Langsung ke konten utama

Kecanduan Cinta dalam Partisipasi Politik Massa


Secara pribadi, saya sangat senang melihat orang-orang yang sedang jatuh cinta. Bukankah sangat luar biasa jika cinta romantis ini berlangsung selamanya? 

Tetapi, bagaimana jika cinta romantis menjadi berlebihan pada sebagian orang? Bisakah cinta ini menjadi candu? 

Pembahasan ini tidak terkait dengan fenonema jatuh cinta antar-sesama manusia yang berbeda jenis kelamin, melainkan dalam diskursus partisipasi politik massa yang dipengaruhi oleh gejala love addiction (kecanduan cinta). 

Bagaimana partisipasi politik massa yang terdorong oleh kecanduan cinta? Pertanyaan inilah yang akan kami bahas dalam kesempatan ini.

Kecanduan Cinta


European Journal of Psychiatry edisi Januari-Maret 2019, peneliti Sanches dan John membahas gejala kecanduan cinta ini.

Para peneliti itu mengartikan bahwa kecanduan cinta ialah sebagai pola perilaku maladaptif yang secara berlebihan terhadap satu individu sehingga mengakibatkan kurangnya kontrol diri serta konsekuensi negatif lainnya. 

Jika kecanduan cinta di definisikan seperti itu adanya, maka saya bisa mengatakan bahwa gejala kecanduan cinta bisa di istilahkan sebagai cinta patologis. Artinya, pembahasan cinta tidak selamanya positif.


Kecanduan cinta termasuk dalam spektrum obsesif-kompulsif. Karena sifatnya yang kompulsif, maka wajar apabila individu yang sedang mengalami kecanduan cinta akan merasa cemas, takut, atau bahkan menjadi khawatir jika pasangannya itu hilang dari kehidupannya. 

Contohnya yaitu apabila ada pihak lain yang berusaha untuk merusak hubungan pecandu cinta dengan pasangannya maka akan terjadi kecemburuan dan bahkan berujung pada pertengkaran sosial. 

Hal itu karena di dorong oleh perasaan khawatir dan takut akan kehilangan pasangannya.


Jika pembahasan di atas kita turunkan ke dalam gejala partispasi politik massa, maka saya melihat ada titik kewajaran yang terjadi belakangan ini. Yakni kondisi masyarakat terpecah menjadi [beberapa] kubu. 

Saya melihat bahwa gejala kecanduan cinta tidak bisa dipisahkan dari gejala sosio-politik yang terjadi belakangan ini di bumi nusantara. 

Artinya, akibat dari sifat kompulsif, maka calon yang di usung sebagai “pasangan cinta" akan di lindungi. Bahkan sampai titik yang paling ekstrim ialah menyebarkan berita bohong (hoax) demi keberhasilan calonnya.

Qashai Pelupessy
Maluku - Ambon 
Selasa, 12 Mei 2020


[Artikel saya itu sudah pernah di terbitkan oleh Koran Radar Jogja - Jawa Post, 05 Maret 2019. Artikelnya sudah saya ubah. Lihat https://radarjogja.jawapos.com/2019/03/05/gejala-love-addiction-partisipasi-politik-massa-jelang-pemilu/]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Islam Masuk ke Siri-Sori Islam

Sampai detik ini, sejarah masuknya Islam ke pulau Saparua, tepatnya di negeri Siri-Sori Islam masih menjadi misteri. Ada pendapat mengatakan bahwa masuknya Islam ke Siri-Sori Islam tepat pada tahun 1212 masehi. Apakah pendapat ini benar demikian? Wallahua’lam. Jika kita mengatakan Islam masuk ke Saparua, tepatnya di Siri-Sori Islam pada abad 11/12 masehi, maka bisa dikatakan bahwa pendapat itu “hampir” benar adanya. Memang, pada abad 11/12 masehi ini Islam masuk ke Nusantara dibawa saudagar muslim asal Persia. Buktinya ialah pengaruh bahasa Persia dikalangan kerajaan-kerajaan Nusantara tentang kebiasaan duduk “bersila”. Kata “bersila” ini diserap dari kitab ‘Ajaib Al-Hind dikarang oleh muslim Persia bernama Buzurg bin Shariyar Al-Ramhurmuzi abad 11 masehi. Sekarang, mari kita tengok budaya kerajaan kita (di Siri-Sori Islam), apakah ada kebiasaan duduk “bersila” di hadapan raja? Wallahua’lam. Kalau kita lihat budaya kita, mustahil ada budaya duduk bersila dihadapan raja. Artinya, hal in...

