Langsung ke konten utama

Sa Inoro'o Sa sebagai Perilaku Politik Orang Siri-Sori Islam (2)


Sebagaimana yang beta katakan di artikel kemarin bahwa beta akan jelaskan frasa "Sa Inoro'o Sa" sebagai perilaku politik orang Siri-Sori Islam. Apa itu Sa inoro'o Sa? Dan apakah ada kaitan dengan perilaku politik? Adalah pertanyaan menarik yang harus di jawab segera.

Dalam kajian psikologi, ada proses untuk mengetahui perilaku seseorang. Pertama, kita harus melakukan observasi secara mendalam untuk meraba aspek-aspek psikologis. Aspek-aspek ini sebetulnya sudah ada dalam masyarakat.

Masyarakat punya tata nilai tersendiri. Seperti nilai-nilai kebaikan, kejujuran, tolong menolong, dll. Semua nilai-nilai itu harus di serap dan di rumuskan menjadi perilaku-perilaku tertentu. Tidak semua nilai dalam masyarakat memiliki tendensi ke arah perilaku yang ingin di temukan.

Misalnya, nilai-nilai kejujuran, punya tendensi ke arah perilaku yang cukup beragam. Nilai-nilai kejujuran bisa bermuara pada perilaku prososial, dan adakalanya juga ke arah perilaku memaafkan. Begitupun dengan perilaku politik, bermula dari tata nilai tertentu yang ada di dalam masyarakat.

Di samping observasi, kedua kita juga harus melakukan dialog reflektif. Apakah perilaku yang sudah terumuskan benar-benar menggambarkan nilai-nilai dalam masyarakat ataukah tidak? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku itu muncul? Dan pertanyaan lainnya. Adalah sederet pertanyaan yang harus di jawab segera.

Semua proses di atas itu ibarat kita sedang menyaring bubuk terigu. Tidak semua bubuk terigu berkualitas. Olehnya itu, kita harus melakukan penyaringan menggunakan alat saring. Sehingga kita menemukan bubuk terigu yang berkualitas. Alat penyaringnya ialah observasi dan dialog reflektif. Seperti inilah proses kita menemukan perilaku tertentu dari individu, yang tentu bersumber dari sebaran tata nilai dalam masyarakat.

Sebelum mengetahui apakah Sa inoro'o Sa ini bagian dari perilaku politik, maka terlebih dahulu kita harus pahami situasi masyarakat Siri-Sori Islam. Siri-Sori Islam merupakan salah-satu desa berpenduduk muslim di tanah Saparua, Maluku Tengah.

Di Saparua, hanya ada dua desa yang berpenduduk muslim, yakni Siri-Sori Islam dan Kulur. Letak desa Siri-Sori Islam tepat berada di ujung tenggara pulau Saparua. Jumlah penduduk berkisar dari 1.900 sampai 2.000 jiwa.

Posisi desa berada di pesisir pantai dan di bawah bukit Elhau. Konon, bukit ini dulunya sebagai kampung tua. Masyarakat setempat meyakini bahwa bukit Elhau sudah ditempati para leluhur jutaan tahun lalu. Buktinya, di atas bukit itu ada kuburan tua tanpa nisan.

Selain kuburan tua, di bukit tsb juga ada rumah adat Baileo. Di dalam Baileo ada batu dolmen yang dijadikan sebagai tempat musyawarah para tetua adat. Biasanya, selama prosesi ritual adat menjelang pelantikan raja, para tetua akan berkumpul di rumah Baileo tsb.

Dari ulasan itu terlihat bahwa situasi masyarakat sangat kental dengan nuansa mistik. Dalam hal ini, mistik di artikan sebagai keyakinan masyarakat pada keberadaan roh para leluhur. Roh punya kekuatan menjaga keseimbangan alam semesta. Jika kita berlaku baik, maka dampak dari alam juga baik.

Keyakinan mistik ini berbeda dengan keyakinan religius. Di samping masyarakat meyakini adanya roh, mereka juga punya keyakinan religius yang sangat kuat. Religius di artikan sebagai keyakinan seseorang pada sumber kekuatan roh yakni Allah SWT.

Jadi, warna masyarakat Siri-Sori Islam ialah mistik dan religius. Selain mistik dan religius, masyarakat Siri-Sori Islam merupakan satu kumpulan keluarga besar. Hal ini di sebabkan kawin silang yang berlangsung sejak lama. Jadi, secara sosiologis, hubungan interpersonalnya sangat kuat sekali.

Berdasarkan ulasan tersebut, maka di temukan tiga ciri utama dari masyarakat Siri-Sori Islam, yakni mistik, religius, dan hubungan interpersonal. Ketiga ciri ini mungkin bisa di anggap sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya nilai-nilai "Sa Inoro'o Sa".

Untuk selanjutnya, dari ketiga faktor tsb akan beta saring dan hubungkan dengan perilaku politik orang Siri-Sori Islam. Apakah betul "Sa Inoro'o Sa" ini merupakan perilaku politik orang Siri-Sori Islam? Nanti beta jawab di artikel berikutnya.

