Langsung ke konten utama

Lahakelalo, Cuci Air, dan Kepribadian Masyarakat Siri-Sori Islam


Di mana ada mata air maka di situ ada peradaban. Mesir misalnya bisa menjadi kota peradaban karena dekat dengan sungai Nil. Kota peradaban kuno Mesopotamia juga berada di antara dua sungai yakni sungai Tigris dan Eufrat. 

Di Indonesia, kerajaan Sriwijaya dekat sungai Musi. Borobudur dekat dengan sungai Elo dan Progo. Kesultanan Ternate juga dekat dengan sungai Ake Santosa. Dan masih banyak lagi kota-kota peradaban lainnya yang dekat dengan aliran air (sungai). 

Tanpa terkecuali juga di kerajaan Siri-Sori Islam dekat dengan air, yakni Lahakelalo. Informasi yang penulis terima bahwa Lahakelalo di sebut sebagai kepala (hulu)-nya sungai. Sedangkan, ekor (hilir)-nya Lahakelalo ada di tepi pantai Siri-Sori Islam. 

Terkait air sebagai sumber peradaban, maka di Siri-Sori Islam ada prosesi ritual Cuci Air. Ritual ini di lakukan oleh para tetuah adat. Masyarakat memanggil para tetuah itu dengan sebutan Upu Lima (Lima Orang Tetuah). 

Kelima orang tetuah ini terdiri dari lima marga yang sudah lama menempati Siri-Sori Islam. Mereka ialah Sopamena, Sopaheluwakan, Wattiheluw, Papulwa, dan Patty. Kelima orang ini mengawal Sallatalohy (Tuan Tanah Siri-Sori Islam) dalam ritual Cuci Air. 

Pertanyaan, kenapa ritualnya di namakan Cuci Air? Apakah hal ini berarti Siri-Sori Islam kononnya sebagai negeri peradaban? Salah-satu ciri dari kota peradaban ialah dekat/bersentuhan dengan air. Terkait pertanyaan itu, beta tidak dapat menjawab atau memberi kesimpulan terlalu dini. Biarkanlah waktu yang akan menjawabnya. 

Sifat air ialah menyerap dan membersihkan. Menyerap pengetahuan yang dapat di terima akal sehat. Dan membersihkan pengetahuan yang dapat merusak tatanan adat istiadat dan adab masyarakat. 

Sifat air itu sangat terlihat jelas pada kepribadian masyarakat Siri-Sori Islam. Dalam hal keyakinan agama misalnya, orang Siri-Sori Islam sangat tegas memegang keyakinan tersebut. Tapi, di satu sisi, orang Siri-Sori Islam juga sangat terbuka "mencermati" pengetahuan religius yang berbeda dari keyakinannya. 

Terkait sifat air ini, maka jangan heran jika masyarakat Siri-Sori Islam bisa hidup damai berdampingan dengan orang nasrani. Letak Siri-Sori Islam dihimpit oleh desa-desa nasrani. Di pulau Saparua,hanya ada dua desa yang muslim yakni Siri-Sori Islam dan Kulur. 

Dalam hal "mencermati" pengetahuan religius yang berbeda itu juga sangat identik dengan sifat air. Yakni menyerap (dalam konteks menyaring) dan membersihkan jika pengetahuan religius yang di terima bersifat destruktif. 

Mengacu pada ulasan tsb, maka mungkin dapat di katakan bahwa kepribadian orang Siri-Sori Islam ialah sangat inklusif. Kepribadian ini sangat lentur dan fleksibel. Salah-satu ciri kepribadian masyarakat peradaban (modern) ialah inklusif ini.

Jadi, ada kaitan antara kepribadian masyarakat dengan Lahakelalo dan Ritual Cuci Air. Sekian ulasan singkatnya, dan mungkin dapat di jadikan bahan renungan.

