Langsung ke konten utama

Kota Sejuta Kenangan


Pengalaman berharga. Sampai detik ini, aku sering berpikir, kok bisa aku kuliah di Jogja? Kota yang identik dengan nuansa pendidikan sekaligus kota budaya. 

Aku pernah dengar cerita dari orang Jogja terkait daerahnya layak di anggap kota pendidikan. Ternyata, dulu Sultan Hamengkubuwono IX sempat bersumpah, bahwa ia menginginkan Yogya sebagai kota pendidikan. Sumpah itu akhirnya menjadi kenyataan.

Sumpah seorang pemimpin pasti di dengar Tuhan, mungkin ya? Wallahualam. 

Yogyakarta segudang kenangan. Awalnya, aku tak pernah terpikir kuliah di Yogya. Setelah lulus SMA, aku berniat kuliah di Makassar.

Kuliah di Makassar adalah pengalaman tersirat yang aku rasakan. Hal ini bermula ketika aku berkenalan dengan salah-seorang Ustadz asal Makassar. 

Beliau "iming-iming" agar aku kuliah di Makassar, dengan dalih bahwa setelah dari Makassar ("Universitas Agama) aku bisa lanjut kuliah di Mesir. Tepatnya di Universitas Al-Azhar. 

Aku sangat mengimpikan kuliah di Al-Azhar. Terkait kuliah di Al-Azhar ini aku terpengaruh oleh novel karangan Habiburrahman El-Shirazi "Ayat-ayat Cinta". Novel itu mengisahkan soal percintaan ala Islami, dan perihal seluk-beluk kota Mesir yang indah. 

Itulah mengapa aku ingin kuliah di Al-Azhar. Namun, ketika aku minta izin ke orang tua, ternyata orang tua tidak mengizinkan. Ketidaksetujuan orang tua ku memang sangat beralasan. 

Waktu itu, tepat tahun 2011, di Mesir sedang terjadi pergolakan politik yang sangat luar biasa dampaknya bagi umat Muslim dunia. Jatuhnya Husni Mubarok dari tampuk kekuasaan ialah bagian dari sejarah politik di Mesir. Semua mata umat Muslim tertuju ke Mesir. 

Unjuk rasa tidak terkendali. Saling lempar batu mahasiswa dibalas tembakan dari pihak keamanan. Intinya, Mesir tahun 2011 sangat suram. 

Orang tua ku beralasan bahwa situasi Mesir dalam kondisi darurat. Kau, kata mereka, tidak boleh ke Mesir. Mendengar saran itu, aku lalu putar otak. Lantas, aku harus kuliah di mana? 

Orang tua menyarankan, aku segera ke Ambon. Waktu itu, posisiku sedang berada di Ternate. Baiklah, aku ke Ambon. 

Sampai di Ambon, aku diam dan merenung. Aku mau kuliah di mana? Kawan-kawan seangkatanku sudah memilih masuk ke universitas. Ada yang udah ke Jogja, Makassar, Bandung, dan Manado. 

Seiring waktu berjalan, dalam posisi bimbang, tanpa sengaja aku nonton video Ary Ginanjar yang membahas terkait Psikologi. Aku tertarik dengan psikologi. Bayanganku bahwa psikologi dapat menolong orang banyak. 

Oke.. Aku sudah menemukan jurusan yang akan ku pilih, yakni psikologi. Untuk selanjutnya, aku harus memilih universitas mana yang akan ku masuki. Sambil mencari tahu sana-sini. Dengar kabar, banyak kawan-kawan ku yang kuliah di Yogyakarta. 

Baiklah, aku mau ke Yogyakarta saja, pikirku. Keinginan kuliah di Yogyakarta ku sampaikan ke orang tua. Dan alhamdulillah orang tua setuju. 

Aku lalu berangkat ke Yogyakarta di dampingi ibu. Sampai di Yogya, aku tidak tahu mau masuk ke universitas mana. Bahkan, aku tak sempat terpikir kuliah di UGM. 

