Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2020

Tradisi Orang Maluku, Tradisi Hadarat di Siri-Sori Islam

Semua hari sebenarnya spesial tergantung kita melihatnya. Di mata umat muslim, ada dua hari dalam setahun yang begitu spesial sekali, yakni Idul Fitri dan Idul Adha.  Saking spesialnya dua hari itu, banyak umat muslim di berbagai negara memeriahkannya dengan beberapa tradisi unik. Biasanya, tradisi dilakukan sebelum sholat Id, atau setelah sholat Id. Misalnya, tradisi "pukul lidi" di Morela-Mamala.  Tradisi itu dilakukan pada bulan Syawal, beberapa minggu setelah sholat Id. Tradisinya tampak unik di saat dua kelompok masyarakat dari Morela-Mamala akan saling pukul menggunakan batang lidi sampai keluar darah di sekujur badan.  Setelah prosesi pukul lidi selesai, kedua kelompok masyarakat akan saling bantu-membantu mengoles obat minyak yang sudah di doakan tokoh masyarakat setempat. Uniknya, saat minyak ini dioles ke sekujur badan yang tadinya keluar darah, tampak darah itu pun berhenti dan rasa sakit menjadi hilang.  Selain tradisi pukul lidi, ada juga tr...

Pamanawa, Idul Adha, dan Perilaku "Sa Inoro'o Sa"

Ada pepatah kuno bunyinya begini, "Gaja h mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan kenang" Dari pepatah kuno itu, yang di maksud dengan kata "kenang" ialah reputasi manusia. Misalnya, apa yang kita kenang dari Said Perintah? Tentu reputasi beliau membebaskan kita dari belenggu penjajah.  Kemudian, apa yang kita kenang dari seorang tokoh bernama Jendral Buyskers? Kita kenal beliau sebagai tangan kanan VOC yang ditugasi mengepung pulau Saparua menjelang perang Pattimura. Tentu, bagi kita, reputasi Buyskers sangat menjengkelkan.  Begitulah sekilas tentang reputasi tokoh-tokoh tempo dulu. Sampai detik ini, reputasi mereka, entah baik atau buruk, masih terus kita ingat. Kita ingat Buyskers dari reputasinya yang sangat buruk, sebaliknya kita kenal Said Perintah dari reputasinya yang sangat baik.  Artinya, reputasi manusia selalu meninggalkan dua nilai dalam hidup ini, yakni baik dan buruk. Apa yang kita lak...

Adat dan Laku

Adat kita tinggi luhurnya,  tak lekang di telan zaman, meski terus berganti rupa.  Adat kita hidup dalam diri,  "adat di isi, lembaga di tuang",  melakukan sesuatu,  harus menurut adat istiadat.  Berbilang dari esa, mengaji dari alif,  begitulah kita sebagai manusia.  Mengerjakan sesuatu harus ingat asal,  sebagai aturan hidup, falsafah hidup, atau weltanschaung.  Sebab, di dalam adat ada keharmonisan,  ada kemaslahatan, ada kebersahajaan. Ada keadilan, ada kemanusiaan, ada persatuan.  Adat di junjung, bumi aman sentosa.  Lorong Anggrek Selasa, 28 Juli 2020 Qashai Pelupessy

Tidak Ada Perubahan

Tak sedikit yang mengatakan bahwa ada perubahan. Apakah betul ada perubahan? Sepertinya tidak ada. Memang, tampak ada perubahan, namun perubahan itu hanya menyentuh hal-hal sekunder, bukan primer (fundamental).  Yang beta maksud dengan perubahan sekunder ialah perubahan aktivitas dan suasana. Sedangkan, perubahan primer (fundamental) ialah perubahan perilaku.  Kalau pun ada yang mengatakan bahwa perubahan suasana juga turut merubah perilaku kita, maka perubahan itu tidak ada artinya atau tidak bertahan lama. Kita ambil contoh kasus covid-19.  Apakah covid-19 telah merubah perilaku kita? Apakah setelah covid-19 kita akan menjadi pribadi yang individual? Atau malah lebih kolektivis? Perubahan perilaku tergantung pada kehendak kita sendiri, bukan suasana. Namun, "tipe" perilaku macam apa yang musti kita pertahankan, dan harus kita ubah? Kita punya "tipe" perilaku.  Ada dua tipe perilaku, yakni negatif dan positif. Perilaku negatif seperti cemas...

