Langsung ke konten utama

"Upu Lima" dari Siri-Sori Islam dengan Pancasila


Agar budaya bisa dikenal publik, maka jalan satu-satunya ialah mencari keterpautan simbol antara budaya "umum" dan budaya "khusus".  Di satu sisi, mencari keterpautan "nilai" juga penting di lakukan. Akan tetapi, ada beberapa alasan sehingga saya tidak masuk ke pembahasan tsb. Alasan saya sebagaimana yang akan saya uraikan dibawah ini. 

Yang dimaksud dengan budaya "umum" ialah budaya yang bersifat global, seperti budaya pancasila, nasionalisme, dst. Sedangkan budaya "khusus" ialah budaya yang bersifat indigenous, hanya diketahui beberapa orang, memiliki kekhasan tersendiri, seperti adat istiadat, dst. 

Kedua budaya itu harus kita cari titik temunya melalui keterpautan simbol, sehingga kedua budaya ini bisa dikenal publik luas. 

Kenapa harus dikenal publik luas? Jawaban atas pertanyaan tsb ialah karena di samping agama, maka budaya juga dapat menjadi petunjuk bagi publik untuk mencapai kehidupan yang lebih harmonis

Oleh sebab itu, usaha mencari keterpautan simbol antara budaya "umum" dan budaya "khusus" mendapat tempat yang layak dibicarakan sekarang ini. 

Adapun pembicaraan mengenai keterpautan simbol ini tidak bermaksud mendiskreditkan (melemahkan) satu budaya dari budaya lainnya, atau budaya "umum" mendiskreditkan budaya "khusus". Bukan seperti itu. Melainkan pembicaraan ini sekedar mencari spirit timbal-balik, yang semuanya demi mencapai kehidupan yang lebih harmonis. 

Selain itu, pembicaraan ini pun tidak berusaha masuk ke dalam konsep dan sejarah implisit dari budaya "umum" dan budaya "khusus", melainkan hanya pada hal-hal yang konkrit-konkrit saja. 

Kenapa bisa seperti itu? Karena jika kita masuk ke dalam konsep dan sejarah implisit, maka kita akan berbenturan dengan para tetuah. Dan... hal ini butuh waktu yang sangat lama. Artinya, kita harus melakukan pendalaman historis yang dikaji secara dialektis-reflektif. 

Oleh karena itu, pembicaraan yang konkrit-konkrit sajalah yang paling tepat sekarang ini. Disamping itu juga, demi menghormati harkat dan martabat para tetuah, serta tidak ingin melangkahi/memotong pembicaraan para tetuah. 

Itulah alasan mengapa saya tidak masuk ke dalam pembahasan mengenai pertautan nilai sebagaimana yang dikatakan sebelumnya di atas, dan lebih memilih membahas keterpautan simbol saja. 

Tentang 'Upu Lima' dan Pancasila

Di Maluku, tepatnya di desa Siri-Sori Islam, ada budaya "khusus" yang disebut Upu Lima. Upu berarti orang yang di tua-kan, sedangkan Lima berarti lima, jadi Upu Lima ialah lima orang yang di tua-kan. 

Upu Lima atau lima orang yang di tua-kan di Siri-Sori Islam yaitu Sopamena, Sopaheluwakan, Wattihelew, Papulwa, dan Patty. Kelima orang ini yang mengawal Sallatalohy (Tuan Tanah Siri-Sori Islam) dalam prosesi cuci air saat pelantikan raja Siri-Sori Islam. 

Yang membuat saya tertarik ialah pada angka lima tsb. Yudi Latif mengatakan, "Angka lima memiliki nilai keramat dalam antropologi masyarakat Indonesia". Soekarno menyebutkan, "Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita memiliki pancaindera juga lima. Pandawa terdiri dari lima orang". 

Dalam kode etik orang Jawa ada "Mo Limo" yang terdiri dari lima aturan juga. Dan... tambahan pula, di Siri-Sori Islam ada lima orang tetuah yakni Upu Lima. Jika kita lanjutkan lagi, dan sebagai tambahan, maka semuanya ada keterpautan simbol dengan Pancasila, yang terdiri dari lima sila. 

Soekarno mengatakan, "Pancasila sebagai leitsar", atau bintang impian yang bersifat dinamis di atas meja statis yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Artinya, kemana pun kita tuju, maka "leitsar" dinamis itulah yang menjadi penunjuk arahnya. Begitupun di Siri-Sori Islam, kemana pun kita tuju/capai, maka Upu Lima-lah yang menjadi penunjuk arahnya. 

Itulah keterpautan simbolnya. Pancasila sebagai penunjuk jalan bagi pembangunan Negara, dan Upu Lima sebagai penunjuk jalan bagi pembangunan desa Siri-Sori Islam. Jika kedua "leitsar" dinamis yang statis ini saling berkelindan, maka tentu kita pasti akan mencapai kehidupan yang harmonis. 

