Langsung ke konten utama

Mengenang Idul Fitri di Siri-Sori Islam (Kampung Tercinta)


Minal aidzin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin. Cerita ini bermula selepas sholat idul fitri tahun 2019 lalu. Beta tulis cerita ini mulai tanggal 05 Juni sampai 07 Juni di Siri-Sori Islam. 

CERITA 05 JUNI 2019

Tepat pukul 09.15 WIT, kami sekeluarga mulai bertolak dari Ambon menuju desa Siri-Sori Islam, Saparua, Maluku Tengah. Mudik atau "pulang kampung" adalah tradisi yang biasanya kami lakukan setiap tahun setelah sholat idul fitri.

Bulan (Juni 2019), hujan dan angin timur melanda bumi Maluku. Kami masih diberi kesempatan istirahat sejenak di rumah, menunggu sampai hujan benar-benar reda. 

Selang beberapa menit kemudian, hujan reda. Kami segera memesan mobil ke pelabuhan Tulehu. Waktu tempuh dari rumah ke pelabuhan Tulehu yaitu 1 jam 20 menit. Lumayan jauh. 

Sampai di Tulehu, kami segera memesan "speed" (sebutan orang Maluku: kapal laut). Ukuran speed cukup kecil. Daya tampung hanya 6 orang. 

Kami: Kase harga 300 ribu saja elaa.. (Artinya, beri kami harga 300 ribu saja suadara.) 

"Ela" berasal dari kata "pela" ialah sebutan saudara darah tapi beda agama yang di Maluku. Di Maluku ada budaya "pela-gandong". Setiap kampung punya tali persaudaraan lintas-agama. 

Misalnya, kami dari desa Siri-Sori Islam punya pela atau saudara-darah beda agama dengan orang Haria yang mayoritas warganya beragama kristiani.

Karena kebetulan yang menjadi pengemudi speed adalah orang Haria, maka kami memanggilnya dengan sebutan "ela". Lanjut ceritanya. Ela membalas tawaran kami.

Ela: Adoo.. ela ee (pengemudi tetap memanggil kami dengan ela).. bensin disini mahal ela.. 400 ribu jua ee (Artinya, bensin di sini mahal saudara.. 400 saja ya..)

Kami: Ohh bagitu.. okeh.. 400 saja.

Pengemudi: Oke ela.. sini ela pung barang-barang beta angka kase maso di speed (Artinya, mana saudara punya barang-barang.. nanti saya masukin ke dalam speed). 

Pengemudi atau ela langsung mengambil barang-barang kami dan memasukannya ke dalam speed. Kami disuruh masuk ke dalam speed. 

Mesin speed berkecepatan 40 Km/Jam mulai dinyalakan. Terlihat nun-jauh di sana, kondisi laut cukup bergelombang (alias berombak). Idealnya.. waktu tempuh dari pelabuhan Tulehu ke Haria yaitu 1 jam 40 menit, tapi karena cuaca kurang bersahabat dan kondisi laut cukup bergelombang, maka waktu tempuh "molor" menjadi 2 jam 35 menit.

Speed mulai bergerak memecah gelombang laut. Hempasan air laut menghantam dinding-dinding speed. Kami di dalam speed di buat "oleng".

Naik speed ini, saya jamin dapat membakar lemak dan kalori, karena di goyang air laut. Lumayan.. 1 jam 40 menit kita bisa berolahraga-ria. Coba aja kalau tidak percaya.. datang aja ke Maluku, hehehe.

Selang beberapa jam kemudian, speed yang kami tumpangi mulai sandar di dermaga Haria. Anak-anak kecil berlarian mendekati arah speed. Anak-anak di sini sangat antusias menjadi buruh angkut koper dll. Lumayan, hanya diberi Rp.5000 mereka sudah senang sekali.

Sampai di Haria, kami mulai memesan mobil ke desa Siri-Sori Islam. Di Haria, kami tak butuh banyak tawar-menawar, sebab kami anggap bahwa para sopir di Haria sudah seperti saudara sendiri, sehingga sudah sama-sama tahu terkait berapa uang yang harus di bayar ke sopir. 

Selang beberapa menit kemudian, koper dll mulai di angkut ke dalam mobil. Perjalanan dari Haria ke Siri-Sori Islam memakan waktu 45 menit. 

Lagu-lagu Ambon mulai memecah sudut-sudut dalam mobil. Musiknya sangat enak di dengar. Tak berapa lama, mobil mulai bergerak menuju desa Siri-Sori Islam. Untuk sampai di desa Siri-Sori Islam, kami harus melewati Haria, Saparua, dan Siri-Sori Kristen. 

