Langsung ke konten utama

Tan Malaka: Tuhan Tidak Punya Kuasa atas Hukum Kepastian? (2)


Sampai sekarang, berbicara tentang Tan Malaka tak pernah ada habisnya. Tokoh misterius ini sungguh unik pemikirannya. Beta boleh katakan, pemikiran beliau sangat radikal dan progresif sekali.

Meskipun dalam sejarah, kita kenal beliau sebagai seorang komunis, namun di satu sisi beliau juga sangat yakin dengan agamanya (Islam). Terkait hal ini, mungkin beta bisa memposisikan beliau sebagai "komunis-religus". 

Dalam beberapa kesempatan, beliau pernah mengusulkan kepada Komintern (Komunisme Internasional) di Rusia (Stalin) - dalam terjemahan bebasnya - bahwa Islam harus masuk dan tetap di pandang sebagai bagian dari perjuangan komunis di Indonesia. Melepaskan Islam dari pergerakan komunis, sama halnya dengan menghilangkan "garam" dari "laut" artinya sangat sulit sekali.

Namun, sangat di sayangkan, usulan Tan Malaka itu ditolak Stalin. Kita tahu, bahwa Stalin, mungkin, belum mengenal iklim pemikiran masyarakat Indonesia. Seandainya, waktu itu Stalin datang ke Indonesia, beta yakin dia akan terkaget-kaget, "kok bisa Serikat Islam - merah - bisa bekerjasama dengan Sneevlit?" adalah suatu peristiwa yang sangat aneh sekali.

Kembali pada konteks pembahasan, yakni terkait pemikiran Tan yang sangat radikal sekali. Ada satu hal yang membuat beta tertarik pada pemikiran beliau, terutama saat beliau mengkritik LOGIKA MISTIK, yang menurutnya menghambat perjuangan komunis. Terkait ulasan logika mistik, anda bisa baca lagi blog saya sebelumnya.

Ada tiga poin utama yang menurutnya, logika mistik ini akan runtuh berkeping-keping. Pertama, apakah Tuhan lebih berkuasa dari hukum kepastian alam? Kedua, apakah Tuhan sama kuasanya dengan hukum alam? Dan ketiga, apakah Tuhan kurang kuasanya dari hukum alam?

Titik fokus beta dalam kesempatan kali ini ialah pada poin pertamanya itu. Tan mengatakan bahwa Tuhan tak punya kuasa terhadap hukum kepastian alam. Argumentasi beliau berpijak pada logika sains, yakni hukum evolusi Darwin dan gravitasi Newton.

Secara tersirat, Tan mengatakan bahwa, ketika Tuhan mengatakan "JADILAH" dan terjadilah alam semesta, maka alam ber-PROSES sesuai kodratnya sendiri. Sepanjang alam ini berproses, Tuhan tidak punya kebebasan untuk menghentikannya alih-alih Tuhan punya kelemahan. 

Bagaimana mungkin dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada? Bagaimana mungkin sesuatu yang tidak ada mempengaruhi yang ada? Tan mengilustrasikan ulasannya seperti seseorang yang sedang lapar. Katanya, lapar bukan berarti kenyang. Meskipun, anda - sebagai roh - berkata "kenyang" sampai 1000 kali pun, seseorang itu tidak akan pernah kenyang alih-alih selalu lapar.

Satu ilustrasi lagi dari Tan yang menurut beta sangat masuk akal terkait lemahnya Tuhan di hadapan hukum kepastian ini. Beliau mengilustrasikan seperti seorang pemikir "nakal" memperagakan kekuasaan hukum kepastian atas Tuhan (roh). Beta kutip ilustrasi Tan sebagai berikut.

Seorang pemikir nakal pernah berkata: yang kuat di alam ini selalu mengalahkan yang lemah. Hukum alam ini sudah termasuk dalam commonse sense (akal sehat). "Ini semut", katanya, "dan ini jari saya, lebih kuat dari semut itu", katanya terus. "Kalau ada Tuhan, yang bisa mencegah alam menjalankan hukum kepastiannya, maka tolonglah semut ini", katanya. Pada saat itu juga, ditekankannya jari pada semut yang lemah tadi. Semut itu pasti mati. 

Itulah quot erat demonstandum kata Tan Malaka. Ilustrasi Tan Malaka itu sangat masuk akal sekali, bahwa seolah-olah Tuhan tunduk pada hukum kepastian alam semesta. Entengnya, Tuhan tidak punya kebebasan melebih kebebasan hukum kepastian. 

Benarkah demikian? Apakah Tuhan tidak punya kuasa terhadap alam semesta sejak Dia menciptakannya? Apakah selama alam ini bekerja, Tuhan tidak hadir di dalamnya? Apakah sesuatu yang belum terjadi juga tidak ada pengaruh Tuhan di sana? Adalah sederet pertanyaan yang mesti kita refleksikan secara bersama-sama.

Ketika apel Newton jatuh ke Tanah, apakah tidak ada pengaruh Tuhan? Secara logika, apel jatuh ke tanah karena memang sudah waktunya untuk jatuh. Apakah kita dapat mempercepat keterjatuhan apel ke tanah? Logika akan menjawab, tentu sangat bisa, anda tinggal petik apelnya dan jatuhkan saja ke tanah, beres.

Kalau begitu, apakah sebelum kebebasan Anda memilih untuk menjatuhkan apel ke tanah, Tuhan tidak ada? Bukankah kebebasan memilih ini juga bagian dari hukum kepastian alam? Lantas, apakah di dalam kebebasan pilihan anda itu tidak ada Tuhan di sana?

