Langsung ke konten utama

Dukungan Sosial dalam Budaya "Ilowue Basudarao" Orang Siri-Sori Islam


Semakin tinggi penghasilan seseorang, maka semakin banyak kebutuhan yang harus di penuhi. Jika penghasilan seseorang sebulan satu juta misalnya, maka kebutuhannya membeli motor akan menjadi sangat tinggi.

Selanjutnya, jika penghasilan seseorang lima juta sebulan, maka ia tentu menginginkan membeli mobil. Begitu dan seterusnya.

Realita memang seperti itu. Dalam kajian filsafat di sebut dunia materialisme. Yakni, kecenderungan seseorang menganggap materi sebagai dasar kehidupan.

Dalam pandangan psikolog humanistik Abraham Maslow, bahwa kebutuhan materialisme ini wajar di alami setiap individu. Maslow menjelaskan bahwa salah-satu kebutuhan dasar manusia ialah biologis (makan dan minum).

Jika kebutuhan biologis sudah terpenuhi, maka individu akan membutuhkan rasa aman. Setelah rasa aman, individu membutuhkan kasih sayang.

Setelah kasih sayang, maka individu akan membutuhkan harga diri. Begitu dan seterusnya sampai individu meraih kebutuhan aktualisasi diri.

Artinya, Maslow ingin meletakkan posisi manusia sebagai pribadi yang berpaham individualisme-materialisme. Paham ini cenderung destruktif, karena hanya mementingkan diri sendiri.

Dalam setting politik misalnya, individu berpaham seperti itu akan menjadi pemimpin yang otoriter. Tidak berperikemanusiaan, dst.

Dalam setting pendidikan, individu seperti itu akan melahirkan pendidik sebagai objek pengetahuan. Peserta didik atau murid di pandang tidak punya pengetahuan melebihi gurunya.

Dalam setting sosial, individu berpaham seperti itu akan melahirkan pribadi yang serakah. Tidak peduli antar sesama. Terkadang, sering provokatif untuk meraih simpati dan ingin di hargai.

Meski banyak kita temukan individu seperti itu, tapi alhamdulillah paham-paham demikian terbatasi oleh kultur masyarakat. Misalnya, di Siri-Sori Islam ada praktik "Ilowue Basudarao".

Budaya "ilowue basudarao" ini sarat dengan nilai-nilai sosial. Cenderung membatasi seseorang agar tidak menjadi pribadi materialisme absolut.

Dalam kacamata psikologi, budaya "ilowue basudarao" ini identik dengan teori dukungan sosial. Smet mengartikan dukungan sosial sebagai salah satu fungsi dari ikatan sosial.

Ikatan-ikatan sosial itu menggambarkan tingkat kualitas umum dari hubungan interpersonal. Ikatan keluarga dalam setting sosial misalnya dapat memberi kepuasan emosional tersendiri bagi individu.

Saat seseorang di dukung oleh lingkungan, maka segalanya akan terasa lebih mudah. Konsekuensi psikologisnya ialah seseorang tidak akan mengalami stres, cemas, dan konsekuensi negatif lainnya.

Di dalam dukungan sosial ini ada aspek psikologis seperti rasa aman, peduli, cinta, dan ketenangan. Aspek-aspek itu sangat terasa dalam praktik "ilowue basudarao".

"Ilowue basudarao" terdiri dari dua suku kata yakni "ilowue" (kumpul/bakumpul : berkumpul) dan "basudarao" (bersaudara). Salah-satu ciri dari masyarakat Siri-Sori Islam ialah ikatan nilai-nilai kekeluargaan/saudara [akibat dari perkawinan silang].

Oleh karenanya, wajar "ilowue basudarao" ini di praktikkan masyarakat setempat. "Ilowue basudarao" di praktikkan ketika ada salah-satu keluarga punya hajat menikahkan anaknya.

Karena pernikahan butuh biaya yang besar, maka masyarakat akan saling memberi dukungan, baik berupa materi maupun imateri seperti empati, simpati, kasih sayang, dan cinta. Praktik ini identik dengan teori dukungan sosial yang telah di bahas sebelumnya.

Mencermati praktik "ilowue basudarao" itu, dan aspek-aspek psikologis yang terkandung di dalamnya, maka dapat di katakan bahwa budaya ini terkesan sangat membatasi seseorang menjadi pribadi materialisme. Karena pribadi materialisme ini cenderung destruktif, maka "ilowue basudarao" ini wajar di praktikkan terus-menerus. 