Semangat dibalik Tradisi Baru Orang Siri-Sori Islam: Pamanawa dan RHJ

Ada dua pepatah kuno bunyinya begini,  (1) "Tangan kanan memberi, tangan kiri tak boleh tahu". (2) "Hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri". Dua pepatah kuno itu bukan frasa tanpa makna, melainkan mengandung hikmah yang sangat dalam. Dari pepatah pertama itu kita akan menemukan hakikat "keihklasan", sedangkan pepatah kedua mengandung hikmah "berjuang untuk negeri asal" atau dalam bahasa orang tua-tua kita sering bilang, "inga diri bae-bae".  Dua pepatah kuno itu akan menjadi lebih selaras jika kita kaitkan dengan esensi "Ipika Mese-Mese", yang di dalamnya terkandung perilaku khas orang Siri-Sori Islam yakni "sa inoro'o sa". Dalam konteks modern yang penuh dengan tindak-laku individual-egois, maka "sa inoro'o sa" menjadi spirit yang sangat penting untuk bergerak bersama-sama. Dalam istilah psikologi, tindakan bersama-sama ini di sebut "striking...

Permainan Hidup

Di saat realita berganti wajah,  kau hadir, selalu tanpa esensi.  Kadang kau bahagia, hari ini kau sengsara,  besok kau memuakkan.  Hidup. Memang sebatas permainan.  Gelar yang kau bawa ke mana-mana,  di tempel di atas almanak,  undangan, koran, brosur, pamflet,  dan sejenisnya,  tak ku temukan esensi di sana.  Memang, hidup hanya sebatas permainan.  Aku melihat, sarjana hukum,  tak paham arti keadilan.  Aku melihat, sarjana ekonomi,  tak paham arti kesejahteraan.  Aku melihat, sarjana fisika, kimia, tak paham arti keharmonisan alam.  Aku melihat, sarjana sosiologi,  tak paham arti kerukunan.  Aku melihat, sarjana politik.  tak paham arti etika politik.  Aku melihat, sarjana filsafat,  tak paham arti kebijaksanaan. Kau hadir, selalu tanpa esensi.  Memang, hidup sebatas permainan.  Hanya sedikit yang p aham arti keadilan, kesejahter...

Menjadi Kita

Aku tak mau menjadi dia atau mereka.  Aku tetap menjadi aku dan kita.  Aku mau seperti kata Sultan Khairun,  "Tujuan kita sama, lalu kenapa aku harus mengganti keyakinan ku menjadi kau?" Itu tak mungkin terjadi di batas peradaban yang mulai masuk usia senja.  Aku mau seperti syair "sagu salempeng pata dua", berbagi rasa kita berdua.  Kita sama-sama berbeda,  di bawah langit dan rembulan bercahaya,  di atas bumi tumbuh pinus, ketapang, dan sagu tua.  Jika kau anggap beda itu masalah,  lebih baik kau kembali ke tanah,  di sana kau lihat, kita sama dalam berbeda.  Lorong Anggrek,  Sabtu, 25 Juli 2020 Qashai Pelupessy

Kisah Raja dan Biru Tua

Di negeri para raja-raja,  rakyat harus ikut titah raja,  kalau tidak, kena kualat,  petaka, bangsa feodal.  Di negeri para raja-raja,  raja pusing kepala,  semalam suntuk tak tidur panjang, pikir sana, pikir sini,  mondar-mandir tanpa arah.  Di negeri para raja-raja,  tiba-tiba lewat sufi berjubah shof, dia tanya, "Kenapa kau baginda?" "Aku pusing, aku takut hilang semuanya" "Apa solusinya?" "Kau harus lihat warna biru tua" "Baiklah". Esok hari, di negeri para raja-raja,  raja perintah kapitan suruh rakyat, semua yang ada harus cat biru tua,  rumah, perabotan, sampai kandang sapi,  rumput, pohon, tanah, harus biru tua.  Sewindu berlalu, di negeri para raja-raja,  raja kembali bahagia.  Datang lagi sufi, dan bertanya,  "Kenapa kau cat semua biru tua?" "Supaya aku tak merasa sengsara" "Bodoh kau.,!" "Kenapa tak kau pakai saja, kacamata biru tua? Le bih mudah, tanpa mer...

Aku Masih Ada

Aku mencintai Kau,  lebih daripada kata cinta,  lebih daripada puncak Nirvana,  Lebih daripada kisah Rama dan Sinta, Lebih daripada kisah Romeo dan Juliet..,  kampret mereka,  lebih daripada kisah, siapa saja. Aku ingin memelukmu dalam suasana,  sukma, cahaya, dan bahagia,  terang, gelap, duka, dan asa.  Aku mencintai Kau..,  seperti kisah Rasulullah, bersama Khadijah atau Aisyah, seperti kisah Ali bersama Fatimah,  indah. Terlalu tinggi asa,  masuk dalam duka,  menjadi sengsara.  Jangan..! Tahan.  Kini, aku duduk sendiri,  dalam relung-relung hati,  katakan saja, "Aku Masih Ada". Ya.., itu Dia, Aku masih Ada.  Aku dan Aku menjadi Kami.  Aku dan Aku menjadi Mereka.  Aku dan Aku menjadi Kita.  Aku dan Aku menjadi Aku.  Lorong Anggrek, Jumat 24 Juli 2020 Qashai Pelupessy

