Tradisi di Maluku sudah terlampau banyak. Dari semua tradisi yang ada mengandung keluhuran adab yang sangat tinggi nilainya. Kita ambil contoh, tradisi cuci negeri.
Hampir di setiap kampung, prosesi ritual cuci negeri ini kerap di praktikkan masyarakat setempat. Tradisi ini di praktikkan pada saat agenda pergantian raja atau atap rumah Baileo.
Pertanyaan liarnya ialah mengapa pada saat pergantian raja selalu di laksanakan prosesi cuci negeri? Apa kaitannya? Adalah pertanyaan yang cukup menarik.
Ada dua faktor yang melatarbelakangi sehingga prosesi cuci negeri ini di lakukan. Pertama, faktor sejarah. Kedua, faktor pandangan filosofis masyarakat setempat.
Terkait faktor sejarah ini beta ambil contoh yaitu di negeri - masyarakat Maluku menyebut kampung dengan istilah negeri - Siri-Sori Islam. Di Siri-Sori Islam, setiap sudut kampungnya memiliki tempat supranatural.
Masyarakat memanggil tempat supranatural ini dengan sebutan "mata air kapitan". Konon, mata air tersebut di temukan para kapitan yang tiba di Siri-Sori Islam.
Kapitan adalah istilah yang disematkan kepada seorang pemimpin pasukan perang. Di satu sisi, kapitan juga punya arti sebagai pemimpin masyarakat (setingkat raja).
Kembali pada konteks pembahasan. Proses penemuan mata air kapitan ini terbilang cukup unik. Waktu itu, para kapitan sedang ingin melaksanakan sholat namun belum ditemukan air untuk wudhu. Karena tidak ditemukan air, maka para kapitan menikam tombaknya ke tanah, dan keluarlah air.
Itulah asal-usul hadirnya mata air kapitan. Asal-usul ini kemudian berpengaruh terhadap faktor kedua dari latar belakang prosesi ritual cuci negeri, yakni terbentuknya pandangan filosofis masyarakat setempat tentang kekuatan supranatural yang dimiliki mata air kapitan.
Ada dua pandangan filosofis masyarakat terhadap mata air kapitan ini. Pertama, ekspresi "penghormatan" terhadap para leluhur (kapitan), sehingga masyarakat harus melakukan prosesi ritual cuci negeri (air kapitan).
Kedua, menjaga keseimbangan sistem kehidupan masyarakat setempat. Jika tidak dilakukan ritual cuci negeri, maka negeri tersebut akan ditimpa musibah seperti penyakit, kerasukan, dan lain-lain yang menghambat kehidupan masyarakat setempat.
Biasanya, ritual cuci negeri ini di tutup dengan prosesi ganti atap rumah Baileo sekaligus pelantikan raja setempat. Ada hubungan historis yang bersifat geneologis antara pelantikan raja dengan ritual cuci negeri.
Karena raja adalah ekspresi "simbolik" dari adat dan kelanjutan para leluhur, maka sebelum pelantikan raja harus dilakukan "silaturahmi geneologis" antara raja saat ini dengan para leluhur melalui ritual cuci negeri. Hal ini guna memudahkan akses "komunikasi roh" antara raja saat ini dengan para leluhur.
Untuk membangun sebuah negeri, maka komunikasi lintas roh harus terus di pelihara. Spirit yang sering dipraktikkan para leluhur tempo dulu harus bisa di tangkap oleh raja saat ini. Sehingga pembangunan negeri lebih terarah.
Dalam konteks negara modern seperti sekarang ini, semangat "menangkap" maksud para leluhur juga kerap di lakukan. Namun, dengan gaya yang lebih modern, karena pengaruh rasionalitas.
Kerap kita temukan pernyataan para pemimpin saat ini seperti, "saya akan melanjutkan program pemimpin sebelumnya". Pernyataan ini mirip dengan istilah "komunikasi lintas roh" melalui prosesi ritual cuci negeri yang telah dibahas sebelumnya.
Itulah mengapa setiap tradisi yang di praktikkan masyarakat sebetulnya punya keluhuran adab yang sangat tinggi nilainya. Setiap tradisi semestinya harus kita tangkap esensinya dan mempraktikkannya sesuai konteks perubahan dan tuntutan zaman saat ini dan kedepannya.
Qashai Pelupessy
Maluku - Ambon
Selasa, 30 Juni 2020
Komentar
Posting Komentar