Langsung ke konten utama

Tipu-tipuan saja..?


Produksi virus dan jual beli vaksin seolah-olah sedang lazim terjadi. Apakah benar? Wallahua'lam. Kita tidak bisa melawan takdir, bahwa virus ini memang ada. Dan jual beli vaksin pun juga ada. 


(Kamu percaya dengan konspirasi gak? Kalau aku sih jelas-jelas gak percaya. Tapi, konspirasi itu ada? Bisa jadi... dengan tanda tanya). 

Itulah sekilas intisari dari buku ibu Siti Fadilah Supari membuat hati semakin sensi. Buku berjudul "Saatnya Dunia Berubah" terbit tahun 2008 lalu ini membuat kita semakin resah tentang keadilan versus ketidakadilan. 

Buku ini mendapat kepercayaan publik karena ada beberapa ahli bahkan tokoh-tokoh terkenal menulis ucapan terima kasih di sampul depan maupun belakang. Jadi, bagaimana mau bantah? Yasudahlah. Ikuti alur ceritanya saja. 

Banyak yang mencari keuntungan dalam kesempitan. Banyak yang mengejar rating demi keuntungan iklan. Dan banyak orang tak mampu hanya bisa pasrah, dengan dalih serahkan pada ahlinya. 

Terakhir, menuntut pemerintah. Kita harus cepat keluar dari situasi sulit ini. Namun, tak semua sepakat dengan pemerintah. Kebenaran dan isu hoax seolah-olah berjalan berdampingan. Muncul sikap saling tak percaya. 

Terlalu banyak menuntut, namun di satu sisi ada rasa tidak percaya. Ayo bersatu hadapi masalah ini bersama, dengan rasa tidak percaya, bagaimana bisa?

Dengar ahli, tidak percaya. Mau dengar pemerintah, apalagi. Rindu vaksin, ah itu hanya demi keuntungan ekonomi segelintir orang saja. Kita lihat saja, apakah nanti vaksin di jual dengan harga bombastis atau gratis?

Dalam kondisi seperti ini, beta semakin salut dengan KH. Mustofa Bisri (Gus Mus). Beliau mengatakan, 

"Aku MENYAYANGI dan MENGHORMATIMU, maka aku memakai masker. Semoga Allah segera mencabut wabah korona ini dan menurunkan kembali rahmatnya kepada kita semua. aamiin".

Qashai Pelupessy
Siri-Sori Islam - Maluku
Kamis, 28 Mei 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Permainan Hidup

Di saat realita berganti wajah,  kau hadir, selalu tanpa esensi.  Kadang kau bahagia, hari ini kau sengsara,  besok kau memuakkan.  Hidup. Memang sebatas permainan.  Gelar yang kau bawa ke mana-mana,  di tempel di atas almanak,  undangan, koran, brosur, pamflet,  dan sejenisnya,  tak ku temukan esensi di sana.  Memang, hidup hanya sebatas permainan.  Aku melihat, sarjana hukum,  tak paham arti keadilan.  Aku melihat, sarjana ekonomi,  tak paham arti kesejahteraan.  Aku melihat, sarjana fisika, kimia, tak paham arti keharmonisan alam.  Aku melihat, sarjana sosiologi,  tak paham arti kerukunan.  Aku melihat, sarjana politik.  tak paham arti etika politik.  Aku melihat, sarjana filsafat,  tak paham arti kebijaksanaan. Kau hadir, selalu tanpa esensi.  Memang, hidup sebatas permainan.  Hanya sedikit yang p aham arti keadilan, kesejahter...

Jalan-jalan ke Benteng Amsterdam, Bertemu Putri Duyung-nya Rumphius

Hari ini, beta ingin menceritakan tentang pengalaman beta jalan-jalan ke benteng Amsterdam, desa Hila, kecamatan Leihitu, Maluku Tengah. Di Maluku, benteng-benteng peninggalan Portugis, Belanda, dan Spanyol terlampau banyak.  Ada benteng Victoria di pusat kota Ambon, benteng Durstede di pulau Saparua, benteng Orange di Ternate, benteng Kastela, benteng Toloko, dan masih banyak lagi. Hadirnya beberapa benteng ini membuktikan bahwa Maluku pada masanya sempat menjadi pusat perniagaan rempah-rempah.  Dalam beberapa catatan sejarah, seperti yang di tulis Adnan Amal, bahwa setiap benteng memiliki fungsinya masing-masing. Misalnya, benteng Victoria atau benteng Kastela, biasanya digunakan sebagai kantor Gubernur. Ada juga benteng yang berfungsi sebagai lokasi pertahanan, seperti benteng Toloko.  Selain itu, ada juga benteng yang digunakan sebagai tempat penyimpanan rempah-rempah (loji), seperti benteng Amsterdam. Benteng Amsterdam ialah salah-satu benteng yan...

"MITOS PRIBUMI MALAS"

( Ilustrasi pribumi. Lukisan ) Istilah "mitos pribumi malas" ini saya temui dari buku hasil penelitian yang ditulis Tania Murray Li dan Pujo Semedi (2022). Buku itu berjudul "Hidup Bersama Raksasa". Maksudnya, masyarakat hidup bersama perusahaan perkebunan. Kembali ke soal istilah, "Apakah pribumi kita benar-benar berwatak pemalas? Ataukah ini hanya mitos saja agar kita merasa inferior dalam mengelola sumber daya yang ada secara mandiri dan harmonis?" Jika kita periksa lembar-lembar sejarah, kita akan temui banyak fakta tentang mustahilnya pribumi kita punya watak pemalas. Kalau pribumi kita pemalas, maka tidak mungkin waktu itu pribumi kita bisa membuat perahu lalu mengarungi samudra sampai ke Madagaskar. Mustahil juga pribumi kita waktu itu melakukan perdagangan internasional sampai di anak benua India, lalu dari situ bahan-bahan dagang kita (putik cengkih, lada, dan pala) tersebar ke seluruh Eropa.  Usaha pribumi kita melakukan perdagangan internasional...

Baileo sebagai Tempat Musyawarah ("Hablumminannas?)

Baileo (rumah adat), di berbagai negeri/desa punya bentuk/arsitektur yang cukup beragam. Ada Baileo patasiwa dan ada patalima. Ulasan patasiwa dan patalima punya kontroversi tersendiri (bisa baca di buku Bartels). Karena kontroversi, maka Beta tidak masuk ke pembahasan tsb. Beta mau lihat, sejauhmana makna bangunan Baileo ini dibalik kepala orang Maluku. Baileo identik dengan istilah "balai" (istilah ini masih di perdebatkan), adalah tempat musyawarah para tetuah. Dalam sejarah manusia (bisa baca buku Yuval Noah Harari), masyarakat mulai mengenal sistem musyawarah ini sejak manusia lepas dari sistem berburu-meramu-nomaden. Harari mengatakan, perpindahan dari sistem berpikir nomaden ke masyarakat "fiksi - kognitif" yang mengandalkan akal sebagai alat musyawarah, adalah loncatan peradaban yang sangat luar biasa sekali. Artinya, jika kita turunkan ulasan ini ke makna "Baileo" maka sebetulnya masyarakat kita zaman dulu punya sistem berpikir yang s...