Negeri Penutur

Di negeri penutur, orang bisa berhikayat apa saja,  tentang adat bersendikan agama,  agama bersendikan kitabullah,  kitabullah bersendikan Allah Ta'ala,  Di negeri penutur, orang bisa berhikayat apa saja,  tentang moyang bersilaturahmi antar-moyang,  tentang kita masuk ke mereka,  atau mereka masuk ke kita. Di negeri penutur, di sini,  tak ada prasasti seperti di Kalimantan,  Sumatera, atau Jawa.  Tak ada lontar seperti di Bugis-Makassar.  Di negeri penutur, di sini,  Yang ada hanya Victoria, Amsterdam, dan Durstede,  Yang ada hanya surat-menyurat para Gubernemen Portugis, Spanyol, atau VOC.  Di negeri penutur, di sini,  Yang ada hanya lukisan-lukisan centil Rumphius,  atau catatan kecil studi Wallace,  menggema sampai ke Eropa,  dan masuk lagi ke Indonesia.  Di negeri penutur, di sini,  kita tak tahu siapa itu Pattimura,  sebagai kelompok atau individu...

Selamat Hari Anak Nasional

"Selamat hari anak nasional!",  kalimat itu sungguh meriah penuh asa. Anak-anak kita harapan bangsa, kelak menjadi penguasa,  di negeri lempar batang tumbuh singkong, kaladi, dan sagu tua.  "Berikan aku sepuluh pemuda maka aku goncangkan dunia", pekik maha putra fajar di bawah pohon sukun, di tengah hari, Flores sana.  Tipologi macam apa sepuluh pemuda?  Ciri macam mana?  Anak bangsa menjadi pemuda macam apa?  Aku pikir, sambil menarik asap rokok dalam-dalam, menggumpal dalam mulut, ku hembus keluar tepat ke langit-langit rumah,  dan aku melihat realita.  Literasi kita ambruk tenggelam ke dasar tanah!  Logika sains kita mandek, berhenti di era modernisasi!  Nalar matematis kita rapuh dari ujung Sumatera sampai Merauke!  Mau jadi anak bangsa macam apa kita ini?  Ada anak satu, dua, tiga, empat orang berseragam tua Di timur pulau Seram sana,  kobar semangat mereka menjemput harapan di depan m...

Bangsa Batukel

Hujan sore ini, menghadirkan samar-samar pelangi, dan para burung asyik bersiul indah.  Dari balik bukit itu, membawa aku pada tutur suci, tanpa tulis, namun fakta.  Memang, bangsa kita ini bangsa suka batukel kiri-kanan, asal aku bahagia, kau curiga.  Memang, bangsa kita ini suka gulat dengan eksistensi, "Cogito Ergo Sum" (Aku Pikir, Maka Aku Ada). Hilang pikir, aku musnah. Kenapa, bangsa kita tak menjadi bangsa, "Scribo Ergo Sum", (Aku Tulis Maka Aku Ada).  Kenapa bangsa kita tak pernah tulis tutur dalam bait-bait sejarah? Akhirnya hilang fakta, aku musnah?  Ketika aku bertanya, kenapa? Dia jawab, "Kalau kau berani ungkap fakta, lalu itu salah, terus bagaimana?" Yasudah, diam saja. Memang, bangsa kita ini bangsa tutur, bangsa batukel, dan bangsa hilang sejarah.  Jangan kau tanyakan lagi, kenapa? Diam saja.  Gunung Malintang Rabu, 22 Juli 2020 Qashai Pelupessy

Di Sini, Di Siri-Sori Islam

Kalau kau mulai resah, gundah hati mu, maka pulanglah, aku setia menunggu.  Di sini, kau bisa teguk air jernih dari tanah, bukan campuran belerang atau kimia, air yang ikhlas menghilangkan dahaga.  Di sini, kau bisa makan patatas, kaladi, dari utang Hatumete sampai Kaiyala, bikin bahagia.  Di sini, kau bisa makan ikan komlo, julung, dan sebagainya, diambil dari laut biru Saparua.  Kalau air masin mulai surut, kau bisa bameti, ambe bia lalu masak, enak sekali.  Di sini, kita bisa berbagi sagu salempeng pata dua, sambil dengar lagu "mae ipika mese-mese" bersama-sama.  Di sini, tak ada suara bising kenalpot, sepi dari gemuruh pesawat, dan stom kapal-kapal besar angkut barang. Di sini, hanya ada suara burung di muka rumah raja, saat matahari mulai tenggelam, tanda magrib tiba.  Di sini, tak terdengar berita sumbang tentang situasi ibu kota atau papa kota. Di sini, hanya ada carita tentang obat-obat tua, dan besok kau makan apa.  ...