Alhamdulillah... selang beberapa menit.. kami sudah berada di pintu masuk desa Siri-Sori Islam. Sebelum masuk gerbang desa Siri-Sori Islam, terlihat dari jauh kubah masjid Baiturrahman.

Masjid ini merupakan satu-satunya ikon yang di miliki desa Siri-Sori Islam. Masjidnya lumayan besar. Dinding-dindingnya terbuat dari beton, lantainya dari keramik, dan uniknya.. masjid ini tidak memiliki tiang tengah sebagai penyanggah kubah.

Satu-satunya desa yang memiliki masjid besar di kecamatan Saparua Maluku Tengah hanyalah di Siri-Sori Islam. Akhirnya kami tiba di desa Siri-Sori Islam. Kumpul bersama sanak keluarga membuat kami sangat bahagia. 

Mungkin.. inilah makna dibalik tradisi "pulang-kampung" setiap idul fitri, yakni saling silaturrahmi, memaafkan, dan menebar rasa bahagia antar-sesama. 

CERITA 06 JUNI 2019

Cuaca kali ini terlihat mendung sekali. Selang 30 menit, dalam hitungan, rintik hujan turun membasahi desa Siri-Sori Islam. Begitu terus sampai tengah malam.. sampai kami pun tak diberi kesempatan melihat indahnya bulan sabit (Syawal). Tapi.. alhamdulillah masih diberi kesempatan untuk istirahat selama 1 hari full di dalam rumah, hahaha.

Aktivitas yang paling menyenangkan selama di Siri-Sori Islam hanyalah satu, yakni duduk-santai bersama keluarga. 

Alhamdulillah tahun ini agak sedikit berbeda. Kali ini, paman saya lagi punya hajat mengadakan acara "guruanesi". Guruanesi adalah istilah dari acara selamatan bagi orang-orang yang sebentar lagi mau berangkat naik haji. Semua keluarga (khususnya dari marga kami: Pelupessy) kumpul di rumah tua. 

Uniknya di Siri-Sori Islam, semua marga punya "rumah tua" sendiri-sendiri. Konon, kakek buyut kami membangun rumah untuk suatu hari nanti ditempati anak-cucu mereka. 

Jika ada saudara kami punya hajat.. kami semua pasti akan membantunya. Beta perhatikan.. semua orang dari berbagai pelosok di desa Siri-Sori Islam berduyun-duyun datang membantu suksesi acara hajatan. 

Khusus untuk laki-laki.. semua punya kewajiban mendirikan tenda (yang terbuat dari bambu). Sedangkan perempuan.. ditugasi untuk memasak. Tanpa disuruh.. spontan semua dilakukan sesuai tugasnya masing-masing. 

Jadi.. ada semacam "kesadaran sosial" yang mendorong kami untuk mengerjakan sesuatu hal sesuai tugasnya masing-masing. Mungkin juga karena faktor ikatan keluarga.. sehingga ada semacam "efek sebaran tanggung-jawab".. artinya.. jika saya telah membantu hajat ini.. suatu ketika Anda pun harus membantu hajat saya. Seperti itu kira-kira. 

Aku sempat bertanya ke paman saya.. "Itu orang-orang yang datang gak pakai undangan ya?" Paman saya menjawab, "Iya.. mereka gak di undang.. mereka datang sendiri". Jadi.. kedatangan orang-orang (yang juga termasuk keluarga saya) ke rumah-tua atas dorongan kesadaran sosial. 

Prosesi bantu-bantu.. mulai dari mendirikan tenda.. memasak.. dll.. semua kelar tepat jam 15.45 WIT. Setelah sholat ashar.. acara "guruanesi" dimulai. Semua anak-cucu-cicit mulai bersih-bersih.. ada yang mandi.. ganti baju.. dan ada yang telah siap-siap menjemput tamu undangan. Ada juga yang bertugas sebagai pelayan.. seperti saya ini. 

Acara "guruanesi" dimulai dengan bacaan alfatihah.. disusul tahlil.. dan terakhir ditutup dengan doa selamat. Setelah itu.. selesai deh acaranya. Kami (yang sebagai pelayan) mulai sibuk mengambil makan dan minuman untuk dibagikan ke para tamu. Semua terlihat bahagia.. dipenuhi canda-tawa dan ngobrol sana-sini. Alhamdulillah.

Setelah acara selesai.. hujan pun kembali turun. Membasahi desa Siri-Sori Islam, alhamdulillah. Para tamu pun kembali ke rumahnya masing-masing. 

