Langsung ke konten utama

"Sa Inoro'o Sa" sebagai Perilaku Politik Orang Siri-Sori Islam (3)


Di artikel sebelumnya telah beta kemukakan bahwa ciri khas masyarakat Siri-Sori Islam ialah mistis, religius, dan punya hubungan interpersonal yang kuat. Ketiga ciri khusus ini merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku politik "Sa Inoro'o Sa".

Melanjutkan yang telah di bahas sebelumnya, maka di artikel yang ketiga ini beta ingin memaparkan apa itu perilaku politik "Sa Inoro'o Sa". Dalam pandangan orang Siri-Sori Islam, frasa "Sa Inoro'o Sa" ini identik dengan sikap tolong-menolong. 

Mungkin bisa dikatakan demikian, yakni sikap tolong-menolong. Namun, frasa "Sa Inoro'o Sa" ini tak hanya sebatas tolong-menolong saja. Sebab, sikap tolong-menolong ini merupakan dampak dari "Sa Inoro'o Sa".

Olehnya itu, apa sebetulnya "Sa Inoro'o Sa"? Frasa ini punya makna sangat dalam. Dampak psikologis dari "Sa Inoro'o Sa" ini pun sangat beragam. Bisa berdampak pada perilaku memaafkan, empati, dan simpati. 

Dalam konteks psikologi sosial, frasa "Sa Inoro'o Sa" ini juga bisa berdampak pada terbentuknya kohesi sosial dalam masyarakat. Kohesi sosial tak hanya sebatas pada orang Siri-Sori Islam saja, melainkan juga pada masyarakat di luar Siri-Sori Islam. Terkait hal ini akan beta bahas di artikel berikutnya. 

Tujuan yang ingin di capai "Sa Inoro'o Sa" ini sangat jelas. Yakni, terciptanya nuansa yang harmonis antar-setiap individu dalam masyarakat. Di sinilah letak posisi frasa ini dengan perilaku politik yang akan kita bahas di lain kesempatan. 

Berdasarkan ulasan tersebut, maka bisa dikatakan bahwa frasa "Sa Inoro'o Sa" ini punya makna sangat dalam. Sulit di definisikan secara lebih konkrit dan operasional. Meskipun, suatu saat mungkin bisa di lakukan definisi operasionalnya demi tujuan ilmiah. 

Setiap kelompok masyarakat pasti memiliki frasa-frasa tertentu yang punya makna sangat dalam, sekaligus sulit di definisikan secara lebih konkrit. Hal ini sebagaimana yang juga ada dalam masyarakat Bima, Nusa Tenggara Barat.

Di Bima, ada frasa "Kalembo Ade". Berdasarkan hasil wawancara yang pernah beta lakukan dengan orang Bima, mereka katakan bahwa frasa tersebut pun sulit di definisikan. Yang bisa terbaca dari frasa "Kalembo Ade" ini pun hanya sebatas dampaknya saja. 

Hal itu persis sama dengan yang saat ini sedang kami telusuri yakni "Sa Inoro'o Sa", pun yang terbaca hanya sebatas dampaknya saja.  Jadi, ulasan berikutnya, beta akan bicarakan terkait bagaimana "Sa Inoro'o Sa" ini berdampak pada perilaku politik, dengan mengacu pada faktor-faktor yang telah mempengaruhinya. 

Qashai Pelupessy
Ambon - Maluku
Kamis, 28 Mei 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Islam Masuk ke Siri-Sori Islam

Sampai detik ini, sejarah masuknya Islam ke pulau Saparua, tepatnya di negeri Siri-Sori Islam masih menjadi misteri. Ada pendapat mengatakan bahwa masuknya Islam ke Siri-Sori Islam tepat pada tahun 1212 masehi. Apakah pendapat ini benar demikian? Wallahua’lam. Jika kita mengatakan Islam masuk ke Saparua, tepatnya di Siri-Sori Islam pada abad 11/12 masehi, maka bisa dikatakan bahwa pendapat itu “hampir” benar adanya. Memang, pada abad 11/12 masehi ini Islam masuk ke Nusantara dibawa saudagar muslim asal Persia. Buktinya ialah pengaruh bahasa Persia dikalangan kerajaan-kerajaan Nusantara tentang kebiasaan duduk “bersila”. Kata “bersila” ini diserap dari kitab ‘Ajaib Al-Hind dikarang oleh muslim Persia bernama Buzurg bin Shariyar Al-Ramhurmuzi abad 11 masehi. Sekarang, mari kita tengok budaya kerajaan kita (di Siri-Sori Islam), apakah ada kebiasaan duduk “bersila” di hadapan raja? Wallahua’lam. Kalau kita lihat budaya kita, mustahil ada budaya duduk bersila dihadapan raja. Artinya, hal in...

