Siri-Sori Islam termasuk salah-satu desa muslim di pulau Saparua, Maluku Tengah. Di Saparua, hanya ada dua desa muslim yakni Kulur dan Siri-Sori Islam. Sedangkan yang lainnya ialah desa Kristen. Meskipun demikian, semuanya hidup di bawah payung "keharmonisan bersama".
Berdasarkan cerita rakyat, masyarakat Siri-Sori Islam berasal dari Papua. Awalnya mereka singgah di Kei, kemudian ke Seram lalu ke Siri-Sori Islam.
Namun, ada juga yang bilang kalau masyarakat Siri-Sori Islam berasal dari Arab. Buktinya, telah di temukan kuburan tua dengan nisan bertuliskan angka dan huruf Arab. Letak kuburan tua itu tepat berada di bibir pantai, tidak jauh dari masjid Baiturrahman desa Siri-Sori Islam.
Kalau menengok cerita rakyat di atas, kita bisa petik sedikit hikmah, bahwa masyarakat Siri-Sori Islam dulunya ialah masyarakat nomaden. Masyarakat yang berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya.
Watak masyarakat nomaden ialah berburu dan meramu. Kalau persediaan makanan sudah habis, binatang-binatang yang diburu semakin berkurang maka solusinya ialah pindah ke lokasi lainnya. Begitu dan seterusnya. Inilah nomaden.
Masyarakat nomaden memang capek, kalau terus berpindah-pindah lokasi. Sebab itu, masyarakat nomaden mencari akal, bagaimana caranya agar mereka bisa menetap di lokasi tertentu saja.
Akhirnya, mereka menemukan konsep pertanian (menjadi petani) dan kelautan (menjadi nelayan).
Menurut Harari bahwa perubahan masyarakat dari nomaden ke pertanian merupakan sebuah loncatan pemikiran yang sangat luar biasa.
Hadirnya konsep pertanian itu kemudian mengundang orang-orang nomaden lainnya datang dan menetap di Siri-Sori Islam. Hadirnya beberapa klan marga di Siri-Sori Islam sebagai buktinya.
Beberapa klan marga di Siri-Sori Islam yaitu Tuhepaly, Saimima, Sopamena, Patty, Sallatalohy, Lulupaly, Kaplale, Sanaky, Pelupessy, dan masih banyak lagi.
Hadirnya beberapa klan marga itu membuat lahan pertanian yang digarap menjadi sempit. Karena lahan semakin sempit maka sejumlah permasalahan sosial muncul ke permukaan seperti pencurian, sengketa tanah, dan lain-lain.
Untuk mengatasi persoalan itu, maka dibuatlah musyawarah bersama. Di dalam musyawarah, mereka merumuskan dan menetapkan beberapa aturan untuk mengatasi setiap persoalan sosial yang ada.
Aturan itu lalu disepakati dan di praktikkan secara terus-menerus sehingga menjadi budaya.
Dalam musyawarah tsb juga disepakati pimpinan utama (sebut: papa raja) yang membawahi beberapa klan marga. Akhirnya, terbentuklah struktur masyarakat chiefdom, yakni ada aturan, raja, kepala klan (masyarakat menyebutnya “saniri”) dan masyarakat biasa.
Berdasarkan ulasan tsb, maka dapat dikatakan bahwa rentetan perjalanan masyarakat Siri-Sori Islam ialah dari nomaden ke chiefdom.
Masyarakat chiefdom adalah masyarakat ber-peradaban. Peradaban berarti rasional, namun tidak lepas dari sendi-sendi kebudayaan.
Kelebihan masyarakat chiefdom ialah kemandirian dalam menyelesaikan setiap persoalan yang ada. Setiap persoalan di selesaikan secara rasional dengan berpijak pada sendi-sendi kebudayaan.
Itulah ulasan singkat tentang perjalanan masyarakat Siri-Sori Islam di pulau Saparua, Maluku Tengah., dari nomaden ke chiefdom. Semoga ulasan singkat ini dapat memberi sedikit manfaat bagi semuanya. Sekian. Wallahua’lam.
Qashai Pelupessy
Maluku - Ambon
06 Oktober 2019
Komentar
Posting Komentar