Setiap kelompok masyarakat di berbagai daerah memiliki norma-norma yang khas. Dalam prosesnya, norma-norma itu kemudian menjadi (meminjam ulasan Ulil Abshar Abdalla) "fixed" dalam bentuk tradisi laten yang dipraktikkan masyarakat setempat.
Dari norma menjadi tradisi inilah disebut "fiksasi" (penekanan akhiran "si" berarti proses menuju ke arah lebih baik). Sehingga, setiap tradisi yang ada tampak memiliki nilai-nilai kebaikan. Di Ternate, Maluku Utara, misalnya ada tradisi lisan oleh masyarakat menyebutnya, "foso dan boboso".
"Foso" adalah norma etika, atau lebih terkait dengan norma kesusilaan, yang harus dipraktikkan masyarakat setempat. Kalau masyarakat tidak mempraktikkannya maka akan ditimpa musibah, seperti kerusakan moral atau gangguan alam (gunung meletus, gempa, dan lain-lain).
Sebab "foso" ini lahir dari hasil refleksi diri orang Ternate tentang upaya menjaga keharmonisan (keseimbangan) antara perilaku sosial dan alam semesta.
Ada cerita rakyat di Ternate tentang mitos danau Tolire. Konon, sebelum danau ini ada, awalnya adalah sebuah perkampungan kecil. Suatu ketika, di malam hari, warga kampung sedang melakukan pesta miras (minuman keras).
Karena sudah larut malam dan di luar kontrol kesadaran, tiba-tiba seorang anak (gadis) bersama orang tuanya melakukan hubungan tidak senonoh di rumah mereka. Esok paginya kampung itu mendapat petaka, berupa gempa bumi dan gunung meletus, sehingga kampung itu pun tenggelam bersama warganya, dan menjadi danau Tolire.
Cerita rakyat itu sarat dengan nilai-nilai "foso" yang telah dilanggar masyarakat. Jadi, "foso" ini berupa suatu larangan yang sifatnya "keras atau wajib dilakukan" seperti tidak boleh berperilaku asusila, amoral, dan sejenisnya. Kalau dilanggar maka akan ditimpa musibah dari alam.
Tampak, penegakkan keadilan (berupa hukuman) tergantung pada upaya masyarakat bersikap moderat (tidak berlebih-lebihan) dengan selalu menjaga keharmonisan antara individu dan alam semesta.
Di era sekarang ini, nilai-nilai "foso" patut dipraktikkan masyarakat setempat. Kita kadang mendengar berita tentang seorang bapak menghamili anaknya sendiri. Sungguh menyedihkan, pasti semua agama menolak perilaku tersebut.
Padahal, praktik keagamaan kita sudah terlampau "overdosis" (seperti sering sholat, ngaji, dll), tapi kok masih ada kasus seperti itu? Apakah praktik agama kita masih kurang ada spiritnya? Wallahua'lam.
Mungkin, agama perlu bekerjasama dengan tradisi setempat, seperti "foso" ini, yang tujuannya ialah memperkuat nilai-nilai ibadah sosial, sehingga perilaku asusila atau amoral ini dapat ditekan.
Itulah pentingnya tradisi untuk memperkuat praktik keagamaan kita. Sekian ulasan saya tentang tradisi "foso" di Ternate. InsyaAllah di artikel berikutnya, saya akan mengulas tradisi "boboso" orang Ternate.
Qashai Pelupessy
Maluku - Ambon
Sabtu, 18 Juli 2020
Komentar
Posting Komentar