Qashai Pelupessy
Maluku - Ambon
Selasa, 19 Mei 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Islam Masuk ke Siri-Sori Islam

Sampai detik ini, sejarah masuknya Islam ke pulau Saparua, tepatnya di negeri Siri-Sori Islam masih menjadi misteri. Ada pendapat mengatakan bahwa masuknya Islam ke Siri-Sori Islam tepat pada tahun 1212 masehi. Apakah pendapat ini benar demikian? Wallahua’lam. Jika kita mengatakan Islam masuk ke Saparua, tepatnya di Siri-Sori Islam pada abad 11/12 masehi, maka bisa dikatakan bahwa pendapat itu “hampir” benar adanya. Memang, pada abad 11/12 masehi ini Islam masuk ke Nusantara dibawa saudagar muslim asal Persia. Buktinya ialah pengaruh bahasa Persia dikalangan kerajaan-kerajaan Nusantara tentang kebiasaan duduk “bersila”. Kata “bersila” ini diserap dari kitab ‘Ajaib Al-Hind dikarang oleh muslim Persia bernama Buzurg bin Shariyar Al-Ramhurmuzi abad 11 masehi. Sekarang, mari kita tengok budaya kerajaan kita (di Siri-Sori Islam), apakah ada kebiasaan duduk “bersila” di hadapan raja? Wallahua’lam. Kalau kita lihat budaya kita, mustahil ada budaya duduk bersila dihadapan raja. Artinya, hal in...

Kata "Tabea" sebagai Wujud Perilaku Sopan-santun Orang Maluku - Malut

Dialah Dieter Bartels, antropolog asal Jerman yang sudah puluhan tahun melakukan studi di Maluku, mengatakan bahwa, meskipun orang Maluku itu punya watak keras dan terkadang diperankan sebagai "preman" di kota-kota besar, namun banyak juga orang Maluku yang punya perangai cerdas, cerdik, dan berpengetahuan luas. Artinya, stigma keras kepala alih-alih kurang beradab yang melekat pada orang Maluku ialah suatu kekeliruan yang cukup besar.  Orang Maluku yang beradab ini dapat kita lihat dalam praktik kebudayaan, ada terselip nilai-nilai etis yang sangat tinggi. Salah-satu budaya yang dapat kita perlihatkan di sini ialah kata "tabea", biasa dipakai dalam komunikasi sehari-hari atau dalam upacara adat tertentu. Hampir setiap daerah yang ada di Indonesia bagian timur, kata "tabea" ini tak asing lagi di dengar khayalak umum.  Di Bone, Sulawesi Selatan, misalnya, ada kata "tabea" (dengan penghilangan huruf a menjadi tabe). Beta pernah dengar ...

Kata "Tabea" sebagai Bentuk Motivasi Orang Maluku - Malut

Di artikel sebelumnya, beta telah ulas mengenai kata "tabea" sebagai wujud perilaku sopan-santun. Sekarang ini, beta akan bahas perihal kata tabea sebagai "daya tonjok psikologis" atau bisa kita maknai sebagai motivasi diri. Kata "tabea" biasa dipraktikkan ketika seorang pemuda berjalan di depan orang tua, maka ia harus nunduk sambil membungkukkan badan, terus ia katakan "tabea - permisi".  Adakalanya juga kata "tabea" ini muncul dalam praktik tarian-tarian adat di Maluku, seperti tarian soya-soya (di Maluku Utara), dan sesekali kata itu juga diteriakkan para penari dalam tarian cakelele. Selain itu, kata tabea juga muncul dalam tradisi "arumbai manggurebe". Para kapitan atau malesi dalam beberapa kesempatan upacara adat, setelah mereka menutup sambutan akan dibarengi dengan teriakan, "tabea!" (dengan suara lantang), sontak masyarakat yang mendengar juga meneriakkan kata yang sama, "tabea!".  ...

PSIKOLOGI KRITIS (Sedikit Catatan)

"Jangan-jangan, psikologi yang saya pahami adalah buah dari kerja-kerja relasi kuasa di luar sana, yang saya tidak mengerti, tapi diam-diam masuk dan kita meyakininya sebagai kebenaran. Parahnya, kita mempraktikkannya tanpa kesadaran kritis" (Jumat, 11 Oktober 2024).  Asumsi itu muncul setelah saya baru selesai mengikuti kegiatan Konferensi Nasional yang diadakan oleh Fakultas Psikologi UGM. Kegiatan ini mengangkat tema "Menyala Indonesiaku: Psikologi sebagai Pilar Kesehatan Mental Generasi Emas". Dalam kegiatan itu, ada satu kajian yang menarik perhatian saya yakni, psikologi diskursus atau psikologi kritis. Sebuah kajian yang sedang saya minati belakangan ini. Berikut ini adalah sedikit dari catatan saya mengenai kegiatan itu yang kemudian saya gabungkan/menyadur dari artikel Prof. Teguh Wijaya Mulya.  .................. Teori-teori psikologi yang sudah mapan belum tentu dapat digunakan secara langsung untuk membaca fenomena psikologis di Indonesia. Perlu melihat ...