Sebagaimana yang sudah beta kemukakan di artikel kemarin, bahwa frasa "Sa Inoro'o Sa" ini punya makna sangat dalam. Dampak psikologis dari frasa tsb juga sangat beragam. Salah-satunya ialah empati, simpati, memaafkan, tolong-menolong, dan kohesi sosial.
Di artikel ke empat ini, beta ingin jelaskan terkait apa itu perilaku politik yang bersumber dari frasa tsb. Perilaku politik beta artikan sebagai upaya atau proses mempengaruhi dari seseorang ke seseorang atau masyarakat agar tercipta situasi yang harmonis.
Manusia merupakan makhluk politik. Zoon politicon adalah istilah yang di sematkan pada manusia sebagai "binatang politik". Dalam bahasa Inggris di sebut politic animal (binatang politik).
Sejak bayi lahir dan langsung menangis, maka ia sudah berpolitik. Konteks politiknya ialah ketika si bayi mempengaruhi orang-orang di sekitarnya untuk mengenali tangisannya.
Ketika si bayi menangis, maka ada tiga tanda yang harus kita kenali dan penuhi. Pertama, mungkin ia menangis karena kencing dan kita harus ganti popoknya. Kedua, mungkin ia menangis karena sedang buang air besar sehingga kita harus membersihkan anusnya. Dan ketiga, mungkin ia menangis karena lapar sehingga si ibu harus memberinya susu.
Ketiga tanda itu harus kita penuhi. Kalau tidak maka ia akan terus menangis. Tangisan bayi membuat orang-orang di sekitarnya menjadi sayang dan berempati. Sehingga mau tak mau harus memenuhi keinginan si bayi. Inilah proses si bayi mempengaruhi orang-orang di sekitarnya.
Jika ketiga tanda dari tangisan si bayi itu kita penuhi, maka situasi akan kembali normal. Si ibu akan lebih tenang, dan si bayi pun demikian. Hasil akhir dari terpenuhinya keinginan si bayi ialah terciptanya nuansa harmonis.
Meskipun setiap manusia merupakan makhluk politik, namun nilai-nilai yang mendasari perilaku politik antar setiap individu pasti berbeda-beda. Misalnya, nilai-nilai individualistik di Barat pasti sangat berpengaruh terhadap perilaku politiknya.
Berbeda dengan di Indonesia, yang rata-rata perilaku politik berpijak pada nilai-nilai Pancasila. Perilaku politik di setiap daerah pun "mungkin" juga berbeda-beda. Mungkin di Jawa berbeda dengan di Maluku, terkait perilaku politiknya.
Di Siri-Sori Islam, perilaku politik berpijak pada nilai-nilai dari frasa "Sa Inoro'o Sa". Sebagaimana yang sudah beta paparkan di artikel kemarin, bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi frasa tersebut ialah mistis, religius, dan hubungan interpersonal yang kuat.
Dalam kesempatan ini, beta akan mengulas terkait faktor mistis mempengaruhi frasa "Sa Inoro'o Sa" sebagai sumber nilai politik orang Siri-Sori Islam. Sedangkan, ulasan mengenai dua faktor lainnya yakni religius dan hubungan interpersonal akan beta paparkan di artikel berikutnya (artikel kelima dan keenam).
Terkait ke-mistis-an orang Siri-Sori Islam harus kita kaji melalui pendalaman historis masyarakat setempat. Di artikel yang beta tulis berjudul "Perjalanan Masyarakat Siri-Sori Islam dari Nomaden ke Chiefdom", telah beta kemukakan bahwa masyarakat Siri-Sori Islam awalnya ialah sebagai masyarakat nomaden.
Ada yang mengatakan bahwa orang Siri-Sori Islam berasal dari Papua. Ada juga yang mengatakan dari Hadramaut. Dan ada yang katakan dari pulau Jawa. Menurut beta, semua pendapat itu benar.
Konon, sebelum manusia-manusia "awal" datang ke Siri-Sori Islam, mereka sempat mendiami beberapa daerah. Misalnya, yang dari Papua sebelum ke Siri-Sori Islam, terlebih dahulu mereka sempat singgah di pulau Seram.
Selama di pulau Seram, pekerjaan mereka ialah berburu dan meramu untuk bertahan hidup (istilahnya, survival of the fittest). Ketika objek buruan mulai berkurang, maka mereka pun pindah ke daerah lainnya (Siri-Sori Islam). Inilah yang di sebut sebagai masyarakat "awal" yakni nomaden.
Terkait asal-usul orang Siri-Sori Islam yang berasal dari Papua, Jawa, dan Hadramaut, bisa kita lihat dari beberapa klan marga yang saat ini mendiami desa Siri-Sori Islam. Beberapa klan marga seperti Sallatalohy, Saimima, Sopamena, Patty, Pelupessy, Sanaky, Pattisahusiwa, dan masih banyak lagi, adalah sederet marga-marga yang berasal dari berbagai daerah.
Keberadaan beberapa klan marga itu membuktikan bahwa orang Siri-Sori Islam awalnya bukan masyarakat tunggal yang berasal dari satu daerah tertentu, melainkan berasal dari banyak daerah. Setelah mereka melakukan perjalanan dari satu daerah ke daerah lainnya, maka mereka menemukan Siri-Sori Islam.
Sejarah lain menuturkan bahwa ada seorang Kapitan di desa Rumbati yang berasal dari suku Ala bernama Pattialam. Ia menikah dengan Ratu Pormalei, dan dari perkawinan itu dikaruniai tiga orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan yaitu Timamole, Simanole, Silalohi (Lohilomanuputty), Nyai Intan dan Nyai Mas.
