"Bicara sejarah tanpa fakta akan menghasilkan fiksi". Begitulah kira-kira pernyataan guru besar sejarah, Universitas Negeri Yogyakarta, buya Syafii Maarif. Meskipun demikian, terkadang ada beberapa peneliti sejarah sering memasukkan mitos sebagai buktinya. Apakah hal ini merupakan tindakan yang sia-sia? Ialah persoalan lain yang perlu kita jawab nantinya.
Mungkin kita harus baca buku Bartels berjudul "Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku" terbit tahun 2017. Buku tsb terdiri dari dua jilid dengan jumlah halaman sebanyak 1019 halaman. Jika kita baca secara detail, maka kita akan menemukan satu topik yang terdengar "agak janggal" yakni tentang "Misteri Pattimura".
Beta tidak tahu kenapa Bartels menulis kata "Misteri" di ikuti dengan kata "Pattimura". Apakah hal ini berarti sejarah Pattimura masih simpang-siur? Wallahua'lam. Berangkat dari topik Bartels itu, maka beta coba mendialogkan tulisannya sebagai berikut ini.
Setelah Indonesia merdeka, tepat pada tahun 1949 [empat tahun setelah kemerdekaan], ada upaya pemerintah Indonesia cepat-cepat mencari pejuang anti-kolonial di berbagai daerah [tanpa terkecuali juga di Maluku]. Upaya tsb di lakukan untuk mempersatukan Indonesia dari berbagai daerah. Di Maluku, nama pahlawan nasional jatuh pada Thomas Matulessy. Belakangan, Thomas disebut sebagai Pattimura (?).
[Kenapa Thomas? - tanya beta]. Jawaban Bartels ialah karena dalam catatan sejarah, ada sebagian orang Ambon-Kristen yang pro-Belanda. Oleh sebab itu, Thomas di pilih untuk meng-Indonesia-kan Ambon-Kristen yang pro-Belanda. [Dari sini, secara logika, argumen Bartels dapat di terima].
[Akan tetapi, kenapa Bartels menulis kata "Misteri Pattimura" sebagai topiknya? Padahal, Bartels ialah seorang antropolog terkenal, namun ternyata masih ragu dengan sejarah Pattimura]. Keraguan Bartels mengacu pada tulisan seorang nasionalis Kristen-Ambon, Hitipeuw. Ternyata Hitipeuw sudah menghapus nama Thomas dari catatan sejarah pahlawan Maluku. Buku "propaganda" Hitipeuw ini terbit tahun 1974. Begitupun dengan buku Sapija terbit tahun 1957.
Bartels melanjutkan bahwa, Pattimura bukanlah nama melainkan gelar. Pattimura ini gelar yang diberikan kepada pemimpin pasukan. Salah-satu nama pemimpin pasukan ialah Anthony Rhebok. Namun, Rhebok ini pun sebenarnya tidak ada dalam catatan sejarah perjuangan Pattimura melawan Belanda.
Selain Rhebok, pemimpin pasukan lainnya bernama Gaga Bavanu. Dia ini kawan dekat Thomas Matulessy, bersama-sama memimpin pasukan. Mereka berdua di sebut-sebut sebagai Pattimura.
Bartels juga mengatakan bahwa nama-nama pemimpin pasukan lainnya, yang diberi gelar Pattimura, yakni Said Perintah dari Siri-Sori Islam, Philip Latumahina dari Paperu, Paulus Tiahahu, dan lain-lain.
Berdasarkan ulasan Bartels itu, mungkin Pattimura ini gelar yang diberikan kepada satu/dua individu yang memimpin beberapa peleton pasukan. Dan mungkin inilah strategi perang "pasukan Pattimura" mengelabuhi penjajah di pulau Saparua.
Jadi, Pattimura ini terdiri dari banyak orang. Mereka ialah beberapa pemimpin pasukan, termasuk juga Said Perintah dari Siri-Sori Islam. Meskipun demikian, ulasan ini masih tentatif namun "sedikit masuk akal".
UNTUK SEMUA DI KETAHUI
Karena sejarah Pattimura masih simpang-siur, maka beberapa argumen putra daerah belakangan muncul untuk mengklarifikasi sejarah Pattimura ini. Sebagaimana Bartels mengatakan, masih "Misteri Pattimura". Semangat klarifikasi itu dapat kita petik dua hikmah.
Pertama, hindari justifikasi sejarah. Kenapa hal ini penting? Alasannya ialah demi menjaga martabat diri sendiri. Hal ini bukan berarti menutup sejarah, namun perlu di ingat bahwa sejarah tanpa fakta akan menghasilkan fiksi.
Selain itu, justifikasi sejarah pun akan mengerdilkan diri sendiri. Kenapa seperti itu? Mungkin beta ingin bertanya "sedikit", "Kalau seandainya kita berhasil menjustifikasi 'seseorang' sebagai Pattimura, lantas apa keuntungan bagi kita dalam jangka panjang?". Hal ini yang harus di renungkan bersama.
Kedua, kembali pada semangat awal menjadikan Pattimura sebagai pahlawan nasional bukan pahlawan daerah. Belakangan, beta perhatikan, semangat menjadikan "seseorang/beberapa orang" sebagai Pattimura ini masih semangat "politik identitas". Kalau bisa di katakan, visinya terlalu "kecil".
Oleh sebab itu, kita perlu kembali ke asal-muasal, kenapa pemerintah nasional ingin mencari dan menemukan salah-satu tokoh daerah yang layak di jadikan pahlawan nasional. Semangat awal itu tidak lain ialah untuk mempersatukan semua daerah menjadi Indonesia.
Olehnya itu, mencari dan menemukan tokoh daerah ini bukan dalam rangka menjadikannya sebagai "Pahlawan Daerah" saja, namun menjadikannya sebagai "Pahlawan Nasional". Yang tujuannya ialah mengikat semua kalangan di daerah (Maluku) demi persatuan Indonesia. [Apakah kita bisa melakukannya?].
Itulah sedikit catatan tentang penulisan kembali sejarah Pattimura. Kalau mau menuliskannya kembali. Sekian. Wallahua'lam.
Qashai Pelupessy
Maluku - Ambon
15 Mei 2019
Komentar
Posting Komentar