Langsung ke konten utama

Tradisi Sudah Satu Nafas dengan Ajaran Agama


Tradisi masyarakat Maluku yang bernuansa Islam terbilang banyak. Ada tradisi Pukul Sapu di Morela-Mamala, teriakan “alae” di Siri-Sori Islam, abda’u di Tulehu, Kolili Kie di Ternate dan Tidore, Badabus, dan masih banyak lagi.

Setiap tradisi dibungkus secara berbeda-beda namun tujuan yang ingin dicapai bisa relatif sama. Artikel ini ingin menyoroti setiap praktik dari tradisi-tradisi yang ada di tanah Maluku dan juga Maluku Utara (Malut), apakah bernuansa Islam ataukah tidak?

Pembahasan ini ingin dimulai dari sebuah pertanyaan mini, menyoroti kenapa setiap tradisi selalu dipraktikan oleh masyarakat Maluku dan Malut yang secara struktur masyarakatnya bisa dikatakan masyarakat adat?

Padahal, sedikit dari banyaknya umat muslim ada yang berpandangan bahwa perkawinan antara adat dan agama akan melahirkan praktik ibadah yang “katanya” bernuansa sinkretik.

Benarkah bahwa setiap tradisi memperlihatkan kurang Islami?

Untuk menjawab pertanyaan itu, mari kita cermati penelitian yang dilakukan oleh dosen Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada (UGM), Samsul Maarif.

Penelitiannya mengungkapkan bahwa setiap praktik dari ritual adat atau tradisi tidak bisa selamanya di lihat dari perspektif agama-dunia semata, seperti Islam atau Kristen memandang praktik ritual adat yang ada di tengah-tengah masyarakat.

Sebab, bukan berarti pandangan agama-dunia ini tidak layak melihat praktik ritual adat, melainkan karena pandangan ini akan mengarahkan kita pada argumen saling-menyalahkan saat melihat percampuran antara kedua hal (agama dan adat) ini dalam satu tarikan nafas bersama.

Oleh karena itu, Samsul menyarankan, agar kita tidak terjebak pada pola pikir dikotomi seperti itu, maka untuk melihat ritual adat harus dipandang secara epistemologi-relasional.

Artinya, setiap praktik adat harus dipandang dari perspektif kemanusiaan yang bersifat bebas-kreatif untuk kemaslahatan bersama. Contohnya, ritual Pukul Sapu di Morela-Mamala, sebenarnya memiliki kandungan epistemologi-relasional antar-sesama manusia, sebagai subjek untuk menghamba kepada objek yakni Allah SWT. Bukankah hal ini sangatlah Islami?

Di samping itu, setiap praktik adat juga harus dipandang secara hermeneutik, bahwa apa pun harus di lihat dari apa yang melandasi setiap individu berperilaku demikian.

Seperti tradisi Pukul Sapu, tata nilai apa yang melandasi masyarakat melakukan ritual tersebut? Adalah sebuah pertanyaan yang cukup menarik untuk dikaji kedepannya.

Ada metafor terkait perjumpaan antara tata-nilai adat dan agama, bahwa Islam umumnya hanya bagaikan lapisan krem tipis di atas roti yang tebal, terbuat dari pandangan endemik masyarakat setempat yang telah ada jauh sebelum masyarakatnya terpapar ajaran Islam.

Artinya, masuknya ajaran Islam tidak lantas menggerogoti tata-nilai masyarakat yang sudah terbentuk sekian abad lamanya. Melainkan, Islam masuk untuk melengkapi tata-nilai yang sudah ada di tengah-tengah masyarakat.

Dari sini, kita bisa melihat bahwa perjumpaan antara Islam dengan tata-nilai masyarakat alih-alih ritual adat sangatlah harmonis. Sehingga, setiap tradisi, jika dicermati lebih mendalam sebetulnya juga mengandung nilai-nilai ajaran Islam yang sangat khas, mungkin bisa dikatakan Islam ala Maluku.

Karena ajaran Islam yang bersifat universal tidak mungkin menggerogoti serta menyiksa setiap tata-nilai yang sudah ada di tengah-tengah masyarakat, meski ada beberapa hal yang “mungkin” perlu diluruskan seperti ritual adat menggunakan minuman khamr.

Berdasarkan penjelasan singkat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa setiap tradisi, apa pun bentuk dan coraknya, sudah satu napas dengan ajaran Islam.

Sehingga, mungkin bisa dikatakan bahwa setiap praktik dari suatu tradisi di tanah Maluku dan Malut, sebenarnya merupakan ibadah ‘gairu mahdah’ yang senantiasa harus dipraktikkan secara terus-menerus sebagai insan hamba Allah (Abdullah). Inilah aktualisasi diri yang paling nyata dari masyarakat Maluku. Wallahu a’lam. 

Catatan: Artikel itu beta tulis dan di terbitkan oleh media nasional ALIF.ID salah-satu media yang concern dalam kajian "Keberislaman dalam Kebudayaan" di Indonesia.

