Langsung ke konten utama

Hoax Demi Keuntungan Finansial


Ada pepatah kuno mengatakan, "Meskipun kesalahan lari secepat kilat, tapi suatu saat kebenaran pasti mengalahkannya".

Informasi-informasi yang salah pasti akan kalah dengan informasi yang benar. Oleh sebab itu, kita harus berpegang pada informasi yang benar saja.

Saat ini, kita hidup dalam situasi tanpa batas. Beragam informasi bisa kita peroleh dari mana saja. Entah dari facebook, whatsapp, instagram, dll.

Hampir setiap hari kita di bombardir berjuta informasi, baik tentang politik, sosial, ekonomi, bahkan gejala alam. Akibatnya, situasi ini membuat kita menjadi pribadi yang tahu "sedikit" hal dari banyak hal yang ada.

Anehnya, dari "sedikit" hal yang diketahui membuat kita percaya dan menganggapnya sebagai kebenaran yang tidak bisa di ganggu-gugat (taken for granted). Padahal, pengetahuan yang "sedikit" ini belum tentu benar sebagaimana mestinya.

Ambil contoh, informasi tentang pulau Maluku yang bakal tenggelam akibat gempa. Saat kita cek informasi tsb, rupanya mengandung kesalahan yang sangat fatal.

Informasi yang salah kita sebut "berita hoaks". Orang yang membuat berita hoaks punya motif cukup beragam. Psikiater Griffith mengatakan bahwa ada dua motif dari si pembuat berita hoaks. Pertama, motif mencari keuntungan finansial., dan kedua sekedar bersenang-senang.

Akibat dari berita hoaks itu, akhirnya si penerima informasi mengalami kerugian cukup besar. Kerugiannya bukan hanya pada si penerima informasi, bahkan individu yang “membantu” menyebarkan berita hoaks pun juga mengalami kerugian yang sama. Terutama kerugian psikologis.

Secara psikologis, bagi si penerima berita hoaks akan mengalami sindrom ketakutan. Ketakutan ialah bagian dari kecemasan. Individu yang cemasnya tinggi dapat turun rasa bahagianya.

Kebahagiaan yang rendah akan berakibat pada turunnya kualitas hidup. Kualitas hidup yang rendah berakibat pada kematian. Inilah fatalnya.

Sedangkan, individu yang "membantu" menyebarkan berita hoaks mengalami 'cognitive biases'. Yakni sandaran kepercayaan yang salah kepada orang lain. Padahal, orang yang dipercayai itu belum tentu benar seratus persen. Hal ini akan sangat merugikan kondisi psikologisnya di kemudian hari.

Berdasarkan ulasan tsb, terlihat ada tiga klasifikasi individu yang secara psikologis mengalami kerugian yang cukup besar.

Pertama, individu yang membuat berita hoaks. Motif psikologisnya ialah bersenang-senang dan hanya untuk meraih keuntungan finansial. Motif ini, dalam istilah psikologi pendidikan dinamai "bullying", tapi dalam konteks sosial dapat di sebut "social bullying".

Bullying adalah perilaku merugikan orang lain demi keuntungan diri sendiri. Secara psikologis, pelaku bullying memiliki harga diri dan empati yang rendah. 

Kedua, individu yang “membantu” menyebarkan berita hoaks. Motif psikologisnya ialah "cognitive biases". Yakni kecenderungan yang salah mempercayai orang lain.

Ketiga, individu yang menerima berita hoaks mengalami ketakutan. Bahkan, bisa jadi berakibat pada kematian. Artinya, secara psikologis mengalami kerugian yang sangat fatal.

Dari simtom-simtom psikologis yang berakibat fatal itu, maka khusus pengambil kebijakan dan juga media-media mainstream, sudah harus mulai memberi intervensi perubahan, tidak hanya fokus pada si pembuat berita hoaks. Melainkan juga pada individu yang membantu menyebarkan berita hoaks, sekaligus si penerima berita hoaks.

Untuk selanjutnya, mungkin pusat-pusat rehabilitasi psikologis untuk menangkal berita-berita hoaks ini harus segera di upayakan. Kalau tidak, kita semua akan mengalami kerugian psikologis ("bocoran psikologis") yang sangat fatal di kemudian hari. 