CERITA 07 JUNI 2019

Tepat 15.48 Waktu Indonesia Timur (WIT). Lantunan bacaan tarhim memecah kesunyian desa Siri-Sori Islam. Cuaca saat ini, tidak hujan. Hanya tadi pagi, hujan menyelimuti kampung tercinta. Beberapa jam kemudian hujan reda. 

Info yang kami peroleh, kondisi laut kurang berombak. Sebab itu, banyak orang yang mulai mudik kembali ke kota masing-masing. Ada yang pulang ke Ambon, Masohi, Ternate, Sulawesi, bahkan ada yang ke Jawa. Kami sekeluarga masih tetap di Siri-Sori Islam. 

Selang beberapa menit, pukul 15.58 WIT, suara adzan berkumandang. Irama "hayya alashollaaahh..." kian melengking ke seantero negeri. Terbesit suara hati untuk melangkah ke masjid Baiturrahman, salah satu ikon di Siri-Sori Islam. 

Matahari semakin condong ke barat. Pertanda sholat ashar akan dimulai beberapa menit lagi. Langkah kaki ku percepat. Tubuh semakin dekat dengan rumah Allah. Alhamdulillah langit-langit biru terlihat cerah sekali. 

Di masjid, langsung ke tempat wudhu. Selepas itu masuk ke dalam masjid, berdiri di shaf ketiga, menunggu sampai muadzin mengumandangkan iqomat. 

Tak berapa lama, suara iqamat memecah sudut-sudut masjid. Semua jamaah mulai mengisi shaf-shaf yang masih kosong. Berjejer rapih, tanda kesatuan ummat semakin kokoh. Alhamdulillah.

Masjid Baiturrahman. Dari namanya berarti, "rumah penyayang". Masjid ini sangat dekat dengan bibir pantai. Dari teras samping masjid terlihat pulau Boi bercokol di ufuk timur. Terlihat juga perahu-perahu kecil para nelayan yang sedang asyik memancing ikan. Indah sekali.

Masjid ini memiliki 2 lantai. Lantai atas khusus untuk perempuan, dan lantai bawah untuk laki-laki. Lantainya terbuat dari keramik berwarna kuning mengkilat. Dindingnya di cat dengan warna putih. Masjid ini punya satu menara, menjulang tinggi, yang di atasnya di pasang alat pengeras suara. 

Mimbar masjid ini, konon sudah ada sejak abad 18an. Alhamdulillah mimbar masjid masih tetap kokoh berdiri di samping tempat sholat imam. Meskipun masjid ini sudah di renovasi sebanyak 3 kali, namun bentuk dan arsitektur mimbarnya masih tetap dipertahankan sampai detik ini. 

Tak jauh dari masjid, tepatnya di depan masjid, berdiri bangunan adat yang disebut "rumah baileo". Rumah adat ini bercat merah pekat disertai potongan kayu-kayu kecil ber-"gerigi" memagari seluruh bangunan. 

Di dalamnya di gantung "tifa" (jimbe ala Maluku) biasanya digunakan saat ritual adat. Setiap pergantian raja, para tetua selalu membuat ritual adat di sekitar rumah baileo. Kedekatan bangunan masjid dan rumah adat ini pertanda bahwa antara adat (budaya) dan agama di desa Siri-Sori Islam sudah sangat harmonis. 

Di samping baileo, juga ada rumah raja. Siri-Sori Islam dulunya adalah sebuah kerajaan kecil di ufuk barat pulau Haruku. Rumah raja cukup besar. Dindingnya bercat putih. 

Di depan rumah raja, ada 2 pohon besar yang usianya sudah terbilang cukup tua. Konon, ada cerita, ketika perang Islam-Kristen tahun 1999 di tanah Maluku (semoga saja tidak terulang lagi.. aamiin).. ada sekelompok burung kecil dengan jumlah sangat banyak datang mendiami kedua pohon tersebut.  

Lebaran tahun ini penuh banyak cerita, dibalut kasih-sayang, kesopanan cucu pada warisan para leluhur, keharmonisan adat dan agama, serta kesantunan dalam keberagaman... alhamdulillah. 

