Langsung ke konten utama

Pamanawa, Idul Adha, dan Perilaku "Sa Inoro'o Sa"


Ada pepatah kuno bunyinya begini, "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan kenang"

Dari pepatah kuno itu, yang di maksud dengan kata "kenang" ialah reputasi manusia. Misalnya, apa yang kita kenang dari Said Perintah? Tentu reputasi beliau membebaskan kita dari belenggu penjajah. 

Kemudian, apa yang kita kenang dari seorang tokoh bernama Jendral Buyskers? Kita kenal beliau sebagai tangan kanan VOC yang ditugasi mengepung pulau Saparua menjelang perang Pattimura. Tentu, bagi kita, reputasi Buyskers sangat menjengkelkan. 

Begitulah sekilas tentang reputasi tokoh-tokoh tempo dulu. Sampai detik ini, reputasi mereka, entah baik atau buruk, masih terus kita ingat. Kita ingat Buyskers dari reputasinya yang sangat buruk, sebaliknya kita kenal Said Perintah dari reputasinya yang sangat baik. 

Artinya, reputasi manusia selalu meninggalkan dua nilai dalam hidup ini, yakni baik dan buruk. Apa yang kita lakukan sekarang pasti menjadi kenangan/reputasi di kemudian hari. Olehnya itu, ada yang mengatakan bahwa, "usia reputasi jauh lebih panjang dibanding usia biologis manusia itu sendiri".

Berbicara reputasi, maka sekarang ini, mari kita tengok dua kelompok arisan terbesar di Ambon, yakni Pamanawa dan RHJ. Bagaimana reputasi dua kelompok arisan ini ke depan? Apakah nanti tetap konsisten pada reputasi baik? 

Sejak berdirinya dua kelompok arisan ini, tampak memiliki tujuan yang senafas-seirama yakni meninggalkan "kenangan baik" untuk umat di kampung, dan terkhusus untuk pribadi masing-masing. Kenangan baik akan bertahan lebih lama dibanding usia organisasi itu sendiri. 

Untuk mengukir kenangan atau reputasi-baik maka kita perlu pengorbanan ekstra. Sebagaimana spirit Idul Adha saat ini, kita bisa belajar dari kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail tentang pengorbanan diri, atau dalam istilah Melayu, "mendermakan diri". Mendermakan diri ini sangat selaras dengan perilaku "sa inoro'o sa". 

Dalam istilah psikologi sosial, frasa "sa inoro'o sa" ini mirip dengan istilah "kohesi sosial", meskipun nanti di telusuri lebih dalam lagi. Dalam konteks Pamanawa, berperilaku "sa inoro'o sa" ini pasti berdampak pada reputasi baik di masa mendatang. 

Semoga, Pamanawa semakin jaya, terus mendermakan diri untuk umat di kampung, dan terkhusus untuk pribadi masing-masing, demi reputasi baik di masa depan, begitu pun dengan RHJ. Aamiin. Akhirul kalam, minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir bathin. 

Lorong Anggrek
Jum'at, 31 Juli 2020

Qashai Pelupessy (Pamanawa) 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Permainan Hidup

Di saat realita berganti wajah,  kau hadir, selalu tanpa esensi.  Kadang kau bahagia, hari ini kau sengsara,  besok kau memuakkan.  Hidup. Memang sebatas permainan.  Gelar yang kau bawa ke mana-mana,  di tempel di atas almanak,  undangan, koran, brosur, pamflet,  dan sejenisnya,  tak ku temukan esensi di sana.  Memang, hidup hanya sebatas permainan.  Aku melihat, sarjana hukum,  tak paham arti keadilan.  Aku melihat, sarjana ekonomi,  tak paham arti kesejahteraan.  Aku melihat, sarjana fisika, kimia, tak paham arti keharmonisan alam.  Aku melihat, sarjana sosiologi,  tak paham arti kerukunan.  Aku melihat, sarjana politik.  tak paham arti etika politik.  Aku melihat, sarjana filsafat,  tak paham arti kebijaksanaan. Kau hadir, selalu tanpa esensi.  Memang, hidup sebatas permainan.  Hanya sedikit yang p aham arti keadilan, kesejahter...