Filosofi Nasi Pulut dalam Perilaku Orang Siri-Sori Islam

Tradisi orang Maluku sudah terlampau banyak. Salah-satu tradisi yang patut kita angkat jempol ialah tradisi "Ipika Mese-Mese". Tradisi ini khas di miliki orang Siri-Sori Islam, tepat di ujung pulau Saparua sana.  Meskipun luas Siri-Sori Islam tak seberapa, namun dari sana lahir anak-anak muda cerdas, yang berani memposisikan diri dalam berbagai sektor, baik politik, birokrasi, maupun akademisi. Sebab, orang Siri-Sori Islam punya perangkat kemajuan bersama, yakni Ipika Mese-Mese.  Hakikat Ipika Mese-Mese bisa kita lihat pada simbol nasi pulut. Pulut berasal dari beras padi ketan. Jika kita lihat padi ketan, kita akan menemukan bahwa semakin berisi padinya maka ia semakin merunduk. Makna filosofinya ialah rendah hati, santun, dan penyabar.  Jika butiran beras ketan kita kumpul dan masak, maka semuanya akan saling lengket-menyatu. Artinya, kepribadian rendah hati, santun, dan penyabar dari semua anak negeri lebur menjadi satu (lengket-menyatu).  Mak...

Polling itu Tidak Akurat

Belakangan ini beredar situs-situs polling Bakal Calon Bupati, Wakil Bupati, Walikota, Wakil Walikota, dst. Tampak, hasil hitungan polling itu terkesan menggiurkan, namun menyesatkan. Kalau kita sayang para Bakal Calon itu, maka sebaiknya polling ini jangan di lanjutkan.  Sebenarnya, yang wajib menerangkan tentang "tidak akuratnya" hitungan polling ini ialah para ahli statistik. Meskipun demikian, dalam ilmu psikologi, sering juga bersentuhan dengan statistik  sebagai alat analisis data penelitian.  Hasil hitungan polling sangat tidak akurat. Paling tidak, yang terbaca dari hasil hitungan polling itu ialah upaya meng-goal-kan "Bakal Calon" menjadi "Calon Tetap". Upaya itu memang baik, tapi bisa mendatangkan petaka di kemudian hari. Berikut akan dijelaskan tentang "tidak akuratnya" hasil hitungan polling, dan dampaknya bagi para "Bakal Calon" yang diharapkan menjadi "Calon Tetap". Polling ini tidak akurat karen...

Tradisi "Boboso" Orang Ternate - Maluku Utara

Di artikel sebelumnya, beta sudah ulas mengenai tradisi "foso" ( https://qashaitukel.blogspot.com/2020/07/tradisi-foso-orang-ternate.html?m=1 ). Sekarang ini, beta akan bahas mengenai tradisi "boboso". Tradisi ini sudah lama di praktikkan masyarakat Ternate, Maluku Utara.  Sebagaimana fungsi tradisi "foso" ialah sebagai hukum etika, tradisi "boboso" ini pun juga punya fungsi yang sama dengan "foso". Namun, di antara kedua tradisi itu memiliki status hukum yang agak berbeda.  Status tradisi "foso" ini terbilang cukup "keras". Karena bagi yang melanggar tradisi tersebut akan ditimpa musibah seperti gempa, gunung meletus, hujan yang berkepanjangan, dst. Sebaliknya, status tradisi "boboso" ini terkesan agak lembek.  Dalam ajaran Islam, status hukum tradisi "boboso" ini mirip dengan "sunnah", meskipun tidak berarti sama persis. Sebab, bagi yang menjalankan tradisi itu akan di...

Antropolog Jerman, "Jangan Ragukan Loyalitas Orang Maluku pada Kampungnya"

Dieter Bartels, antropolog asal Jerman, mengatakan bahwa, "loyalitas orang Maluku paling utama ialah pada kampungnya, terus barulah pada negaranya". Pernyataan ini memang betul sekali.  Loyalitas orang Maluku pada kampungnya ini bukan berarti sisi nasionalis orang Maluku itu melempem. Malah sebaliknya, semakin tinggi loyalitas orang Maluku pada kampung (asal-usulnya), maka semakin kuat sisi nasionalisnya pada negara.  Kita sering dengar, banyak orang Maluku sering katakan, "Lakukan sesuatu dengan niat untuk kebaikan kampung" atau, "Demi menjaga nama baik kampung halaman". Perkataan ini menyiratkan falsafah hidup yang sangat dalam.  Niat untuk kampung, ini membuat orang Maluku sadar dengan jati dirinya (asal-usulnya). Orang tua-tua sering bilang, "inga diri bae-bae". Mengenal asal-usul akan berpengaruh pada "striking force psychology" (daya tonjok psikologis).  Mengenal asal-usul ini penting, sebab kita bisa tahu kap...