Hebatnya orang tua-tua kita zaman dulu ialah pada nalar kreativitasnya. Banyak produk-produk positif yang tercipta dari buah pikiran mereka.
Mereka "mencipta" budaya dan sekaligus meleburkan diri ke dalamnya. Mereka tegas dalam pikiran dan konsisten dalam tindakan.
Jauh sebelum Bloom membicarakan teori Taksonomi-nya, orang tua-tua kita sudah mempraktikkannya sejak dulu kala [memang, dalam hal ini harus agak ekslusif].
Jika kita hamparkan teori Bloom di depan sini, maka hanya ada dua yang tampak, yakni Low Order Thinking Skills (LOTS) dan Higher Order Thinking Skills (HOTS).
Dalam ulasan Bloom, bahwa HOTS berkaitan dengan creativity, sebuah nalar tingkat "dewa", yang dari situ juga memancar nilai-nilai budaya sebagai 'spirit' dalam menyelesaikan setiap problem yang ada.
Ada tidaknya peradaban tergantung pada tingkat creativity masyarakatnya. Dan... lagi-lagi, orang tua-tua kita sudah mempraktikkannya jauh sebelum Bloom menjabarkan teorinya.
Namun, baru-baru ini, ada temuan PISA tahun 2015 lalu menunjukkan bahwa level kognitif (daya creativity) kita berada pada urutan ke 63 dari 70 negara yang dikenai survei. Hal ini membuktikan bahwa, dalam proses kita menyelesaikan masalah tertentu, berdasar ‘kelincahan' kognitif, ternyata kita masih jauh dari negara-negara tetangga kita seperti Malaysia, Singapura, dan China.
Artinya, dengan pernyataan positif, bahwa peradaban kita semakin ‘maju ke belakang’.
Jika memang peradaban suatu bangsa tergantung pada tingkat kreativitas anak bangsanya dalam memecahkan setiap masalah yang ada, maka berdasarkan temuan PISA itu adalah cambuk yang perih bagi kita semuanya saat ini dan detik ini.
Padahal, orang tua-tua kita zaman dulu tidaklah seperti demikian adanya. Meski mereka berkreasi sesuai kadar zamannya, tapi itulah hebatnya mereka, berani menawarkan “sesuatu” yang terbaik untuk kemajuan bersama.
Apa yang membuat mereka bisa seperti itu? Ialah pertanyaan besar yang paling mengusik bathin ini. “Mungkin” jawabannya ialah karena resah jiwa mereka saat melihat realita yang ‘bobrok' kala itu.
Resah yang sudah mencapai stadium akut, yaitu titik jenuh melihat kebiasaan 'bobrok' yang terus berulang tiada henti.
Jiwa yang resah mendobrak kebekuan akal-budi mereka tuk mencari solusi secepat-cepatnya. Akhirnya, mereka menemukan budaya, mahakarya yang sangat elok esensinya.
Kalau ada persoalan mencuat ke permukaan, terutama yang berkenaan dengan ke-bobrok-an, maka alat untuk menamparnya sudah ada, yakni dengan budaya.
Itulah hebatnya orang tua-tua kita zaman dulu. Mereka meleburkan diri ke dalam realita, menemukan titik jenuh ke-bobrok-an, "mencipta" budaya sebagai solusinya, dan menjalankannya secara bersama-sama.
Mereka, sang kreator ulung!
Meski ulasan ini terlihat agak konservatif dan ekslusif, tapi apa yang bisa kita ambil hikmahnya? Ialah kehebatan mereka mendendangkan nalar kreativitasnya di dalam adat-istiadat, dan semua orang harus 'manut' (bahasa Indonesia: patuh) kalau ingin bahagia.
Itulah hebatnya mereka, orang tua-tua kita tempo dulu. Sedangkan kita? Mari kita tengok ke dalam diri masing-masing, sekarang ini, dan detik ini. Apakah kita bisa seperti mereka? Kepadamu, aku bertanya. Sekian. Wallahua’lam.
Qashai Pelupessy
Ambon - Gunung Malintang
18 Oktober 2019
Komentar
Posting Komentar