Jalan-jalan ke Benteng Amsterdam, Bertemu Putri Duyung-nya Rumphius

Hari ini, beta ingin menceritakan tentang pengalaman beta jalan-jalan ke benteng Amsterdam, desa Hila, kecamatan Leihitu, Maluku Tengah. Di Maluku, benteng-benteng peninggalan Portugis, Belanda, dan Spanyol terlampau banyak.  Ada benteng Victoria di pusat kota Ambon, benteng Durstede di pulau Saparua, benteng Orange di Ternate, benteng Kastela, benteng Toloko, dan masih banyak lagi. Hadirnya beberapa benteng ini membuktikan bahwa Maluku pada masanya sempat menjadi pusat perniagaan rempah-rempah.  Dalam beberapa catatan sejarah, seperti yang di tulis Adnan Amal, bahwa setiap benteng memiliki fungsinya masing-masing. Misalnya, benteng Victoria atau benteng Kastela, biasanya digunakan sebagai kantor Gubernur. Ada juga benteng yang berfungsi sebagai lokasi pertahanan, seperti benteng Toloko.  Selain itu, ada juga benteng yang digunakan sebagai tempat penyimpanan rempah-rempah (loji), seperti benteng Amsterdam. Benteng Amsterdam ialah salah-satu benteng yan...

"MITOS PRIBUMI MALAS"

( Ilustrasi pribumi. Lukisan ) Istilah "mitos pribumi malas" ini saya temui dari buku hasil penelitian yang ditulis Tania Murray Li dan Pujo Semedi (2022). Buku itu berjudul "Hidup Bersama Raksasa". Maksudnya, masyarakat hidup bersama perusahaan perkebunan. Kembali ke soal istilah, "Apakah pribumi kita benar-benar berwatak pemalas? Ataukah ini hanya mitos saja agar kita merasa inferior dalam mengelola sumber daya yang ada secara mandiri dan harmonis?" Jika kita periksa lembar-lembar sejarah, kita akan temui banyak fakta tentang mustahilnya pribumi kita punya watak pemalas. Kalau pribumi kita pemalas, maka tidak mungkin waktu itu pribumi kita bisa membuat perahu lalu mengarungi samudra sampai ke Madagaskar. Mustahil juga pribumi kita waktu itu melakukan perdagangan internasional sampai di anak benua India, lalu dari situ bahan-bahan dagang kita (putik cengkih, lada, dan pala) tersebar ke seluruh Eropa.  Usaha pribumi kita melakukan perdagangan internasional...

Baileo sebagai Tempat Musyawarah ("Hablumminannas?)

Baileo (rumah adat), di berbagai negeri/desa punya bentuk/arsitektur yang cukup beragam. Ada Baileo patasiwa dan ada patalima. Ulasan patasiwa dan patalima punya kontroversi tersendiri (bisa baca di buku Bartels). Karena kontroversi, maka Beta tidak masuk ke pembahasan tsb. Beta mau lihat, sejauhmana makna bangunan Baileo ini dibalik kepala orang Maluku. Baileo identik dengan istilah "balai" (istilah ini masih di perdebatkan), adalah tempat musyawarah para tetuah. Dalam sejarah manusia (bisa baca buku Yuval Noah Harari), masyarakat mulai mengenal sistem musyawarah ini sejak manusia lepas dari sistem berburu-meramu-nomaden. Harari mengatakan, perpindahan dari sistem berpikir nomaden ke masyarakat "fiksi - kognitif" yang mengandalkan akal sebagai alat musyawarah, adalah loncatan peradaban yang sangat luar biasa sekali. Artinya, jika kita turunkan ulasan ini ke makna "Baileo" maka sebetulnya masyarakat kita zaman dulu punya sistem berpikir yang s...