Qashai Pelupessy
Ambon - Maluku 
Selasa, 18 Juni 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Permainan Hidup

Di saat realita berganti wajah,  kau hadir, selalu tanpa esensi.  Kadang kau bahagia, hari ini kau sengsara,  besok kau memuakkan.  Hidup. Memang sebatas permainan.  Gelar yang kau bawa ke mana-mana,  di tempel di atas almanak,  undangan, koran, brosur, pamflet,  dan sejenisnya,  tak ku temukan esensi di sana.  Memang, hidup hanya sebatas permainan.  Aku melihat, sarjana hukum,  tak paham arti keadilan.  Aku melihat, sarjana ekonomi,  tak paham arti kesejahteraan.  Aku melihat, sarjana fisika, kimia, tak paham arti keharmonisan alam.  Aku melihat, sarjana sosiologi,  tak paham arti kerukunan.  Aku melihat, sarjana politik.  tak paham arti etika politik.  Aku melihat, sarjana filsafat,  tak paham arti kebijaksanaan. Kau hadir, selalu tanpa esensi.  Memang, hidup sebatas permainan.  Hanya sedikit yang p aham arti keadilan, kesejahter...

Jalan-jalan ke Benteng Amsterdam, Bertemu Putri Duyung-nya Rumphius

Hari ini, beta ingin menceritakan tentang pengalaman beta jalan-jalan ke benteng Amsterdam, desa Hila, kecamatan Leihitu, Maluku Tengah. Di Maluku, benteng-benteng peninggalan Portugis, Belanda, dan Spanyol terlampau banyak.  Ada benteng Victoria di pusat kota Ambon, benteng Durstede di pulau Saparua, benteng Orange di Ternate, benteng Kastela, benteng Toloko, dan masih banyak lagi. Hadirnya beberapa benteng ini membuktikan bahwa Maluku pada masanya sempat menjadi pusat perniagaan rempah-rempah.  Dalam beberapa catatan sejarah, seperti yang di tulis Adnan Amal, bahwa setiap benteng memiliki fungsinya masing-masing. Misalnya, benteng Victoria atau benteng Kastela, biasanya digunakan sebagai kantor Gubernur. Ada juga benteng yang berfungsi sebagai lokasi pertahanan, seperti benteng Toloko.  Selain itu, ada juga benteng yang digunakan sebagai tempat penyimpanan rempah-rempah (loji), seperti benteng Amsterdam. Benteng Amsterdam ialah salah-satu benteng yan...

"MITOS PRIBUMI MALAS"

( Ilustrasi pribumi. Lukisan ) Istilah "mitos pribumi malas" ini saya temui dari buku hasil penelitian yang ditulis Tania Murray Li dan Pujo Semedi (2022). Buku itu berjudul "Hidup Bersama Raksasa". Maksudnya, masyarakat hidup bersama perusahaan perkebunan. Kembali ke soal istilah, "Apakah pribumi kita benar-benar berwatak pemalas? Ataukah ini hanya mitos saja agar kita merasa inferior dalam mengelola sumber daya yang ada secara mandiri dan harmonis?" Jika kita periksa lembar-lembar sejarah, kita akan temui banyak fakta tentang mustahilnya pribumi kita punya watak pemalas. Kalau pribumi kita pemalas, maka tidak mungkin waktu itu pribumi kita bisa membuat perahu lalu mengarungi samudra sampai ke Madagaskar. Mustahil juga pribumi kita waktu itu melakukan perdagangan internasional sampai di anak benua India, lalu dari situ bahan-bahan dagang kita (putik cengkih, lada, dan pala) tersebar ke seluruh Eropa.  Usaha pribumi kita melakukan perdagangan internasional...

Baileo sebagai Tempat Musyawarah ("Hablumminannas?)

Baileo (rumah adat), di berbagai negeri/desa punya bentuk/arsitektur yang cukup beragam. Ada Baileo patasiwa dan ada patalima. Ulasan patasiwa dan patalima punya kontroversi tersendiri (bisa baca di buku Bartels). Karena kontroversi, maka Beta tidak masuk ke pembahasan tsb. Beta mau lihat, sejauhmana makna bangunan Baileo ini dibalik kepala orang Maluku. Baileo identik dengan istilah "balai" (istilah ini masih di perdebatkan), adalah tempat musyawarah para tetuah. Dalam sejarah manusia (bisa baca buku Yuval Noah Harari), masyarakat mulai mengenal sistem musyawarah ini sejak manusia lepas dari sistem berburu-meramu-nomaden. Harari mengatakan, perpindahan dari sistem berpikir nomaden ke masyarakat "fiksi - kognitif" yang mengandalkan akal sebagai alat musyawarah, adalah loncatan peradaban yang sangat luar biasa sekali. Artinya, jika kita turunkan ulasan ini ke makna "Baileo" maka sebetulnya masyarakat kita zaman dulu punya sistem berpikir yang s...