Qashai Pelupessy
Maluku - Ambon
Senin, 18 Mei 2020


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Permainan Hidup

Di saat realita berganti wajah,  kau hadir, selalu tanpa esensi.  Kadang kau bahagia, hari ini kau sengsara,  besok kau memuakkan.  Hidup. Memang sebatas permainan.  Gelar yang kau bawa ke mana-mana,  di tempel di atas almanak,  undangan, koran, brosur, pamflet,  dan sejenisnya,  tak ku temukan esensi di sana.  Memang, hidup hanya sebatas permainan.  Aku melihat, sarjana hukum,  tak paham arti keadilan.  Aku melihat, sarjana ekonomi,  tak paham arti kesejahteraan.  Aku melihat, sarjana fisika, kimia, tak paham arti keharmonisan alam.  Aku melihat, sarjana sosiologi,  tak paham arti kerukunan.  Aku melihat, sarjana politik.  tak paham arti etika politik.  Aku melihat, sarjana filsafat,  tak paham arti kebijaksanaan. Kau hadir, selalu tanpa esensi.  Memang, hidup sebatas permainan.  Hanya sedikit yang p aham arti keadilan, kesejahter...

Jalan-jalan ke Benteng Amsterdam, Bertemu Putri Duyung-nya Rumphius

Hari ini, beta ingin menceritakan tentang pengalaman beta jalan-jalan ke benteng Amsterdam, desa Hila, kecamatan Leihitu, Maluku Tengah. Di Maluku, benteng-benteng peninggalan Portugis, Belanda, dan Spanyol terlampau banyak.  Ada benteng Victoria di pusat kota Ambon, benteng Durstede di pulau Saparua, benteng Orange di Ternate, benteng Kastela, benteng Toloko, dan masih banyak lagi. Hadirnya beberapa benteng ini membuktikan bahwa Maluku pada masanya sempat menjadi pusat perniagaan rempah-rempah.  Dalam beberapa catatan sejarah, seperti yang di tulis Adnan Amal, bahwa setiap benteng memiliki fungsinya masing-masing. Misalnya, benteng Victoria atau benteng Kastela, biasanya digunakan sebagai kantor Gubernur. Ada juga benteng yang berfungsi sebagai lokasi pertahanan, seperti benteng Toloko.  Selain itu, ada juga benteng yang digunakan sebagai tempat penyimpanan rempah-rempah (loji), seperti benteng Amsterdam. Benteng Amsterdam ialah salah-satu benteng yan...

"MITOS PRIBUMI MALAS"

( Ilustrasi pribumi. Lukisan ) Istilah "mitos pribumi malas" ini saya temui dari buku hasil penelitian yang ditulis Tania Murray Li dan Pujo Semedi (2022). Buku itu berjudul "Hidup Bersama Raksasa". Maksudnya, masyarakat hidup bersama perusahaan perkebunan. Kembali ke soal istilah, "Apakah pribumi kita benar-benar berwatak pemalas? Ataukah ini hanya mitos saja agar kita merasa inferior dalam mengelola sumber daya yang ada secara mandiri dan harmonis?" Jika kita periksa lembar-lembar sejarah, kita akan temui banyak fakta tentang mustahilnya pribumi kita punya watak pemalas. Kalau pribumi kita pemalas, maka tidak mungkin waktu itu pribumi kita bisa membuat perahu lalu mengarungi samudra sampai ke Madagaskar. Mustahil juga pribumi kita waktu itu melakukan perdagangan internasional sampai di anak benua India, lalu dari situ bahan-bahan dagang kita (putik cengkih, lada, dan pala) tersebar ke seluruh Eropa.  Usaha pribumi kita melakukan perdagangan internasional...

Baileo sebagai Tempat Musyawarah ("Hablumminannas?)

Baileo (rumah adat), di berbagai negeri/desa punya bentuk/arsitektur yang cukup beragam. Ada Baileo patasiwa dan ada patalima. Ulasan patasiwa dan patalima punya kontroversi tersendiri (bisa baca di buku Bartels). Karena kontroversi, maka Beta tidak masuk ke pembahasan tsb. Beta mau lihat, sejauhmana makna bangunan Baileo ini dibalik kepala orang Maluku. Baileo identik dengan istilah "balai" (istilah ini masih di perdebatkan), adalah tempat musyawarah para tetuah. Dalam sejarah manusia (bisa baca buku Yuval Noah Harari), masyarakat mulai mengenal sistem musyawarah ini sejak manusia lepas dari sistem berburu-meramu-nomaden. Harari mengatakan, perpindahan dari sistem berpikir nomaden ke masyarakat "fiksi - kognitif" yang mengandalkan akal sebagai alat musyawarah, adalah loncatan peradaban yang sangat luar biasa sekali. Artinya, jika kita turunkan ulasan ini ke makna "Baileo" maka sebetulnya masyarakat kita zaman dulu punya sistem berpikir yang s...