"Selamat hari anak nasional!",
kalimat itu sungguh meriah penuh asa.
Anak-anak kita harapan bangsa, kelak menjadi penguasa,
di negeri lempar batang tumbuh singkong, kaladi, dan sagu tua.
"Berikan aku sepuluh pemuda maka aku goncangkan dunia", pekik maha putra fajar di bawah pohon sukun, di tengah hari, Flores sana.
Tipologi macam apa sepuluh pemuda?
Ciri macam mana?
Anak bangsa menjadi pemuda macam apa?
Aku pikir, sambil menarik asap rokok dalam-dalam,
menggumpal dalam mulut,
ku hembus keluar tepat ke langit-langit rumah,
dan aku melihat realita.
Literasi kita ambruk tenggelam ke dasar tanah!
Logika sains kita mandek, berhenti di era modernisasi!
Nalar matematis kita rapuh dari ujung Sumatera sampai Merauke!
Mau jadi anak bangsa macam apa kita ini?
Ada anak satu, dua, tiga, empat orang berseragam tua
Di timur pulau Seram sana,
kobar semangat mereka menjemput harapan di depan mata.
Tapi, apa? Infrastruktur tak sejalan harapan anak bangsa,
empat anak berseragam tua,
angkat tas taruh di atas kepala,
mereka semangat melawan arus sungai,
pemuda macam apa yang mau kita asah?
Sementara, anak-anak kota berseragam indah,
berjalan di sepanjang setapak bersih,
bisa naik angkot, dan ojek sesuka hati,
Ini keadilan macam apa?
Masih tentang realita.
Anak-anak kita berjuta-juta,
kini sudah bisa pegang hape dari pagi sampai malam tiba.
Pencet sana, pencet sini, buka apa saja.
Bahkan, soal senggama, astaga!
Mau jadi anak bangsa macam apa?
Ada anak di sekolah,
di bully dari dalam kelas sampai kantin pinggir sekolah,
di caci soal ras, etnis, agama, bahkan soal orang tua,
di rumah memeluk bahagia,
di sekolah mendekap sengsara.
Mau jadi anak bangsa macam apa?
Begitulah lukisan katastrofie di balik realita, anak bangsa kita.
Anak-anak kita harapan bangsa, kelak menjadi penguasa,
Di negeri distopia kah?
Atau utopia?
Lorong Anggrek - Gunung Malintang
Kamis, 23 Juli 2020
Qashai Pelupessy
Komentar
Posting Komentar