Sampai sekarang, berbicara tentang Tan Malaka tak pernah ada habisnya. Tokoh misterius ini sungguh unik pemikirannya. Beta boleh katakan, pemikiran beliau sangat radikal dan progresif sekali.
Meskipun dalam sejarah, kita kenal beliau sebagai seorang komunis, namun di satu sisi beliau juga sangat yakin dengan agamanya (Islam). Terkait hal ini, mungkin beta bisa memposisikan beliau sebagai "komunis-religus".
Dalam beberapa kesempatan, beliau pernah mengusulkan kepada Komintern (Komunisme Internasional) di Rusia (Stalin) - dalam terjemahan bebasnya - bahwa Islam harus masuk dan tetap di pandang sebagai bagian dari perjuangan komunis di Indonesia. Melepaskan Islam dari pergerakan komunis, sama halnya dengan menghilangkan "garam" dari "laut" artinya sangat sulit sekali.
Namun, sangat di sayangkan, usulan Tan Malaka itu ditolak Stalin. Kita tahu, bahwa Stalin, mungkin, belum mengenal iklim pemikiran masyarakat Indonesia. Seandainya, waktu itu Stalin datang ke Indonesia, beta yakin dia akan terkaget-kaget, "kok bisa Serikat Islam - merah - bisa bekerjasama dengan Sneevlit?" adalah suatu peristiwa yang sangat aneh sekali.
Kembali pada konteks pembahasan, yakni terkait pemikiran Tan yang sangat radikal sekali. Ada satu hal yang membuat beta tertarik pada pemikiran beliau, terutama saat beliau mengkritik LOGIKA MISTIK, yang menurutnya menghambat perjuangan komunis. Terkait ulasan logika mistik, anda bisa baca lagi blog saya sebelumnya.
Ada tiga poin utama yang menurutnya, logika mistik ini akan runtuh berkeping-keping. Pertama, apakah Tuhan lebih berkuasa dari hukum kepastian alam? Kedua, apakah Tuhan sama kuasanya dengan hukum alam? Dan ketiga, apakah Tuhan kurang kuasanya dari hukum alam?
Titik fokus beta dalam kesempatan kali ini ialah pada poin pertamanya itu. Tan mengatakan bahwa Tuhan tak punya kuasa terhadap hukum kepastian alam. Argumentasi beliau berpijak pada logika sains, yakni hukum evolusi Darwin dan gravitasi Newton.
Secara tersirat, Tan mengatakan bahwa, ketika Tuhan mengatakan "JADILAH" dan terjadilah alam semesta, maka alam ber-PROSES sesuai kodratnya sendiri. Sepanjang alam ini berproses, Tuhan tidak punya kebebasan untuk menghentikannya alih-alih Tuhan punya kelemahan.
Bagaimana mungkin dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada? Bagaimana mungkin sesuatu yang tidak ada mempengaruhi yang ada? Tan mengilustrasikan ulasannya seperti seseorang yang sedang lapar. Katanya, lapar bukan berarti kenyang. Meskipun, anda - sebagai roh - berkata "kenyang" sampai 1000 kali pun, seseorang itu tidak akan pernah kenyang alih-alih selalu lapar.
Satu ilustrasi lagi dari Tan yang menurut beta sangat masuk akal terkait lemahnya Tuhan di hadapan hukum kepastian ini. Beliau mengilustrasikan seperti seorang pemikir "nakal" memperagakan kekuasaan hukum kepastian atas Tuhan (roh). Beta kutip ilustrasi Tan sebagai berikut.
Seorang pemikir nakal pernah berkata: yang kuat di alam ini selalu mengalahkan yang lemah. Hukum alam ini sudah termasuk dalam commonse sense (akal sehat). "Ini semut", katanya, "dan ini jari saya, lebih kuat dari semut itu", katanya terus. "Kalau ada Tuhan, yang bisa mencegah alam menjalankan hukum kepastiannya, maka tolonglah semut ini", katanya. Pada saat itu juga, ditekankannya jari pada semut yang lemah tadi. Semut itu pasti mati.
Itulah quot erat demonstandum kata Tan Malaka. Ilustrasi Tan Malaka itu sangat masuk akal sekali, bahwa seolah-olah Tuhan tunduk pada hukum kepastian alam semesta. Entengnya, Tuhan tidak punya kebebasan melebih kebebasan hukum kepastian.
Benarkah demikian? Apakah Tuhan tidak punya kuasa terhadap alam semesta sejak Dia menciptakannya? Apakah selama alam ini bekerja, Tuhan tidak hadir di dalamnya? Apakah sesuatu yang belum terjadi juga tidak ada pengaruh Tuhan di sana? Adalah sederet pertanyaan yang mesti kita refleksikan secara bersama-sama.
Ketika apel Newton jatuh ke Tanah, apakah tidak ada pengaruh Tuhan? Secara logika, apel jatuh ke tanah karena memang sudah waktunya untuk jatuh. Apakah kita dapat mempercepat keterjatuhan apel ke tanah? Logika akan menjawab, tentu sangat bisa, anda tinggal petik apelnya dan jatuhkan saja ke tanah, beres.
Kalau begitu, apakah sebelum kebebasan Anda memilih untuk menjatuhkan apel ke tanah, Tuhan tidak ada? Bukankah kebebasan memilih ini juga bagian dari hukum kepastian alam? Lantas, apakah di dalam kebebasan pilihan anda itu tidak ada Tuhan di sana?
Kalau anda punya kebebasan memilih, maka berarti anda juga bebas melakukan sesuatu yang negatif, mencelakakan kebebasan semesta, misalnya? Anda bebas memilih menjatuhkan apel ke tanah, padahal belum waktunya apel itu jatuh, apakah ini berarti anda melawan hukum kodrat dari kebebasan itu sendiri? Apakah tindakan anda itu merupakan pelanggaran atas etika yang sejati?
Apakah ketika anda ber-etika, maka Tuhan tidak ada ataukah benar-benar ada? Darimana Anda memperoleh hukum etika ini, apakah dari alam semesta atau dari Tuhan? Kalau memang dari alam, maka kenapa alam selalu punya kemauannya sendiri alih-alih terkadang bersifat destruktif? Apakah Anda mau mencelakakan diri Anda sendiri?
Di dalam kebebasan terselip hukum moral. Pertanyaannya, hukum moral ini bersumber dari mana? Apakah ajaran ini tiba-tiba langsung ada, bimsalabim, avadakabra? Ataukah melalui proses pergumuluan yang panjang? Siapakah yang menitipkan hukum moral ini ke dalam diri Anda?
(BERSAMBUNG)
Qashai Pelupessy
Maluku - Ambon
Jum'at, 03 Juli 2020
Komentar
Posting Komentar