Langsung ke konten utama

Tradisi Makan Patita, Solusi Mengatasi Perbedaan Politik dan Konflik Sosial


Setiap daerah punya cara tersendiri mengatasi persoalan sosial yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Entah persoalan itu berbau politik, ekonomi, atau psikologis.  
Cara mengatasi persoalan sosial biasanya di ambil dari praktik kebudayaan, yang tentunya mengandung semangat positif. Karena itulah, setiap praktik kebudayaan sudah pasti di terima semua agama.
Sebagaimana yang di katakan Prof. KH. Said Aqil Siradj, bahwa setiap budaya bisa menjadi infrastruktur agama, apabila budaya itu punya tendensi ke arah kemaslahatan bersama.
Di Maluku, masalah perbedaan pandangan politik atau lainnya biasanya di selesaikan dengan cara 'makan patita'. Tradisi ini sudah di praktikkan sejak lama.
Tradisi makan patita di topang oleh norma 'pela-gandong' yang ada di tanah Maluku. Pela berarti saudara beda atas dasar sumpah darah. Sedangkan gandong ialah saudara genetik beda agama atau seagama.
Dalam praktiknya, pela-gandong dapat di lihat misalnya pada masyarakat Siri-Sori Islam dan Haria, kecamatan Saparua, Maluku Tengah. Populasi Siri-Sori Islam beragama Islam, sedangkan Haria beragama Kristen.
Meskipun kedua masyarakat itu berbeda agama tapi bersaudara secara adat. Sehingga, ketika terjadi konflik sosial antar kedua desa tersebut maka solusinya melalui aktualisasi pela-gandong.
Aktualisasi pela-gandong biasanya di tuangkan dalam tradisi makan 'patita'. Setiap orang dari berbagai kelompok suku atau agama yang berbeda, berkumpul menjadi satu dalam suasana harmonis, sembari menikmati makanan yang telah di masak bersama-sama.
Makanan yang di masak ialah seperti ikan bakar, sayur kangkung rebus, kasbi (singkong) rebus, sagu, dan 'colo colo’ – nama lain dari sambal. Semua jenis makanan yang telah di masak itu kemudian di sajikan di atas daun pisang dan disantap 'bareng-bareng'. Situasi ini mendapat sambutan dari Qur'an, “Maka nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?”.
Selama prosesi makan patita, setiap orang dari berbagai kelompok yang berbeda akan saling bercengkerama dan tertawa bersama, sembari bersyukur atas karunia Tuhan. Sehingga apapun masalah yang tengah di hadapi, baik karena perbedaan politik atau lainnya, semuanya akan lebur menjadi satu dalam suasana harmonis di atas daun pisang. Sungguh nikmat sekali suasana demikian.
Itulah salah-satu kekuatan yang di miliki orang Maluku dalam proses menyelesaikan konflik sosial akibat perbedaan politik, agama atau lainnya yang telah dan akan terjadi.
Jika tradisi ini terus di praktikkan dan di pertahankan, maka bukan hanya menguntungkan orang Maluku secara sempit, melainkan warga Nusantara secara luas. Semoga tradisi makan patita ini tetap di pertahankan sampai anak cucu kelak. Aamiin.
Qashai Pelupessy
Ambon – Maluku
13 Oktober 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Islam Masuk ke Siri-Sori Islam

Sampai detik ini, sejarah masuknya Islam ke pulau Saparua, tepatnya di negeri Siri-Sori Islam masih menjadi misteri. Ada pendapat mengatakan bahwa masuknya Islam ke Siri-Sori Islam tepat pada tahun 1212 masehi. Apakah pendapat ini benar demikian? Wallahua’lam. Jika kita mengatakan Islam masuk ke Saparua, tepatnya di Siri-Sori Islam pada abad 11/12 masehi, maka bisa dikatakan bahwa pendapat itu “hampir” benar adanya. Memang, pada abad 11/12 masehi ini Islam masuk ke Nusantara dibawa saudagar muslim asal Persia. Buktinya ialah pengaruh bahasa Persia dikalangan kerajaan-kerajaan Nusantara tentang kebiasaan duduk “bersila”. Kata “bersila” ini diserap dari kitab ‘Ajaib Al-Hind dikarang oleh muslim Persia bernama Buzurg bin Shariyar Al-Ramhurmuzi abad 11 masehi. Sekarang, mari kita tengok budaya kerajaan kita (di Siri-Sori Islam), apakah ada kebiasaan duduk “bersila” di hadapan raja? Wallahua’lam. Kalau kita lihat budaya kita, mustahil ada budaya duduk bersila dihadapan raja. Artinya, hal in...