Kebetulan, waktu itu aku berjumpa dengan paman saudara ibuku. Beliau sudah menjadi dosen di Universitas Islam Indonesia (UII). Aku diberi pilihan, mau kuliah di UGM atau UII? 

Aku katakan, "Aku mau lihat UII". Oke, besok kita berangkat ke UII, kata paman. Baiklah, tapi aku ingin masuk jurusan psikologi, kataku. Oh, psikologi, di UII ada, jawab pamanku. Alhamdulillah, pikirku. 

Besoknya, aku, paman, dan ibu bergegas ke UII. Pas masuk ke UII, yang paling pertama ku lihat ialah masjid. (Kalau Anda ke UII, pas melewati pintu masuk, Anda akan berjumpa dengan masjid ulil albab berdiri kokoh di depan Anda). 

Wah, kampus ini sangat luar biasa. Pasti kampus ini sangat Islami. Angan-anganku terkait Al-Azhar terbayar di UII. Baiklah, aku menegaskan diri kuliah di UII saja. 

Masuk ke UII bisa melalui dua jalur, yakni PBT (Paper Based Test) dan CBT (Computer Based Test). Aku pilih masuk lewat CBT. Setelah tes, alhamdulillah aku LULUS. 

Waktu terus berjalan. Aku sudah menjadi mahasiswa aktif di jurusan psikologi UII. Aku jumpa dengan banyak kawan dari berbagai daerah. Indahnya kuliah di Yogyakarta ialah Anda bisa berjumpa dengan kawan dari mana saja. 

Oleh karena banyak kawan, yang berasal dari latar belakang budaya berbeda-beda, maka mau-tak-mau Anda harus bersikap fleksibel. Kalau anda tidak bisa fleksibel, maka anda akan tidak punya kawan. 

Ingat, hakikat manusia ialah makhluk sosial. Olehnya itu, pergaulan menjadi kunci. Inilah hikmah yang aku dapatkan, yakni FLEKSIBILITAS. 

Anda di tuntut untuk menerima perbedaan yang ada. Aku pernah merasa, dan memang sengaja ku benturkan, yakni menolak perbedaan. Dan apa yang terjadi setelah itu? Aku di jauhi. 

Oh, rupanya aku harus bersikap fleksibel. Inilah hikmah yang aku dapatkan selama kuliah di Yogyakarta. "Jika Anda ingin nyaman dalam pergaulan, bersikaplah FLEKSIBEL. Jika anda ingin meraih kesejahteraan subjektif, maka anda juga harus fleksibel".

Qashai Pelupessy
Maluku - Ambon
Minggu, 10 Mei 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Islam Masuk ke Siri-Sori Islam

Sampai detik ini, sejarah masuknya Islam ke pulau Saparua, tepatnya di negeri Siri-Sori Islam masih menjadi misteri. Ada pendapat mengatakan bahwa masuknya Islam ke Siri-Sori Islam tepat pada tahun 1212 masehi. Apakah pendapat ini benar demikian? Wallahua’lam. Jika kita mengatakan Islam masuk ke Saparua, tepatnya di Siri-Sori Islam pada abad 11/12 masehi, maka bisa dikatakan bahwa pendapat itu “hampir” benar adanya. Memang, pada abad 11/12 masehi ini Islam masuk ke Nusantara dibawa saudagar muslim asal Persia. Buktinya ialah pengaruh bahasa Persia dikalangan kerajaan-kerajaan Nusantara tentang kebiasaan duduk “bersila”. Kata “bersila” ini diserap dari kitab ‘Ajaib Al-Hind dikarang oleh muslim Persia bernama Buzurg bin Shariyar Al-Ramhurmuzi abad 11 masehi. Sekarang, mari kita tengok budaya kerajaan kita (di Siri-Sori Islam), apakah ada kebiasaan duduk “bersila” di hadapan raja? Wallahua’lam. Kalau kita lihat budaya kita, mustahil ada budaya duduk bersila dihadapan raja. Artinya, hal in...

