Langsung ke konten utama

Tan Malaka: Tuhan itu Waktu? (1)


Gus Dur pernah menceritakan pengalamannya ketika bertemu Tan Malaka. Suatu hari, ada seorang pemuda asal Banten, namanya Husein, silaturahmi ke rumah Gus Dur. Keperluan pemuda Banten itu ingin menemui ayah Gus Dur, Wahid Hasyim (Pahlawan Nasional - Menteri Agama Pertama Republik Indonesia). 

Gus Dur yang masih kecil, tidak tahu persis latar belakang pemuda asal Banten tersebut. Yang Gus Dur tahu, bapaknya, Wahid Hasyim adalah seorang pria yang mudah bergaul dengan siapa saja. Entah dari yang se-ideologi atau beda ideologi, bahkan se-agama atau beda agama. 

Setelah beberapa tahun berlalu, yakni di saat hari-hari terakhir Gus Dur bersama ibunda, sang ibu bertanya kepada anaknya, "kamu masih ingat, pemuda Banten yang waktu itu sering berkunjung ke rumah kita?". Jawab Gus Dur, "iya mah, masih ingat". Lanjut ibunda, "dia itu Tan Malaka". 

Sekilas, Gus Dur lalu teringat dengan pemuda Banten tersebut, oh ternyata dia itu Tan Malaka toh. Dari sini, Gus Dur menilai, dan juga orang kebanyakan punya penilaian yang sama, bahwa bapaknya (Wahid Hasyim) adalah seorang pluralis sejati, bahkan terhadap Tan Malaka sekalipun yang berlatarbelakang komunis bisa diajak ngobrol satu meja.

Dari cerita Gus Dur itu, beta kemudian kembali membuka buku Tan Malaka yang sudah lama tak pernah di buka lagi, yakni buku Madilog. Untuk kali ini, beta ingin membacanya lebih teliti lagi. Kesan pertama beta setelah membaca buku Tan Malaka, lama-kelamaan beta jatuh hati dengan tokoh satu ini. 

Seorang tokoh yang menurut beta tak sekedar intelektual, melainkan cendikiawan besar abad modern yang dimiliki Indonesia. Watak beliau, sebagaimana juga di jelaskan sendiri olehnya dalam buku Madilog, ialah pemuda yang haus ilmu. 

Rasa haus ilmu ini terlihat ketika beliau sering membeli banyak buku, tapi kemudian di tenggelamkannya ke laut akibat judul buku-bukunya itu terkesan "revolusioner". Setelah beliau menenggelamkan buku-bukunya itu, kembali beliau membeli buku-buku serupa lagi, begitu dan seterusnya. 

Untuk mengingat-ingat intisari dari setiap buku yang pernah di bacanya itu, maka beliau sering membuat semacam istilah-istilah unik yang sulit di tebak dan beliau menyimpannya dalam pikiran, yang dinamainya "jembatan keledai". "Madilog" adalah satu kata yang dipilihnya berdasarkan pertimbangan "jembatan keledai" tersebut. 

Kata Madilog ini dibuatnya agar mudah di ingat oleh beliau alih-alih khalayak publik. Dalam satu kata itu memuat tiga unsur penting dalam kajian filsafat, yakni Materialisme, Dialektika, dan Logika (di singkat MaDiLog). 

Ada satu pembahasan dalam buku Madilog ini yang menurut beta sangat menarik, yakni mengenai "logika mistik" versus "logika pertumbuhan" (hukum evolusi - dalam istilah gampangannya ialah logika sains). Belakangan, pembahasan ini muncul dalam perdebatan yang lebih mutakhir, yakni tentang "sains" versus "agama".

Tan Malaka membuka topik perdebatan dengan argumentasi agak teologis, meskipun sebetulnya dia bukan teolog. Dia meminjam istilah Dewa Rha (dewa matahari dalam pandangan orang Mesir) untuk menjelaskan lemahnya logika mistik ini. 

Secara tersirat, beliau ingin mengatakan bahwa logika mistik inilah yang menghambat kemajuan. Tan Malaka merasakan bahwa logika mistik ini bagaikan parasit yang menghinggapi otak-otak kalangan proletar (kalangan terjajah), dan juga borjuis (kalangan penjajah). 

Kita semua tahu, bahwa tujuan Tan Malaka hanya satu, yakni perjuangan kelas. Yang mana, situasi sosial harus di dudukan di atas kursi keadilan. Jika terjadi ketimpangan, maka tentu peradaban akan menunjukkan kemunduran. Karena peradaban mundur, maka manusia tentu akan musnah. Kira-kira begitulah tujuan beliau. 

Olehnya itu, beliau sangat kritis terhadap logika mistik ini. Beliau mengatakan, Kemahakuasaan Dewa Rha terletak pada kata "PTAH..!" maka jadilah alam semesta. Atau dalam Islam, Allah mengatakan, "KUN FAYAKUN" maka jadilah semuanya. Secara tersirat, Tan Malaka bertanya-tanya, "apakah benar demikian?"

Beliau membantah Kemahakuasaan Tuhan ini dengan menggunakan logika sains atau dalam istilah beliau yakni hukum evolusi. Bantahan beliau cukup sederhana, dan semua orang sudah tentu tahu, bahwa karena hukum evolusi selalu berpijak pada PROSES bukan SUKSESI/FINAL, maka membicarakan Tuhan dalam situasi alam yang sedang ber-PROSES adalah suatu hal yang mustahil atas adanya Kemahakuasaan Tuhan. 

