultan Khairun (Sultan Ternate ke-23) berikut ini.

“Agama saya – Islam – dan agama Anda – Kristen – sebetulnya punya tujuan yang sama. Lantas untuk apa saya harus menggantikan agama saya menjadi agama Anda?” (di kutip dari Adnan Amal, “Kerajaan Rempah-Rempah”).

Kata-kata itu bermakna sangat “pengayom-mengayomi”. Artinya, ke dalam kelompok, ia (Sultan Khairun) sangat prinsipil memegang keyakinan agamanya (pengayom), dan ke luar kelompok ia sangat mengayomi yang berbeda darinya. Tidak hanya Sultan Khairun yang punya prinsip demikian, bahkan raja-raja lainnya seperti raja Siri-Sori Islam bernama Said Perintah, pun juga memiliki prinsip yang sama.

Said Perintah bersama Thomas Matulessy sangat terkenal dengan peleton Pattimura di tanah Saparua. Mereka berdua dikenal sangat bersahaja dalam pergaulan lintas manusia. Baik orang sarane (istilah Maluku: Kristen) maupun salam (istilah Maluku: Islam) ialah sama-sama bersaudara. Kebersahajaan mereka berdua, yang berlatar beda agama ini, akhirnya berbuah sukses memberangus penjajah dari bumi al-Muluk.

Itulah prinsip “pengayom-mengayomi” para tetuah Maluku di masa silam. Terhitung sejak Khairun (1534 – 1570) sampai perjuangan Said Perintah dan Thomas Matulessy (1817).

Prinsip “pengayom-mengayomi” ini tak hanya berhenti di masa mereka, tapi bahkan mendarah-daging, di turunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Muncul tokoh-tokoh Maluku di kemudian hari, ber-spirit “pengayom-mengayomi” ini bisa kita lihat pada sikap Jacky Manuputty dan Hasbollah Toisutta.

Pada tahun 1999 silam, telah terjadi krisis multidimensional (sosio-eko-pol) di tanah air. Hal ini membawa dampak the darkness bagi orang Maluku. Situasi yang kacau-balau, perang saudara, akhirnya mendorong tokoh-tokoh berwatak “pengayom-mengayomi”, Jacky dan Hasbollah, muncul ke permukaan.

Dua orang itu, di samping sederet tokoh-tokoh lainnya, sangat memainkan peran penting dalam percaturan konflik horizontal dari tahun 1999 – 2002 di bumi al-Muluk. Dalam buku “Carita Orang Basudara“, mereka berdua mengungkapkan ke-kesal-an bercampur ke-tenang-an jiwa demi Maluku yang damai di kemudian hari.

Jacky, melalui mimbar kepastoran, sedangkan Hasbollah lewat mimbar masjid raya Alfatah Ambon, menyuarakan tujuan yang sama, yakni terciptanya kondisi yang harmonis di bumi al-Muluk. Spirit yang mereka pegang, kalau bisa di katakan, tentu ber-prinsip “pengayom-mengayomi”.

Alhamdulillah, puji Tuhan, mereka berhasil meruntuhkan sendi-sendi pertikaian, biang kerok dari permainan politik identitas yang tak betul ujung-pangkalnya.

Itulah sederet nama-nama raja sekaligus juga tokoh-tokoh, yang punya prinsip “pengayom-mengayomi” di bumi al-Muluk. Prinsip ini bersifat herediter, diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Semoga, dalam waktu dekat ini, akan muncul lagi generasi-generasi “pengayom-mengayomi” di tanah Jaziratul Muluk. InsyaAllah. Aamiin.

Catatan: Artikel itu beta tulis dan di terbitkan media nasional ALIF.ID salah-satu media yang concern pada kajian "Keberislaman dalam Kebudayaan" di Indonesia. Artikel beta itu disponsori Kominfo RI.