Setelah dewasa ketiga orang anak laki-laki sepakat untuk pergi meninggalkan Hatumeten. Niat ini disampaikan kepada kedua orang tua mereka. Sang ibu kemudian mengambil sebuah mangkok untuk membuat sumpah janji dengan meminum tetesan darah dari jari-jari tangan ketiga saudara tersebut.
Isi sumpah itu sebagai bukti bahwa ketiga saudara adalah satu gandong (kandung). Dimanapun mereka berada mereka harus saling memperhatikan antara satu dengan yang lain. Sumpah janji ini bersifat mengikat sampai anak cucu turun temurun. Inilah sumpah yang bernilai mistik sangat tinggi.
Perjalanan dari kelima bersaudara itu yang nantinya melahirkan beberapa kampung di Maluku. Saudara Timanole berhenti di Tamilou. Saudara Silaloi berhenti di bukit Elhau (kampung lama desa Siri-Sori Islam). Dan Simanole melanjutkan perjalanan dan menetap di Hutumuri.
Kedua saudari perempuan lainnya yakni Nyai Intan berhenti di daerah Simanole dan menikah dengan raja Bakarbessy dari negeri Waai. Sedangkan, Nyai Mas berhenti di Silaloi dan menikah dengan raja Haria.
Kampung-kampung ini yang kemudian punya ikatan "pela gandong" antara satu dengan yang lainnya. Pela berarti hubungan kerabat atas dasar sumpah darah. Hubungan pela biasanya dengan saudari perempuan, seperti Silaloi (dari Siri-Sori Islam) dengan Nyai Mas (dari Haria).
Sedangkan, gandong berarti hubungan darah turun-temurun. Ikatan gandong ini misalnya orang Silaloi (dari Siri-Sori Islam) punya hubungan gandong dengan Simanole (dari Hutumuri). Ikatan gandong ini juga di dasarkan atas sumpah darah di masa lampau.
Seiring perjalanan sejarah, para leluhur yang mendiami kelima daerah tersebut di atas melahirkan generasi ke generasi. Dan ketika masuknya agama-agama "baru" di Maluku, kelima kelompok masyarakat tersebut lalu memeluk agama Islam dan Kristen secara berbeda.
Misalnya, masyarakat Haria dan Hutumuri memeluk agama Kristen., dan masyarakat Siri-Sori Islam memeluk agama Islam. Meskipun ada sekat-sekat religius yang khas, tapi dalam hal mistik tetap terjalin harmonis akibat hubungan pela-gandong tersebut.
Faktor itulah yang sangat berpengaruh terhadap perilaku politik orang Siri-Sori Islam, yakni "Sa Inoro'o Sa". Sebagaimana yang telah beta paparkan di artikel lalu (artikel ketiga) bahwa perilaku "Sa Inoro'o Sa" ini tidak hanya berefek "ke dalam atau internal" orang Siri-Sori Islam saja, tapi juga "ke luar" karena ada ikatan pela-gandong tersebut.
Sebagaimana juga beta paparkan di artikel kemarin, bahwa dampak perilaku politik dari frasa "Sa Inoro'o Sa" ialah saling tolong-menolong, empati, simpati, saling memaafkan, dan kohesi sosial. Artinya, terhadap orang Hutumuri misalnya, orang Siri-Sori Islam akan tetap menjaga kohesi sosial yang kuat. Tujuan politik yang ingin di capai sangat jelas, yakni mencapai keharmonisan bersama.
Selain perilaku politik orang Siri-Sori Islam "ke luar" ialah menjaga kohesi sosial, "ke dalam" internal orang Siri-Sori Islam juga sangat menjaga nilai-nilai "Sa Inoro'o Sa". Hal ini bisa di telusuri dari lahirnya hukum etis "ipika mese-mese".
Hukum etis itu lahir akibat membludaknya beberapa klan marga yang datang ke Siri-Sori Islam. Setiap klan tentu memiliki kecenderungan kepentingan tersendiri. Setiap kepentingan sulit di kendalikan. Karena atas dasar kohesi sosial alih-alih frasa "Sa Inoro'o Sa" ini maka para leluhur membuat musyawarah di dalam rumah adat Baileo, dan di sepakatilah hukum etis "ipika mese-mese".
Ipika mese-mese berarti satu sama lain saling terikat. Perumpamaan dari ipika mese-mese ini seperti nasi pulut. Yang mana, setiap butir nasi pulut saling lengket dan menyatu. Inilah wujud kohesi sosial, dan sebagai salah-satu perilaku politik yang khas di miliki orang Siri-Sori Islam.
Berdasarkan ulasan tersebut, maka perilaku politik yang bersumber dari frasa Sa Inoro'o Sa ini berarti proses orang Siri-Sori Islam "mempengaruhi" situasi dalam konteks berempati, tolong-menolong, dan menjaga kohesi sosial, agar tercipta nuansa yang lebih harmonis di kemudian hari. Sekian ulasan beta mengenai faktor mistik mempengaruhi frasa "Sa Inoro'o Sa" sebagai sumber nilai politik yang di miliki orang Siri-Sori Islam.
Berikutnya, beta akan bahas mengenai perilaku politik orang Siri-Sori Islam yang bersumber dari frasa "Sa Inoro'o Sa" di lihat dari faktor religius (artikel kelima) dan hubungan interpersonal (artikel ke enam). Semoga ulasan singkat ini bisa menambah sedikit wawasan kita tentang perilaku politik yang khas di miliki masyarakat Siri-Sori Islam.
Qashai Pelupessy
Ambon - Maluku
Sabtu, 30 Mei 2020
Komentar
Posting Komentar