Langsung ke konten utama

Celoteh Pohon Sukun tentang Virus Mematikan


Pohon sukun itu terus mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Dia tumbuh ke atas, akar menancap ke bawah, ranting menjalar ke kiri dan ke kanan. Indah memang indah. Dia berkembang dari usia muda menjadi dewasa sehingga membuatnya lebih memahami apa yang di butuhkan kita semuanya. 

Di bawah pohon sukun itu juga, sang proklamator menemukan mutiara pancasila, berisi lima dasar yang saling mengikat antar sesamanya. Kelima dasar ini jika di peras akan menjadi Tri Sila (Nasionalisme, Demokrasi, dan Keber-Tuhan-an), dan jika di peras lagi akan menjadi Eka Sila: Gotong Royong! Sebagaimana yang di ajarkan pohon sukun, bahwa rimbun daunnya dapat memberi rasa damai pada semua makhluk yang ada di bawahnya. 

Seiring berjalannya waktu, pohon sukun itu mulai menua. Daun-daunnya mulai kehilangan energi, fotosintesis berjalan lambat. Akar-akarnya mulai sulit menyerap air, mungkin kita jarang menyiraminya, atau kita malah balik menyalahkan semesta: kok tidak turun hujan!

Salah siapa anda tidak menyiraminya? Sikap seperti itu di sebut moral disengagement (pelepasan tanggungjawab). Seolah-olah, apapun yang terjadi saat ini adalah bukan karena saya melainkan dia. Padahal, kita semua hidup di bawah atap pohon sukun yang sama.

Sebagaimana pohon-pohon pada umumnya yang mulai tua, jika sedikit terkena badai maka hancurlah ia. Kita tidak tahu kapan badai itu akan tiba? Masa depan memang sulit di prediksi. Namun dengan memahami apa yang terjadi saat ini adalah langkah awal memprediksi masa depan. Entah kita bisa menangkal badai, atau malah kita hancur bersamanya.

Apa yang terjadi saat ini sangat jauh dari yang di harapkan pohon sukun. Bahwa kita bisa memprediksi masa depan untuk mengantisipasi badai yang bakal terjadi, namun di dalam diri kita sendiri telah hidup virus mistrust. Sampai detik ini belum ada obat yang dapat menangkal virus ini.

Kalaupun sekedar menahan virus agar jangan menjalar ke organ tubuh lainnya, mungkin bisa saja. Dan saat ini, kita semua, dari budayawan sampai akademisi, sedang sibuk mencari obat penahan virus itu.

Virus mistrust ini telah mewabah entah ke mana saja, dari kepala sampai kaki, dari elit sampai jelata. Kita sedang mengalami krisis kepercayaan antar sesama anak bangsa. Kita, dengan sikap kritis menuduh pemerintah sedang salah arah, sebaliknya pemerintah juga menuduh kita jangan mendikte saja.

Situasi ini, persis dengan ulasan Harari dalam bukunya berjudul Sapiens, bahwa gejala sosial-politik yang terjadi belakangan ini hampir sama dengan kerabat dekat kita, simpanse.

Dalam kawanan simpanse, perebutan kuasa lazim terjadi. Penanaman rasa percaya antar simpanse di bangun dengan saling menjilat punggung kawannya. Siapa yang sering menjilat maka dialah yang akan menjadi penjantan alfa (pemimpin simpanse). Satu kawanan simpanse hanya bisa menampung 40 sampai 50 simpanse.

Jika melebihi daya tamping pasukan maka akan terjadi konflik antar sesamanya. Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena kepercayaan tidak bisa mengikat satu kawanan yang berjibun jumlahnya, apalagi hanya dengan menjilat tubuh kawannya. Lantas, bagaimana dengan Indonesia, jumlah penduduk kita sudah mencapai angka 300 juta manusia!? Apakah kita sanggup mempertahankan satu pasukan bangsa ini?

Kembali ke inti masalah, bahwa sejak kapan virus mistrust ini hinggap di tubuh kita? Jawabannya terletak di masa lalu, yakni sejak awal mula kita mendirikan Indonesia merdeka. Gerakan PRRI/Permesta dan sejenisnya adalah bukti dari keberadaan virus mistrust. Apa yang membuat PRRI/Permesta berontak? Karena mereka kecewa dengan gaya pembangunan orde lama, yang konon hanya fokus di Jawa. Istilah Jawa Sentris sangat tidak enak di dengar, karena kita adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang seharusnya proses pembangunan di rasakan semua pihak, dari atas ke bawah, dari kiri ke kanan.

Rasa kecewa itu sebenarnya bernilai positif karena bicara keadilan sosial, tapi apa yang terjadi selanjutnya? Dalam catatan sejarah Indonesia, PRRI/Permesta diboncengi Amerika Serikat. Amerika kecewa dengan Soekarno karena terlalu dekat dengan PKI, dan kita semua tahu bahwa pada waktu itu pula sedang terjadi perang dingin antara Amerika dan Uni Soviet (Komunis), sehingga mendorong Amerika mendanai gerakan PRRI/Permesta.