Qashai Pelupessy
Maluku - Ambon
Tulisan di revisi kembali 23 Mei 2020

Catatan: Mari sama-sama kita berdoa, semoga tahun depan kita masih dipertemukan lagi dengan bulan Ramadhan. Dan yang paling penting, semoga wabah covid-19 ini segera berakhir, sehingga tahun depan kita bisa idul fitri di kampung tercinta Siri-Sori Islam, aamiin. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Permainan Hidup

Di saat realita berganti wajah,  kau hadir, selalu tanpa esensi.  Kadang kau bahagia, hari ini kau sengsara,  besok kau memuakkan.  Hidup. Memang sebatas permainan.  Gelar yang kau bawa ke mana-mana,  di tempel di atas almanak,  undangan, koran, brosur, pamflet,  dan sejenisnya,  tak ku temukan esensi di sana.  Memang, hidup hanya sebatas permainan.  Aku melihat, sarjana hukum,  tak paham arti keadilan.  Aku melihat, sarjana ekonomi,  tak paham arti kesejahteraan.  Aku melihat, sarjana fisika, kimia, tak paham arti keharmonisan alam.  Aku melihat, sarjana sosiologi,  tak paham arti kerukunan.  Aku melihat, sarjana politik.  tak paham arti etika politik.  Aku melihat, sarjana filsafat,  tak paham arti kebijaksanaan. Kau hadir, selalu tanpa esensi.  Memang, hidup sebatas permainan.  Hanya sedikit yang p aham arti keadilan, kesejahter...

Jalan-jalan ke Benteng Amsterdam, Bertemu Putri Duyung-nya Rumphius

Hari ini, beta ingin menceritakan tentang pengalaman beta jalan-jalan ke benteng Amsterdam, desa Hila, kecamatan Leihitu, Maluku Tengah. Di Maluku, benteng-benteng peninggalan Portugis, Belanda, dan Spanyol terlampau banyak.  Ada benteng Victoria di pusat kota Ambon, benteng Durstede di pulau Saparua, benteng Orange di Ternate, benteng Kastela, benteng Toloko, dan masih banyak lagi. Hadirnya beberapa benteng ini membuktikan bahwa Maluku pada masanya sempat menjadi pusat perniagaan rempah-rempah.  Dalam beberapa catatan sejarah, seperti yang di tulis Adnan Amal, bahwa setiap benteng memiliki fungsinya masing-masing. Misalnya, benteng Victoria atau benteng Kastela, biasanya digunakan sebagai kantor Gubernur. Ada juga benteng yang berfungsi sebagai lokasi pertahanan, seperti benteng Toloko.  Selain itu, ada juga benteng yang digunakan sebagai tempat penyimpanan rempah-rempah (loji), seperti benteng Amsterdam. Benteng Amsterdam ialah salah-satu benteng yan...

"MITOS PRIBUMI MALAS"

( Ilustrasi pribumi. Lukisan ) Istilah "mitos pribumi malas" ini saya temui dari buku hasil penelitian yang ditulis Tania Murray Li dan Pujo Semedi (2022). Buku itu berjudul "Hidup Bersama Raksasa". Maksudnya, masyarakat hidup bersama perusahaan perkebunan. Kembali ke soal istilah, "Apakah pribumi kita benar-benar berwatak pemalas? Ataukah ini hanya mitos saja agar kita merasa inferior dalam mengelola sumber daya yang ada secara mandiri dan harmonis?" Jika kita periksa lembar-lembar sejarah, kita akan temui banyak fakta tentang mustahilnya pribumi kita punya watak pemalas. Kalau pribumi kita pemalas, maka tidak mungkin waktu itu pribumi kita bisa membuat perahu lalu mengarungi samudra sampai ke Madagaskar. Mustahil juga pribumi kita waktu itu melakukan perdagangan internasional sampai di anak benua India, lalu dari situ bahan-bahan dagang kita (putik cengkih, lada, dan pala) tersebar ke seluruh Eropa.  Usaha pribumi kita melakukan perdagangan internasional...

Baileo sebagai Tempat Musyawarah ("Hablumminannas?)

Baileo (rumah adat), di berbagai negeri/desa punya bentuk/arsitektur yang cukup beragam. Ada Baileo patasiwa dan ada patalima. Ulasan patasiwa dan patalima punya kontroversi tersendiri (bisa baca di buku Bartels). Karena kontroversi, maka Beta tidak masuk ke pembahasan tsb. Beta mau lihat, sejauhmana makna bangunan Baileo ini dibalik kepala orang Maluku. Baileo identik dengan istilah "balai" (istilah ini masih di perdebatkan), adalah tempat musyawarah para tetuah. Dalam sejarah manusia (bisa baca buku Yuval Noah Harari), masyarakat mulai mengenal sistem musyawarah ini sejak manusia lepas dari sistem berburu-meramu-nomaden. Harari mengatakan, perpindahan dari sistem berpikir nomaden ke masyarakat "fiksi - kognitif" yang mengandalkan akal sebagai alat musyawarah, adalah loncatan peradaban yang sangat luar biasa sekali. Artinya, jika kita turunkan ulasan ini ke makna "Baileo" maka sebetulnya masyarakat kita zaman dulu punya sistem berpikir yang s...