Qashai Pelupessy
Ambon - Maluku
Minggu, 07 Juni 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Permainan Hidup

Di saat realita berganti wajah,  kau hadir, selalu tanpa esensi.  Kadang kau bahagia, hari ini kau sengsara,  besok kau memuakkan.  Hidup. Memang sebatas permainan.  Gelar yang kau bawa ke mana-mana,  di tempel di atas almanak,  undangan, koran, brosur, pamflet,  dan sejenisnya,  tak ku temukan esensi di sana.  Memang, hidup hanya sebatas permainan.  Aku melihat, sarjana hukum,  tak paham arti keadilan.  Aku melihat, sarjana ekonomi,  tak paham arti kesejahteraan.  Aku melihat, sarjana fisika, kimia, tak paham arti keharmonisan alam.  Aku melihat, sarjana sosiologi,  tak paham arti kerukunan.  Aku melihat, sarjana politik.  tak paham arti etika politik.  Aku melihat, sarjana filsafat,  tak paham arti kebijaksanaan. Kau hadir, selalu tanpa esensi.  Memang, hidup sebatas permainan.  Hanya sedikit yang p aham arti keadilan, kesejahter...

Jalan-jalan ke Benteng Amsterdam, Bertemu Putri Duyung-nya Rumphius

Hari ini, beta ingin menceritakan tentang pengalaman beta jalan-jalan ke benteng Amsterdam, desa Hila, kecamatan Leihitu, Maluku Tengah. Di Maluku, benteng-benteng peninggalan Portugis, Belanda, dan Spanyol terlampau banyak.  Ada benteng Victoria di pusat kota Ambon, benteng Durstede di pulau Saparua, benteng Orange di Ternate, benteng Kastela, benteng Toloko, dan masih banyak lagi. Hadirnya beberapa benteng ini membuktikan bahwa Maluku pada masanya sempat menjadi pusat perniagaan rempah-rempah.  Dalam beberapa catatan sejarah, seperti yang di tulis Adnan Amal, bahwa setiap benteng memiliki fungsinya masing-masing. Misalnya, benteng Victoria atau benteng Kastela, biasanya digunakan sebagai kantor Gubernur. Ada juga benteng yang berfungsi sebagai lokasi pertahanan, seperti benteng Toloko.  Selain itu, ada juga benteng yang digunakan sebagai tempat penyimpanan rempah-rempah (loji), seperti benteng Amsterdam. Benteng Amsterdam ialah salah-satu benteng yan...

"MITOS PRIBUMI MALAS"

( Ilustrasi pribumi. Lukisan ) Istilah "mitos pribumi malas" ini saya temui dari buku hasil penelitian yang ditulis Tania Murray Li dan Pujo Semedi (2022). Buku itu berjudul "Hidup Bersama Raksasa". Maksudnya, masyarakat hidup bersama perusahaan perkebunan. Kembali ke soal istilah, "Apakah pribumi kita benar-benar berwatak pemalas? Ataukah ini hanya mitos saja agar kita merasa inferior dalam mengelola sumber daya yang ada secara mandiri dan harmonis?" Jika kita periksa lembar-lembar sejarah, kita akan temui banyak fakta tentang mustahilnya pribumi kita punya watak pemalas. Kalau pribumi kita pemalas, maka tidak mungkin waktu itu pribumi kita bisa membuat perahu lalu mengarungi samudra sampai ke Madagaskar. Mustahil juga pribumi kita waktu itu melakukan perdagangan internasional sampai di anak benua India, lalu dari situ bahan-bahan dagang kita (putik cengkih, lada, dan pala) tersebar ke seluruh Eropa.  Usaha pribumi kita melakukan perdagangan internasional...

Baileo sebagai Tempat Musyawarah ("Hablumminannas?)

Baileo (rumah adat), di berbagai negeri/desa punya bentuk/arsitektur yang cukup beragam. Ada Baileo patasiwa dan ada patalima. Ulasan patasiwa dan patalima punya kontroversi tersendiri (bisa baca di buku Bartels). Karena kontroversi, maka Beta tidak masuk ke pembahasan tsb. Beta mau lihat, sejauhmana makna bangunan Baileo ini dibalik kepala orang Maluku. Baileo identik dengan istilah "balai" (istilah ini masih di perdebatkan), adalah tempat musyawarah para tetuah. Dalam sejarah manusia (bisa baca buku Yuval Noah Harari), masyarakat mulai mengenal sistem musyawarah ini sejak manusia lepas dari sistem berburu-meramu-nomaden. Harari mengatakan, perpindahan dari sistem berpikir nomaden ke masyarakat "fiksi - kognitif" yang mengandalkan akal sebagai alat musyawarah, adalah loncatan peradaban yang sangat luar biasa sekali. Artinya, jika kita turunkan ulasan ini ke makna "Baileo" maka sebetulnya masyarakat kita zaman dulu punya sistem berpikir yang s...