Qashai Pelupessy
Maluku - Ambon
Minggu, 24 Mei 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Islam Masuk ke Siri-Sori Islam

Sampai detik ini, sejarah masuknya Islam ke pulau Saparua, tepatnya di negeri Siri-Sori Islam masih menjadi misteri. Ada pendapat mengatakan bahwa masuknya Islam ke Siri-Sori Islam tepat pada tahun 1212 masehi. Apakah pendapat ini benar demikian? Wallahua’lam. Jika kita mengatakan Islam masuk ke Saparua, tepatnya di Siri-Sori Islam pada abad 11/12 masehi, maka bisa dikatakan bahwa pendapat itu “hampir” benar adanya. Memang, pada abad 11/12 masehi ini Islam masuk ke Nusantara dibawa saudagar muslim asal Persia. Buktinya ialah pengaruh bahasa Persia dikalangan kerajaan-kerajaan Nusantara tentang kebiasaan duduk “bersila”. Kata “bersila” ini diserap dari kitab ‘Ajaib Al-Hind dikarang oleh muslim Persia bernama Buzurg bin Shariyar Al-Ramhurmuzi abad 11 masehi. Sekarang, mari kita tengok budaya kerajaan kita (di Siri-Sori Islam), apakah ada kebiasaan duduk “bersila” di hadapan raja? Wallahua’lam. Kalau kita lihat budaya kita, mustahil ada budaya duduk bersila dihadapan raja. Artinya, hal in...

Kata "Tabea" sebagai Wujud Perilaku Sopan-santun Orang Maluku - Malut

Dialah Dieter Bartels, antropolog asal Jerman yang sudah puluhan tahun melakukan studi di Maluku, mengatakan bahwa, meskipun orang Maluku itu punya watak keras dan terkadang diperankan sebagai "preman" di kota-kota besar, namun banyak juga orang Maluku yang punya perangai cerdas, cerdik, dan berpengetahuan luas. Artinya, stigma keras kepala alih-alih kurang beradab yang melekat pada orang Maluku ialah suatu kekeliruan yang cukup besar.  Orang Maluku yang beradab ini dapat kita lihat dalam praktik kebudayaan, ada terselip nilai-nilai etis yang sangat tinggi. Salah-satu budaya yang dapat kita perlihatkan di sini ialah kata "tabea", biasa dipakai dalam komunikasi sehari-hari atau dalam upacara adat tertentu. Hampir setiap daerah yang ada di Indonesia bagian timur, kata "tabea" ini tak asing lagi di dengar khayalak umum.  Di Bone, Sulawesi Selatan, misalnya, ada kata "tabea" (dengan penghilangan huruf a menjadi tabe). Beta pernah dengar ...

Kata "Tabea" sebagai Bentuk Motivasi Orang Maluku - Malut

Di artikel sebelumnya, beta telah ulas mengenai kata "tabea" sebagai wujud perilaku sopan-santun. Sekarang ini, beta akan bahas perihal kata tabea sebagai "daya tonjok psikologis" atau bisa kita maknai sebagai motivasi diri. Kata "tabea" biasa dipraktikkan ketika seorang pemuda berjalan di depan orang tua, maka ia harus nunduk sambil membungkukkan badan, terus ia katakan "tabea - permisi".  Adakalanya juga kata "tabea" ini muncul dalam praktik tarian-tarian adat di Maluku, seperti tarian soya-soya (di Maluku Utara), dan sesekali kata itu juga diteriakkan para penari dalam tarian cakelele. Selain itu, kata tabea juga muncul dalam tradisi "arumbai manggurebe". Para kapitan atau malesi dalam beberapa kesempatan upacara adat, setelah mereka menutup sambutan akan dibarengi dengan teriakan, "tabea!" (dengan suara lantang), sontak masyarakat yang mendengar juga meneriakkan kata yang sama, "tabea!".  ...

PSIKOLOGI KRITIS (Sedikit Catatan)

"Jangan-jangan, psikologi yang saya pahami adalah buah dari kerja-kerja relasi kuasa di luar sana, yang saya tidak mengerti, tapi diam-diam masuk dan kita meyakininya sebagai kebenaran. Parahnya, kita mempraktikkannya tanpa kesadaran kritis" (Jumat, 11 Oktober 2024).  Asumsi itu muncul setelah saya baru selesai mengikuti kegiatan Konferensi Nasional yang diadakan oleh Fakultas Psikologi UGM. Kegiatan ini mengangkat tema "Menyala Indonesiaku: Psikologi sebagai Pilar Kesehatan Mental Generasi Emas". Dalam kegiatan itu, ada satu kajian yang menarik perhatian saya yakni, psikologi diskursus atau psikologi kritis. Sebuah kajian yang sedang saya minati belakangan ini. Berikut ini adalah sedikit dari catatan saya mengenai kegiatan itu yang kemudian saya gabungkan/menyadur dari artikel Prof. Teguh Wijaya Mulya.  .................. Teori-teori psikologi yang sudah mapan belum tentu dapat digunakan secara langsung untuk membaca fenomena psikologis di Indonesia. Perlu melihat ...