Kata "Tabea" sebagai Wujud Perilaku Sopan-santun Orang Maluku - Malut

Dialah Dieter Bartels, antropolog asal Jerman yang sudah puluhan tahun melakukan studi di Maluku, mengatakan bahwa, meskipun orang Maluku itu punya watak keras dan terkadang diperankan sebagai "preman" di kota-kota besar, namun banyak juga orang Maluku yang punya perangai cerdas, cerdik, dan berpengetahuan luas. Artinya, stigma keras kepala alih-alih kurang beradab yang melekat pada orang Maluku ialah suatu kekeliruan yang cukup besar.  Orang Maluku yang beradab ini dapat kita lihat dalam praktik kebudayaan, ada terselip nilai-nilai etis yang sangat tinggi. Salah-satu budaya yang dapat kita perlihatkan di sini ialah kata "tabea", biasa dipakai dalam komunikasi sehari-hari atau dalam upacara adat tertentu. Hampir setiap daerah yang ada di Indonesia bagian timur, kata "tabea" ini tak asing lagi di dengar khayalak umum.  Di Bone, Sulawesi Selatan, misalnya, ada kata "tabea" (dengan penghilangan huruf a menjadi tabe). Beta pernah dengar ...

Kata "Tabea" sebagai Bentuk Motivasi Orang Maluku - Malut

Di artikel sebelumnya, beta telah ulas mengenai kata "tabea" sebagai wujud perilaku sopan-santun. Sekarang ini, beta akan bahas perihal kata tabea sebagai "daya tonjok psikologis" atau bisa kita maknai sebagai motivasi diri. Kata "tabea" biasa dipraktikkan ketika seorang pemuda berjalan di depan orang tua, maka ia harus nunduk sambil membungkukkan badan, terus ia katakan "tabea - permisi".  Adakalanya juga kata "tabea" ini muncul dalam praktik tarian-tarian adat di Maluku, seperti tarian soya-soya (di Maluku Utara), dan sesekali kata itu juga diteriakkan para penari dalam tarian cakelele. Selain itu, kata tabea juga muncul dalam tradisi "arumbai manggurebe". Para kapitan atau malesi dalam beberapa kesempatan upacara adat, setelah mereka menutup sambutan akan dibarengi dengan teriakan, "tabea!" (dengan suara lantang), sontak masyarakat yang mendengar juga meneriakkan kata yang sama, "tabea!".  ...

PSIKOLOGI KRITIS (Sedikit Catatan)

"Jangan-jangan, psikologi yang saya pahami adalah buah dari kerja-kerja relasi kuasa di luar sana, yang saya tidak mengerti, tapi diam-diam masuk dan kita meyakininya sebagai kebenaran. Parahnya, kita mempraktikkannya tanpa kesadaran kritis" (Jumat, 11 Oktober 2024).  Asumsi itu muncul setelah saya baru selesai mengikuti kegiatan Konferensi Nasional yang diadakan oleh Fakultas Psikologi UGM. Kegiatan ini mengangkat tema "Menyala Indonesiaku: Psikologi sebagai Pilar Kesehatan Mental Generasi Emas". Dalam kegiatan itu, ada satu kajian yang menarik perhatian saya yakni, psikologi diskursus atau psikologi kritis. Sebuah kajian yang sedang saya minati belakangan ini. Berikut ini adalah sedikit dari catatan saya mengenai kegiatan itu yang kemudian saya gabungkan/menyadur dari artikel Prof. Teguh Wijaya Mulya.  .................. Teori-teori psikologi yang sudah mapan belum tentu dapat digunakan secara langsung untuk membaca fenomena psikologis di Indonesia. Perlu melihat ...