Indonesia ini memang seperti kue yang enak di bagi-bagi kepada siapa saja. Akhirnya apa? Ada misi terselubung dibalik kejadian politik waktu itu, dan sampai detik ini kita masih merasakan dampaknya. Bahwa melepaskan cengkeraman Amerika dari bumi pertiwi adalah suatu hal yang muskil terjadi sekaligus fatal.

Virus mistrust ini selanjutnya hidup di Gerakan 30 September. Pembantaian dewan jenderal menjadi catatan sejarah kelam bagi bangsa Indonesia. Entah siapa yang memainkan fenomena gerakan ini masih terus di telusuri, terutama ahli-ahli sejarawan Indonesia.

Terlepas dari semua argumentasi yang berseliweran di langit Indonesia, terkait Gerakan 30 September, hanya pernyataan Taufik Abdullah (Sejarawan Indonesia) yang paling enak di dengar bahwa, pelurusan sejarah Indonesia di masa orde baru sangat gencar di lakukan, tapi hanya satu yang tidak boleh di sentuh, adalah masalah PKI dan Gerakan 30 September-nya. Inilah pernyataan yang paling tepat menggambarkan situasi yang terjadi kala itu. Setelah kejadian G-30S maka di tetapkanlah peringatan Hari Kesaktian Pancasila yang jatuh sehari setelah kejadiannya yakni setiap 01 Oktober, dan kita semua dengan penuh gembira merayakannya.

Itulah landscape sejarah kelam kita sebagai bangsa yang besar. Pertanyaannya ialah apakah virus mistrust ini sudah tiada? Jawabannya ialah masih ada dan terus ada. Saat ini, kita bisa saksikan sendiri, meskipun wajah perpolitikan tanah air kita sudah di make-up dengan demokrasi melalui reformasi, tapi perang saudara masih terus terjadi.

Perang Ambon, perang Sampit, kasus Papua, gejala terorisme, dst., adalah sederet simtom yang membuktikan bahwa virus mistrust ini masih hidup. Sayangnya, kasus-kasus itu, untuk kali ini kita tidak tahu siapa aktor yang berani memainkannya. Kita hanyalah ;wayang yang asyik di mainkan dalang entah siapa namanya - tidak penting, dan siapa penontonnya pun tidak penting juga di ulas. Lantas, bagaimana solusinya?

Kita saat ini sedang sibuk mencari obat penangkal virus mistrust dan kita bingung mau mulai darimana? Apakah dari perubahan sistem? Aktor-aktor politik lama harus di singkirkan? Memperbanyak UU? Atau genosida masal? Semoga saja kita tidak bersikap ekstrim; memilih melakukan genosida masal. Kita semua masih waras, ya masih waras.

Lantas bagaimana?

Kita harus banyak belajar dari runtuhnya beberapa Imperium di muka bumi ini. Harari mengemukakan bahwa imperium Romawi runtuh karena perang saudara, begitu juga dengan Yugoslavia dan Uni Soviet.

Perang saudara adalah penyebab utama runtuhnya imperium-imperum itu, dan kita tentu tidak ingin mengalami kejadian serupa. Perang saudara terjadi karena keterlepasan perikemanusiaan dan perikeadilaan yang seharusnya menjadi penopang persatuan bangsa.

Untuk mengembalikan tiang perikemanusiaan dan perikeadilan ini, maka saya teringat dengan pernyataan Rosihan Anwar (wartawan senior), yang beberapa kali mengingatkan kita, bahwa ada lima sikap "picik" yang harus kita hindari dan satu sikap positif yang harus kita pertahankan yaitu, hipokrit (munafik), segan dan enggan bertanggungjawab, berjiwa feodal, percaya takhayul (minim sains), karakter lemah, dan artistik (positif).

Untuk menjauhkan diri dari kelima sikap picik itu maka kita perlu menyalakan Api Pancasila – juga sebagai obat penangkal virus mistrust. Pancasila harus benar-benar menjadi falsafah hidup dan weltanschaung yang mendarah-daging menjiwai kita semua.

Kita harus menjadi manusia pancasila yang; berketuhanan yang Maha Esa, ber-kemanusiaan yang adil dan beradab, ber-persatuan Indonesia, ber-kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan ber-keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Api Pancasila ini adalah pelita bagi kita semua, yang harus menerangi jiwa kita semuanya. Jika kita dengan kesungguhan hati mengaplikasikan kelima dasar falsafah hidup itu, maka kita akan hidup sentosa.

Sebagaimana kita lihat dari pohon sukun tadi, banyak hewan yang asyik berkumpul di bawah rimbun daunnya, ada yang asyik makan, ada pula yang termenung menatap sesamanya. Indah sekali hidup seperti ini.

Semoga kita semua bisa menjadi manusia Pancasila, sehingga terbersihkan dari kotoran virus mistrust antar sesama anak bangsa. Kita ini bangsa yang besar, lambang kita burung Garuda yang perkasa bukan burung "pombo".