Kata "Tabea" sebagai Wujud Perilaku Sopan-santun Orang Maluku - Malut

Dialah Dieter Bartels, antropolog asal Jerman yang sudah puluhan tahun melakukan studi di Maluku, mengatakan bahwa, meskipun orang Maluku itu punya watak keras dan terkadang diperankan sebagai "preman" di kota-kota besar, namun banyak juga orang Maluku yang punya perangai cerdas, cerdik, dan berpengetahuan luas. Artinya, stigma keras kepala alih-alih kurang beradab yang melekat pada orang Maluku ialah suatu kekeliruan yang cukup besar.  Orang Maluku yang beradab ini dapat kita lihat dalam praktik kebudayaan, ada terselip nilai-nilai etis yang sangat tinggi. Salah-satu budaya yang dapat kita perlihatkan di sini ialah kata "tabea", biasa dipakai dalam komunikasi sehari-hari atau dalam upacara adat tertentu. Hampir setiap daerah yang ada di Indonesia bagian timur, kata "tabea" ini tak asing lagi di dengar khayalak umum.  Di Bone, Sulawesi Selatan, misalnya, ada kata "tabea" (dengan penghilangan huruf a menjadi tabe). Beta pernah dengar ...

Kata "Tabea" sebagai Bentuk Motivasi Orang Maluku - Malut

Di artikel sebelumnya, beta telah ulas mengenai kata "tabea" sebagai wujud perilaku sopan-santun. Sekarang ini, beta akan bahas perihal kata tabea sebagai "daya tonjok psikologis" atau bisa kita maknai sebagai motivasi diri. Kata "tabea" biasa dipraktikkan ketika seorang pemuda berjalan di depan orang tua, maka ia harus nunduk sambil membungkukkan badan, terus ia katakan "tabea - permisi".  Adakalanya juga kata "tabea" ini muncul dalam praktik tarian-tarian adat di Maluku, seperti tarian soya-soya (di Maluku Utara), dan sesekali kata itu juga diteriakkan para penari dalam tarian cakelele. Selain itu, kata tabea juga muncul dalam tradisi "arumbai manggurebe". Para kapitan atau malesi dalam beberapa kesempatan upacara adat, setelah mereka menutup sambutan akan dibarengi dengan teriakan, "tabea!" (dengan suara lantang), sontak masyarakat yang mendengar juga meneriakkan kata yang sama, "tabea!".  ...

PSIKOLOGI KRITIS (Sedikit Catatan)

"Jangan-jangan, psikologi yang saya pahami adalah buah dari kerja-kerja relasi kuasa di luar sana, yang saya tidak mengerti, tapi diam-diam masuk dan kita meyakininya sebagai kebenaran. Parahnya, kita mempraktikkannya tanpa kesadaran kritis" (Jumat, 11 Oktober 2024).  Asumsi itu muncul setelah saya baru selesai mengikuti kegiatan Konferensi Nasional yang diadakan oleh Fakultas Psikologi UGM. Kegiatan ini mengangkat tema "Menyala Indonesiaku: Psikologi sebagai Pilar Kesehatan Mental Generasi Emas". Dalam kegiatan itu, ada satu kajian yang menarik perhatian saya yakni, psikologi diskursus atau psikologi kritis. Sebuah kajian yang sedang saya minati belakangan ini. Berikut ini adalah sedikit dari catatan saya mengenai kegiatan itu yang kemudian saya gabungkan/menyadur dari artikel Prof. Teguh Wijaya Mulya.  .................. Teori-teori psikologi yang sudah mapan belum tentu dapat digunakan secara langsung untuk membaca fenomena psikologis di Indonesia. Perlu melihat ...