Kata "Tabea" sebagai Wujud Perilaku Sopan-santun Orang Maluku - Malut

Dialah Dieter Bartels, antropolog asal Jerman yang sudah puluhan tahun melakukan studi di Maluku, mengatakan bahwa, meskipun orang Maluku itu punya watak keras dan terkadang diperankan sebagai "preman" di kota-kota besar, namun banyak juga orang Maluku yang punya perangai cerdas, cerdik, dan berpengetahuan luas. Artinya, stigma keras kepala alih-alih kurang beradab yang melekat pada orang Maluku ialah suatu kekeliruan yang cukup besar.  Orang Maluku yang beradab ini dapat kita lihat dalam praktik kebudayaan, ada terselip nilai-nilai etis yang sangat tinggi. Salah-satu budaya yang dapat kita perlihatkan di sini ialah kata "tabea", biasa dipakai dalam komunikasi sehari-hari atau dalam upacara adat tertentu. Hampir setiap daerah yang ada di Indonesia bagian timur, kata "tabea" ini tak asing lagi di dengar khayalak umum.  Di Bone, Sulawesi Selatan, misalnya, ada kata "tabea" (dengan penghilangan huruf a menjadi tabe). Beta pernah dengar ...

Kata "Tabea" sebagai Bentuk Motivasi Orang Maluku - Malut

Di artikel sebelumnya, beta telah ulas mengenai kata "tabea" sebagai wujud perilaku sopan-santun. Sekarang ini, beta akan bahas perihal kata tabea sebagai "daya tonjok psikologis" atau bisa kita maknai sebagai motivasi diri. Kata "tabea" biasa dipraktikkan ketika seorang pemuda berjalan di depan orang tua, maka ia harus nunduk sambil membungkukkan badan, terus ia katakan "tabea - permisi".  Adakalanya juga kata "tabea" ini muncul dalam praktik tarian-tarian adat di Maluku, seperti tarian soya-soya (di Maluku Utara), dan sesekali kata itu juga diteriakkan para penari dalam tarian cakelele. Selain itu, kata tabea juga muncul dalam tradisi "arumbai manggurebe". Para kapitan atau malesi dalam beberapa kesempatan upacara adat, setelah mereka menutup sambutan akan dibarengi dengan teriakan, "tabea!" (dengan suara lantang), sontak masyarakat yang mendengar juga meneriakkan kata yang sama, "tabea!".  ...

PSIKOLOGI KRITIS (Sedikit Catatan)

"Jangan-jangan, psikologi yang saya pahami adalah buah dari kerja-kerja relasi kuasa di luar sana, yang saya tidak mengerti, tapi diam-diam masuk dan kita meyakininya sebagai kebenaran. Parahnya, kita mempraktikkannya tanpa kesadaran kritis" (Jumat, 11 Oktober 2024).  Asumsi itu muncul setelah saya baru selesai mengikuti kegiatan Konferensi Nasional yang diadakan oleh Fakultas Psikologi UGM. Kegiatan ini mengangkat tema "Menyala Indonesiaku: Psikologi sebagai Pilar Kesehatan Mental Generasi Emas". Dalam kegiatan itu, ada satu kajian yang menarik perhatian saya yakni, psikologi diskursus atau psikologi kritis. Sebuah kajian yang sedang saya minati belakangan ini. Berikut ini adalah sedikit dari catatan saya mengenai kegiatan itu yang kemudian saya gabungkan/menyadur dari artikel Prof. Teguh Wijaya Mulya.  .................. Teori-teori psikologi yang sudah mapan belum tentu dapat digunakan secara langsung untuk membaca fenomena psikologis di Indonesia. Perlu melihat ...