Qashai Pelupessy
Ambon - Maluku 
Senin, 04 November 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Islam Masuk ke Siri-Sori Islam

Sampai detik ini, sejarah masuknya Islam ke pulau Saparua, tepatnya di negeri Siri-Sori Islam masih menjadi misteri. Ada pendapat mengatakan bahwa masuknya Islam ke Siri-Sori Islam tepat pada tahun 1212 masehi. Apakah pendapat ini benar demikian? Wallahua’lam. Jika kita mengatakan Islam masuk ke Saparua, tepatnya di Siri-Sori Islam pada abad 11/12 masehi, maka bisa dikatakan bahwa pendapat itu “hampir” benar adanya. Memang, pada abad 11/12 masehi ini Islam masuk ke Nusantara dibawa saudagar muslim asal Persia. Buktinya ialah pengaruh bahasa Persia dikalangan kerajaan-kerajaan Nusantara tentang kebiasaan duduk “bersila”. Kata “bersila” ini diserap dari kitab ‘Ajaib Al-Hind dikarang oleh muslim Persia bernama Buzurg bin Shariyar Al-Ramhurmuzi abad 11 masehi. Sekarang, mari kita tengok budaya kerajaan kita (di Siri-Sori Islam), apakah ada kebiasaan duduk “bersila” di hadapan raja? Wallahua’lam. Kalau kita lihat budaya kita, mustahil ada budaya duduk bersila dihadapan raja. Artinya, hal in...

Kata "Tabea" sebagai Wujud Perilaku Sopan-santun Orang Maluku - Malut

Dialah Dieter Bartels, antropolog asal Jerman yang sudah puluhan tahun melakukan studi di Maluku, mengatakan bahwa, meskipun orang Maluku itu punya watak keras dan terkadang diperankan sebagai "preman" di kota-kota besar, namun banyak juga orang Maluku yang punya perangai cerdas, cerdik, dan berpengetahuan luas. Artinya, stigma keras kepala alih-alih kurang beradab yang melekat pada orang Maluku ialah suatu kekeliruan yang cukup besar.  Orang Maluku yang beradab ini dapat kita lihat dalam praktik kebudayaan, ada terselip nilai-nilai etis yang sangat tinggi. Salah-satu budaya yang dapat kita perlihatkan di sini ialah kata "tabea", biasa dipakai dalam komunikasi sehari-hari atau dalam upacara adat tertentu. Hampir setiap daerah yang ada di Indonesia bagian timur, kata "tabea" ini tak asing lagi di dengar khayalak umum.  Di Bone, Sulawesi Selatan, misalnya, ada kata "tabea" (dengan penghilangan huruf a menjadi tabe). Beta pernah dengar ...

Kata "Tabea" sebagai Bentuk Motivasi Orang Maluku - Malut

Di artikel sebelumnya, beta telah ulas mengenai kata "tabea" sebagai wujud perilaku sopan-santun. Sekarang ini, beta akan bahas perihal kata tabea sebagai "daya tonjok psikologis" atau bisa kita maknai sebagai motivasi diri. Kata "tabea" biasa dipraktikkan ketika seorang pemuda berjalan di depan orang tua, maka ia harus nunduk sambil membungkukkan badan, terus ia katakan "tabea - permisi".  Adakalanya juga kata "tabea" ini muncul dalam praktik tarian-tarian adat di Maluku, seperti tarian soya-soya (di Maluku Utara), dan sesekali kata itu juga diteriakkan para penari dalam tarian cakelele. Selain itu, kata tabea juga muncul dalam tradisi "arumbai manggurebe". Para kapitan atau malesi dalam beberapa kesempatan upacara adat, setelah mereka menutup sambutan akan dibarengi dengan teriakan, "tabea!" (dengan suara lantang), sontak masyarakat yang mendengar juga meneriakkan kata yang sama, "tabea!".  ...

PSIKOLOGI KRITIS (Sedikit Catatan)

"Jangan-jangan, psikologi yang saya pahami adalah buah dari kerja-kerja relasi kuasa di luar sana, yang saya tidak mengerti, tapi diam-diam masuk dan kita meyakininya sebagai kebenaran. Parahnya, kita mempraktikkannya tanpa kesadaran kritis" (Jumat, 11 Oktober 2024).  Asumsi itu muncul setelah saya baru selesai mengikuti kegiatan Konferensi Nasional yang diadakan oleh Fakultas Psikologi UGM. Kegiatan ini mengangkat tema "Menyala Indonesiaku: Psikologi sebagai Pilar Kesehatan Mental Generasi Emas". Dalam kegiatan itu, ada satu kajian yang menarik perhatian saya yakni, psikologi diskursus atau psikologi kritis. Sebuah kajian yang sedang saya minati belakangan ini. Berikut ini adalah sedikit dari catatan saya mengenai kegiatan itu yang kemudian saya gabungkan/menyadur dari artikel Prof. Teguh Wijaya Mulya.  .................. Teori-teori psikologi yang sudah mapan belum tentu dapat digunakan secara langsung untuk membaca fenomena psikologis di Indonesia. Perlu melihat ...