Qashai Pelupessy
Ambon - Gunung Malintang
21 Oktober 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Islam Masuk ke Siri-Sori Islam

Sampai detik ini, sejarah masuknya Islam ke pulau Saparua, tepatnya di negeri Siri-Sori Islam masih menjadi misteri. Ada pendapat mengatakan bahwa masuknya Islam ke Siri-Sori Islam tepat pada tahun 1212 masehi. Apakah pendapat ini benar demikian? Wallahua’lam. Jika kita mengatakan Islam masuk ke Saparua, tepatnya di Siri-Sori Islam pada abad 11/12 masehi, maka bisa dikatakan bahwa pendapat itu “hampir” benar adanya. Memang, pada abad 11/12 masehi ini Islam masuk ke Nusantara dibawa saudagar muslim asal Persia. Buktinya ialah pengaruh bahasa Persia dikalangan kerajaan-kerajaan Nusantara tentang kebiasaan duduk “bersila”. Kata “bersila” ini diserap dari kitab ‘Ajaib Al-Hind dikarang oleh muslim Persia bernama Buzurg bin Shariyar Al-Ramhurmuzi abad 11 masehi. Sekarang, mari kita tengok budaya kerajaan kita (di Siri-Sori Islam), apakah ada kebiasaan duduk “bersila” di hadapan raja? Wallahua’lam. Kalau kita lihat budaya kita, mustahil ada budaya duduk bersila dihadapan raja. Artinya, hal in...

Kata "Tabea" sebagai Wujud Perilaku Sopan-santun Orang Maluku - Malut

Dialah Dieter Bartels, antropolog asal Jerman yang sudah puluhan tahun melakukan studi di Maluku, mengatakan bahwa, meskipun orang Maluku itu punya watak keras dan terkadang diperankan sebagai "preman" di kota-kota besar, namun banyak juga orang Maluku yang punya perangai cerdas, cerdik, dan berpengetahuan luas. Artinya, stigma keras kepala alih-alih kurang beradab yang melekat pada orang Maluku ialah suatu kekeliruan yang cukup besar.  Orang Maluku yang beradab ini dapat kita lihat dalam praktik kebudayaan, ada terselip nilai-nilai etis yang sangat tinggi. Salah-satu budaya yang dapat kita perlihatkan di sini ialah kata "tabea", biasa dipakai dalam komunikasi sehari-hari atau dalam upacara adat tertentu. Hampir setiap daerah yang ada di Indonesia bagian timur, kata "tabea" ini tak asing lagi di dengar khayalak umum.  Di Bone, Sulawesi Selatan, misalnya, ada kata "tabea" (dengan penghilangan huruf a menjadi tabe). Beta pernah dengar ...

Kata "Tabea" sebagai Bentuk Motivasi Orang Maluku - Malut

Di artikel sebelumnya, beta telah ulas mengenai kata "tabea" sebagai wujud perilaku sopan-santun. Sekarang ini, beta akan bahas perihal kata tabea sebagai "daya tonjok psikologis" atau bisa kita maknai sebagai motivasi diri. Kata "tabea" biasa dipraktikkan ketika seorang pemuda berjalan di depan orang tua, maka ia harus nunduk sambil membungkukkan badan, terus ia katakan "tabea - permisi".  Adakalanya juga kata "tabea" ini muncul dalam praktik tarian-tarian adat di Maluku, seperti tarian soya-soya (di Maluku Utara), dan sesekali kata itu juga diteriakkan para penari dalam tarian cakelele. Selain itu, kata tabea juga muncul dalam tradisi "arumbai manggurebe". Para kapitan atau malesi dalam beberapa kesempatan upacara adat, setelah mereka menutup sambutan akan dibarengi dengan teriakan, "tabea!" (dengan suara lantang), sontak masyarakat yang mendengar juga meneriakkan kata yang sama, "tabea!".  ...

PSIKOLOGI KRITIS (Sedikit Catatan)

"Jangan-jangan, psikologi yang saya pahami adalah buah dari kerja-kerja relasi kuasa di luar sana, yang saya tidak mengerti, tapi diam-diam masuk dan kita meyakininya sebagai kebenaran. Parahnya, kita mempraktikkannya tanpa kesadaran kritis" (Jumat, 11 Oktober 2024).  Asumsi itu muncul setelah saya baru selesai mengikuti kegiatan Konferensi Nasional yang diadakan oleh Fakultas Psikologi UGM. Kegiatan ini mengangkat tema "Menyala Indonesiaku: Psikologi sebagai Pilar Kesehatan Mental Generasi Emas". Dalam kegiatan itu, ada satu kajian yang menarik perhatian saya yakni, psikologi diskursus atau psikologi kritis. Sebuah kajian yang sedang saya minati belakangan ini. Berikut ini adalah sedikit dari catatan saya mengenai kegiatan itu yang kemudian saya gabungkan/menyadur dari artikel Prof. Teguh Wijaya Mulya.  .................. Teori-teori psikologi yang sudah mapan belum tentu dapat digunakan secara langsung untuk membaca fenomena psikologis di Indonesia. Perlu melihat ...