Bagaimana mungkin, Kemahakuasaan Tuhan berpegang pada PROSES yang di dalamnya ada waktu? Kalau begini faktanya, maka sungguh Tuhan yang sejati ialah waktu (SEJARAH). Menurut beta, pendapat beliau sangat logis (masuk akal). Meskipun demikian, yang namanya pendapat manusia pasti ada kelemahan. Olehnya itu, tentu pasti ada bantahan (kritik). 

(BERSAMBUNG) 

Qashai Pelupessy
Maluku - Ambon
Rabu, 03 Juli 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Islam Masuk ke Siri-Sori Islam

Sampai detik ini, sejarah masuknya Islam ke pulau Saparua, tepatnya di negeri Siri-Sori Islam masih menjadi misteri. Ada pendapat mengatakan bahwa masuknya Islam ke Siri-Sori Islam tepat pada tahun 1212 masehi. Apakah pendapat ini benar demikian? Wallahua’lam. Jika kita mengatakan Islam masuk ke Saparua, tepatnya di Siri-Sori Islam pada abad 11/12 masehi, maka bisa dikatakan bahwa pendapat itu “hampir” benar adanya. Memang, pada abad 11/12 masehi ini Islam masuk ke Nusantara dibawa saudagar muslim asal Persia. Buktinya ialah pengaruh bahasa Persia dikalangan kerajaan-kerajaan Nusantara tentang kebiasaan duduk “bersila”. Kata “bersila” ini diserap dari kitab ‘Ajaib Al-Hind dikarang oleh muslim Persia bernama Buzurg bin Shariyar Al-Ramhurmuzi abad 11 masehi. Sekarang, mari kita tengok budaya kerajaan kita (di Siri-Sori Islam), apakah ada kebiasaan duduk “bersila” di hadapan raja? Wallahua’lam. Kalau kita lihat budaya kita, mustahil ada budaya duduk bersila dihadapan raja. Artinya, hal in...

Kata "Tabea" sebagai Wujud Perilaku Sopan-santun Orang Maluku - Malut

Dialah Dieter Bartels, antropolog asal Jerman yang sudah puluhan tahun melakukan studi di Maluku, mengatakan bahwa, meskipun orang Maluku itu punya watak keras dan terkadang diperankan sebagai "preman" di kota-kota besar, namun banyak juga orang Maluku yang punya perangai cerdas, cerdik, dan berpengetahuan luas. Artinya, stigma keras kepala alih-alih kurang beradab yang melekat pada orang Maluku ialah suatu kekeliruan yang cukup besar.  Orang Maluku yang beradab ini dapat kita lihat dalam praktik kebudayaan, ada terselip nilai-nilai etis yang sangat tinggi. Salah-satu budaya yang dapat kita perlihatkan di sini ialah kata "tabea", biasa dipakai dalam komunikasi sehari-hari atau dalam upacara adat tertentu. Hampir setiap daerah yang ada di Indonesia bagian timur, kata "tabea" ini tak asing lagi di dengar khayalak umum.  Di Bone, Sulawesi Selatan, misalnya, ada kata "tabea" (dengan penghilangan huruf a menjadi tabe). Beta pernah dengar ...

Kata "Tabea" sebagai Bentuk Motivasi Orang Maluku - Malut

Di artikel sebelumnya, beta telah ulas mengenai kata "tabea" sebagai wujud perilaku sopan-santun. Sekarang ini, beta akan bahas perihal kata tabea sebagai "daya tonjok psikologis" atau bisa kita maknai sebagai motivasi diri. Kata "tabea" biasa dipraktikkan ketika seorang pemuda berjalan di depan orang tua, maka ia harus nunduk sambil membungkukkan badan, terus ia katakan "tabea - permisi".  Adakalanya juga kata "tabea" ini muncul dalam praktik tarian-tarian adat di Maluku, seperti tarian soya-soya (di Maluku Utara), dan sesekali kata itu juga diteriakkan para penari dalam tarian cakelele. Selain itu, kata tabea juga muncul dalam tradisi "arumbai manggurebe". Para kapitan atau malesi dalam beberapa kesempatan upacara adat, setelah mereka menutup sambutan akan dibarengi dengan teriakan, "tabea!" (dengan suara lantang), sontak masyarakat yang mendengar juga meneriakkan kata yang sama, "tabea!".  ...

PSIKOLOGI KRITIS (Sedikit Catatan)

"Jangan-jangan, psikologi yang saya pahami adalah buah dari kerja-kerja relasi kuasa di luar sana, yang saya tidak mengerti, tapi diam-diam masuk dan kita meyakininya sebagai kebenaran. Parahnya, kita mempraktikkannya tanpa kesadaran kritis" (Jumat, 11 Oktober 2024).  Asumsi itu muncul setelah saya baru selesai mengikuti kegiatan Konferensi Nasional yang diadakan oleh Fakultas Psikologi UGM. Kegiatan ini mengangkat tema "Menyala Indonesiaku: Psikologi sebagai Pilar Kesehatan Mental Generasi Emas". Dalam kegiatan itu, ada satu kajian yang menarik perhatian saya yakni, psikologi diskursus atau psikologi kritis. Sebuah kajian yang sedang saya minati belakangan ini. Berikut ini adalah sedikit dari catatan saya mengenai kegiatan itu yang kemudian saya gabungkan/menyadur dari artikel Prof. Teguh Wijaya Mulya.  .................. Teori-teori psikologi yang sudah mapan belum tentu dapat digunakan secara langsung untuk membaca fenomena psikologis di Indonesia. Perlu melihat ...