Kata "Tabea" sebagai Wujud Perilaku Sopan-santun Orang Maluku - Malut

Dialah Dieter Bartels, antropolog asal Jerman yang sudah puluhan tahun melakukan studi di Maluku, mengatakan bahwa, meskipun orang Maluku itu punya watak keras dan terkadang diperankan sebagai "preman" di kota-kota besar, namun banyak juga orang Maluku yang punya perangai cerdas, cerdik, dan berpengetahuan luas. Artinya, stigma keras kepala alih-alih kurang beradab yang melekat pada orang Maluku ialah suatu kekeliruan yang cukup besar.  Orang Maluku yang beradab ini dapat kita lihat dalam praktik kebudayaan, ada terselip nilai-nilai etis yang sangat tinggi. Salah-satu budaya yang dapat kita perlihatkan di sini ialah kata "tabea", biasa dipakai dalam komunikasi sehari-hari atau dalam upacara adat tertentu. Hampir setiap daerah yang ada di Indonesia bagian timur, kata "tabea" ini tak asing lagi di dengar khayalak umum.  Di Bone, Sulawesi Selatan, misalnya, ada kata "tabea" (dengan penghilangan huruf a menjadi tabe). Beta pernah dengar ...

Kata "Tabea" sebagai Bentuk Motivasi Orang Maluku - Malut

Di artikel sebelumnya, beta telah ulas mengenai kata "tabea" sebagai wujud perilaku sopan-santun. Sekarang ini, beta akan bahas perihal kata tabea sebagai "daya tonjok psikologis" atau bisa kita maknai sebagai motivasi diri. Kata "tabea" biasa dipraktikkan ketika seorang pemuda berjalan di depan orang tua, maka ia harus nunduk sambil membungkukkan badan, terus ia katakan "tabea - permisi".  Adakalanya juga kata "tabea" ini muncul dalam praktik tarian-tarian adat di Maluku, seperti tarian soya-soya (di Maluku Utara), dan sesekali kata itu juga diteriakkan para penari dalam tarian cakelele. Selain itu, kata tabea juga muncul dalam tradisi "arumbai manggurebe". Para kapitan atau malesi dalam beberapa kesempatan upacara adat, setelah mereka menutup sambutan akan dibarengi dengan teriakan, "tabea!" (dengan suara lantang), sontak masyarakat yang mendengar juga meneriakkan kata yang sama, "tabea!".  ...

PSIKOLOGI KRITIS (Sedikit Catatan)

"Jangan-jangan, psikologi yang saya pahami adalah buah dari kerja-kerja relasi kuasa di luar sana, yang saya tidak mengerti, tapi diam-diam masuk dan kita meyakininya sebagai kebenaran. Parahnya, kita mempraktikkannya tanpa kesadaran kritis" (Jumat, 11 Oktober 2024).  Asumsi itu muncul setelah saya baru selesai mengikuti kegiatan Konferensi Nasional yang diadakan oleh Fakultas Psikologi UGM. Kegiatan ini mengangkat tema "Menyala Indonesiaku: Psikologi sebagai Pilar Kesehatan Mental Generasi Emas". Dalam kegiatan itu, ada satu kajian yang menarik perhatian saya yakni, psikologi diskursus atau psikologi kritis. Sebuah kajian yang sedang saya minati belakangan ini. Berikut ini adalah sedikit dari catatan saya mengenai kegiatan itu yang kemudian saya gabungkan/menyadur dari artikel Prof. Teguh Wijaya Mulya.  .................. Teori-teori psikologi yang sudah mapan belum tentu dapat digunakan secara langsung untuk membaca fenomena psikologis di Indonesia. Perlu melihat ...