Qashai Pelupessy
Ambon - Maluku
Senin, 03 Oktober 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Islam Masuk ke Siri-Sori Islam

Sampai detik ini, sejarah masuknya Islam ke pulau Saparua, tepatnya di negeri Siri-Sori Islam masih menjadi misteri. Ada pendapat mengatakan bahwa masuknya Islam ke Siri-Sori Islam tepat pada tahun 1212 masehi. Apakah pendapat ini benar demikian? Wallahua’lam. Jika kita mengatakan Islam masuk ke Saparua, tepatnya di Siri-Sori Islam pada abad 11/12 masehi, maka bisa dikatakan bahwa pendapat itu “hampir” benar adanya. Memang, pada abad 11/12 masehi ini Islam masuk ke Nusantara dibawa saudagar muslim asal Persia. Buktinya ialah pengaruh bahasa Persia dikalangan kerajaan-kerajaan Nusantara tentang kebiasaan duduk “bersila”. Kata “bersila” ini diserap dari kitab ‘Ajaib Al-Hind dikarang oleh muslim Persia bernama Buzurg bin Shariyar Al-Ramhurmuzi abad 11 masehi. Sekarang, mari kita tengok budaya kerajaan kita (di Siri-Sori Islam), apakah ada kebiasaan duduk “bersila” di hadapan raja? Wallahua’lam. Kalau kita lihat budaya kita, mustahil ada budaya duduk bersila dihadapan raja. Artinya, hal in...

Kata "Tabea" sebagai Wujud Perilaku Sopan-santun Orang Maluku - Malut

Dialah Dieter Bartels, antropolog asal Jerman yang sudah puluhan tahun melakukan studi di Maluku, mengatakan bahwa, meskipun orang Maluku itu punya watak keras dan terkadang diperankan sebagai "preman" di kota-kota besar, namun banyak juga orang Maluku yang punya perangai cerdas, cerdik, dan berpengetahuan luas. Artinya, stigma keras kepala alih-alih kurang beradab yang melekat pada orang Maluku ialah suatu kekeliruan yang cukup besar.  Orang Maluku yang beradab ini dapat kita lihat dalam praktik kebudayaan, ada terselip nilai-nilai etis yang sangat tinggi. Salah-satu budaya yang dapat kita perlihatkan di sini ialah kata "tabea", biasa dipakai dalam komunikasi sehari-hari atau dalam upacara adat tertentu. Hampir setiap daerah yang ada di Indonesia bagian timur, kata "tabea" ini tak asing lagi di dengar khayalak umum.  Di Bone, Sulawesi Selatan, misalnya, ada kata "tabea" (dengan penghilangan huruf a menjadi tabe). Beta pernah dengar ...

Kata "Tabea" sebagai Bentuk Motivasi Orang Maluku - Malut

Di artikel sebelumnya, beta telah ulas mengenai kata "tabea" sebagai wujud perilaku sopan-santun. Sekarang ini, beta akan bahas perihal kata tabea sebagai "daya tonjok psikologis" atau bisa kita maknai sebagai motivasi diri. Kata "tabea" biasa dipraktikkan ketika seorang pemuda berjalan di depan orang tua, maka ia harus nunduk sambil membungkukkan badan, terus ia katakan "tabea - permisi".  Adakalanya juga kata "tabea" ini muncul dalam praktik tarian-tarian adat di Maluku, seperti tarian soya-soya (di Maluku Utara), dan sesekali kata itu juga diteriakkan para penari dalam tarian cakelele. Selain itu, kata tabea juga muncul dalam tradisi "arumbai manggurebe". Para kapitan atau malesi dalam beberapa kesempatan upacara adat, setelah mereka menutup sambutan akan dibarengi dengan teriakan, "tabea!" (dengan suara lantang), sontak masyarakat yang mendengar juga meneriakkan kata yang sama, "tabea!".  ...

PSIKOLOGI KRITIS (Sedikit Catatan)

"Jangan-jangan, psikologi yang saya pahami adalah buah dari kerja-kerja relasi kuasa di luar sana, yang saya tidak mengerti, tapi diam-diam masuk dan kita meyakininya sebagai kebenaran. Parahnya, kita mempraktikkannya tanpa kesadaran kritis" (Jumat, 11 Oktober 2024).  Asumsi itu muncul setelah saya baru selesai mengikuti kegiatan Konferensi Nasional yang diadakan oleh Fakultas Psikologi UGM. Kegiatan ini mengangkat tema "Menyala Indonesiaku: Psikologi sebagai Pilar Kesehatan Mental Generasi Emas". Dalam kegiatan itu, ada satu kajian yang menarik perhatian saya yakni, psikologi diskursus atau psikologi kritis. Sebuah kajian yang sedang saya minati belakangan ini. Berikut ini adalah sedikit dari catatan saya mengenai kegiatan itu yang kemudian saya gabungkan/menyadur dari artikel Prof. Teguh Wijaya Mulya.  .................. Teori-teori psikologi yang sudah mapan belum tentu dapat digunakan secara langsung untuk membaca fenomena psikologis di Indonesia. Perlu melihat ...