Awan terlihat bergelombang menyelimuti pulau Ternate. Pulau ini konon punya cerita yang gemilang. Istilah “konon” sebetulnya kurang tepat, sebab mengandung intrik pengecualian terhadap sejarah yang valid.
Memang sudah jelas terpampang dalam landscape peradaban dunia, kekuasaan Ternate mutlak pernah sampai ke Madagaskar! Di bawah kaki Babullah, kekuasaan Ternate juga sampai ke Filipina!
Pulau mungil ini dulu punya nama sangat mentereng. Bahkan Fransiskus Xaverius, seorang Santo Katolik, sampai terkagum-kagum dengan pulau seluas 5.795 kilometer persegi ini.
Kawannya Darwin, yaitu Wallace juga kagum dengan Ternate. Tercatat dalam sejarah, melalui tangan Wallace, sumbangan pemikiran mengalir ke Darwin saat merumuskan teori evolusinya. Kontribusi yang sangat luar biasa. Ini semua bermula dari pulau mungil, Ternate.
Dari bibir pantai Salero, tampak terlihat jelas di ufuk barat sana, berdiri bangunan kokoh berwujud singa yang sedang duduk, menambah keperkasaan sang pemiliknya. Tepat di atas bukit Santosa, yang dimaknai sebagai bukit perdamaian, sang penguasa rela membagi wilayahnya untuk Indonesia merdeka di tahun 1945.
Seharusnya Indonesia banyak berterima-kasih kepada Ternate, tanpa menepis kerajaan-kerajaan lain di Nusantara.
Jauh sebelum itu, Ternate pernah mengalami masa kekecewaan yang cukup berat. Bermula sejak Portugis masuk ke pulau bermahkota rambut ini, dan Spanyol menepi ke Tidore.
Awalnya, dua negara ini punya misi sekedar melakukan perjalanan mengitari bumi, konon terinspirasi oleh Colombus yang telah menemukan Amerika. Namun, misi itu kemudian bergeser pada nafsu ingin menguasai daerah-daerah yang telah disinggahi.
Armada mereka berlabuh di Ternate dan Tidore. Bukan sekedar berlabuh, tapi benar-benar menetap, mungkin karena jangkar kapal yang sudah mulai rapuh dan rusak sehingga untuk kembali ke negara asal menjadi kurang mantap.
Mereka (Portugis dan Spanyol) berhasil memporandak-porandakan pranata sosial dan sistem pemerintahan Ternate dan Tidore sehabis-habisnya. Negosiasi bersifat pemaksaan untuk menguasai sumber daya alam, kalau bukan dikatakan, sangatlah mulus.
Mereka masuk melalui jalur perdagangan merambah ke arus politik “ikat-mengikat”. Saya punya senjata, mau kau tukarkan dengan cengkih? Ini negosiasi yang cemerlang sekaligus menyiksa.
Semua ini bisa terjadi karena 1 faktor saja yakni harga diri para raja-raja zaman dulu, yang punya ambisi kuat menguasai wilayah yang belum terjamah. Saingan politik Ternate kala itu adalah Tidore.
Ternate tidak boleh kalah dengan Tidore maupun sebaliknya. Titik fokus wilayah kekuasaan akhirnya di kavling-kavling, Ternate ke wilayah barat sedangkan Tidore ke wilayah timur.
Portugis dan Spanyol tidak mau tinggal diam. Semua ini di amati sebagai peluang untuk menguasai Ternate dan Tidore, melalui politik adu-domba. Karena Ternate butuh pasukan dan amunisi, maka Portugis rela bertukar gagasan, dengan dalih, saya akan membantu semua hal yang kau inginkan mulai dari pasukan sampai amunisi agar kau bisa mengalahkan sainganmu itu, tapi dengan 1 syarat, bolehkah kau tukar amunisi dengan cengkih? Sontak raja Ternate menjawab, baiklah! Inilah pertama kali proses penjajahan di mulai di bumi Moloku Kie Raha.
Matahari semakin condong ke barat. Adzan ashar mula di kumandangkan 4 orang muadzin, sebagai tanda bahwa negeri ini punya 4 kesultanan. Sigi lamo, sebagai saksi bisu melihat para tengkulak berhidung mancung bermata biru menarik bendi yang bermuatan cengkih dan pala.
Ini kualat! Singgasana tak peduli lagi dengan alam makolano, kalau bukan sekedar ritual kolili kie. Seharusnya, pemaknaan atas diktum alam makolano ini di ritualkan dalam wujud yang paling nyata, yakni menolak hidung mancung bermata biru itu! Tapi apalah kata, nasi sudah menjadi bubur. Semua telah di ridhoi Allah SWT.
Barulah tersadar pada keesokan harinya, sultan Khairun di tikam dari belakang. Berontaklah sang Babullah yang baru saja selesai dari pengembaraannya belajar agama Islam di tanah Sula.
Air mata tak bisa lagi di tukar dengan amunisi. Semuanya harus di basmi! Bunyi tifa di iringi tarian soya-soya sebagai tanda perlawanan. Orang berhidung mancung bermata biru itu harus di usir dari bumi Moloku Kie Raha.
Di tutuplah akses perekonomian. Semua yang ada di dalam benteng orange tidak boleh keluar. Surat-surat perjanjian lalu di sobek-sobek sampai habis lalu di buang ke tong sampah! Kelaparan dan kesengsaraan mulai terasa dari dalam benteng. Akhirnya, bendera putih pun berkibar sebagai tanda menyerah.
Matahari semakin condong ke barat. Senja memancar indah dari balik gunung Gamalama. Sudah dari tadi, laki-laki ini memperhatikan singgasana di atas bukit Santosa itu dari bibir pantai Salero.
Rokok sudah mau habis. Tapi, kenangan indah bercampur kelam senantiasa menyertai dirinya dalam setiap tarikan nafasnya. Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo.
Landscape sejarah yang sudah dari tadi terkisahkan itu jangan sampai menjadi kenangan. Seharusnya kita ambil beberapa hikmah untuk memandang ke depan.
Hikmah apa yang dapat kita petik? Aktualisasi alam makolano. Melirik sedikit yang terjadi belakangan ini, gempa dll, adalah kalau bukan dikatakan rapuhnya ALAM makolano yang telah menjadi buah bibir semata.
Semuanya tidak main-main, eksploitasi alam pun menambah hubungan manusia dengan alam akhirnya menjadi renggang. Kemanakah syair jou se ngofa ngare ini?
Mari kita masuk ke dalam diri, perhatikan apa yang terjadi, dan bagaimana kita mengatasinya. Ini hanya cerita hikmah semata. Apa yang dapat kita ambil hikmahnya? Ini hanya riwayat saja. Sekian.
Catatan: Artikel yang beta tulis itu sempat beta upload di grup Maluku Utara Tempo Doeloe. Beta lansir dengan beberapa sedikit revisi.
Catatan: Artikel yang beta tulis itu sempat beta upload di grup Maluku Utara Tempo Doeloe. Beta lansir dengan beberapa sedikit revisi.
Qashai Pelupessy
Yogyakarta
17 Juli 2019
Komentar
Posting Komentar