Kalau anda punya kebebasan memilih, maka berarti anda juga bebas melakukan sesuatu yang negatif, mencelakakan kebebasan semesta, misalnya? Anda bebas memilih menjatuhkan apel ke tanah, padahal belum waktunya apel itu jatuh, apakah ini berarti anda melawan hukum kodrat dari kebebasan itu sendiri? Apakah tindakan anda itu merupakan pelanggaran atas etika yang sejati?

Apakah ketika anda ber-etika, maka Tuhan tidak ada ataukah benar-benar ada? Darimana Anda memperoleh hukum etika ini, apakah dari alam semesta atau dari Tuhan? Kalau memang dari alam, maka kenapa alam selalu punya kemauannya sendiri alih-alih terkadang bersifat destruktif? Apakah Anda mau mencelakakan diri Anda sendiri?

Di dalam kebebasan terselip hukum moral. Pertanyaannya, hukum moral ini bersumber dari mana? Apakah ajaran ini tiba-tiba langsung ada, bimsalabim, avadakabra? Ataukah melalui proses pergumuluan yang panjang? Siapakah yang menitipkan hukum moral ini ke dalam diri Anda?

(BERSAMBUNG)

Qashai Pelupessy
Maluku - Ambon
Jum'at, 03 Juli 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Islam Masuk ke Siri-Sori Islam

Sampai detik ini, sejarah masuknya Islam ke pulau Saparua, tepatnya di negeri Siri-Sori Islam masih menjadi misteri. Ada pendapat mengatakan bahwa masuknya Islam ke Siri-Sori Islam tepat pada tahun 1212 masehi. Apakah pendapat ini benar demikian? Wallahua’lam. Jika kita mengatakan Islam masuk ke Saparua, tepatnya di Siri-Sori Islam pada abad 11/12 masehi, maka bisa dikatakan bahwa pendapat itu “hampir” benar adanya. Memang, pada abad 11/12 masehi ini Islam masuk ke Nusantara dibawa saudagar muslim asal Persia. Buktinya ialah pengaruh bahasa Persia dikalangan kerajaan-kerajaan Nusantara tentang kebiasaan duduk “bersila”. Kata “bersila” ini diserap dari kitab ‘Ajaib Al-Hind dikarang oleh muslim Persia bernama Buzurg bin Shariyar Al-Ramhurmuzi abad 11 masehi. Sekarang, mari kita tengok budaya kerajaan kita (di Siri-Sori Islam), apakah ada kebiasaan duduk “bersila” di hadapan raja? Wallahua’lam. Kalau kita lihat budaya kita, mustahil ada budaya duduk bersila dihadapan raja. Artinya, hal in...

Kata "Tabea" sebagai Wujud Perilaku Sopan-santun Orang Maluku - Malut

Dialah Dieter Bartels, antropolog asal Jerman yang sudah puluhan tahun melakukan studi di Maluku, mengatakan bahwa, meskipun orang Maluku itu punya watak keras dan terkadang diperankan sebagai "preman" di kota-kota besar, namun banyak juga orang Maluku yang punya perangai cerdas, cerdik, dan berpengetahuan luas. Artinya, stigma keras kepala alih-alih kurang beradab yang melekat pada orang Maluku ialah suatu kekeliruan yang cukup besar.  Orang Maluku yang beradab ini dapat kita lihat dalam praktik kebudayaan, ada terselip nilai-nilai etis yang sangat tinggi. Salah-satu budaya yang dapat kita perlihatkan di sini ialah kata "tabea", biasa dipakai dalam komunikasi sehari-hari atau dalam upacara adat tertentu. Hampir setiap daerah yang ada di Indonesia bagian timur, kata "tabea" ini tak asing lagi di dengar khayalak umum.  Di Bone, Sulawesi Selatan, misalnya, ada kata "tabea" (dengan penghilangan huruf a menjadi tabe). Beta pernah dengar ...

Kata "Tabea" sebagai Bentuk Motivasi Orang Maluku - Malut

Di artikel sebelumnya, beta telah ulas mengenai kata "tabea" sebagai wujud perilaku sopan-santun. Sekarang ini, beta akan bahas perihal kata tabea sebagai "daya tonjok psikologis" atau bisa kita maknai sebagai motivasi diri. Kata "tabea" biasa dipraktikkan ketika seorang pemuda berjalan di depan orang tua, maka ia harus nunduk sambil membungkukkan badan, terus ia katakan "tabea - permisi".  Adakalanya juga kata "tabea" ini muncul dalam praktik tarian-tarian adat di Maluku, seperti tarian soya-soya (di Maluku Utara), dan sesekali kata itu juga diteriakkan para penari dalam tarian cakelele. Selain itu, kata tabea juga muncul dalam tradisi "arumbai manggurebe". Para kapitan atau malesi dalam beberapa kesempatan upacara adat, setelah mereka menutup sambutan akan dibarengi dengan teriakan, "tabea!" (dengan suara lantang), sontak masyarakat yang mendengar juga meneriakkan kata yang sama, "tabea!".  ...

PSIKOLOGI KRITIS (Sedikit Catatan)

"Jangan-jangan, psikologi yang saya pahami adalah buah dari kerja-kerja relasi kuasa di luar sana, yang saya tidak mengerti, tapi diam-diam masuk dan kita meyakininya sebagai kebenaran. Parahnya, kita mempraktikkannya tanpa kesadaran kritis" (Jumat, 11 Oktober 2024).  Asumsi itu muncul setelah saya baru selesai mengikuti kegiatan Konferensi Nasional yang diadakan oleh Fakultas Psikologi UGM. Kegiatan ini mengangkat tema "Menyala Indonesiaku: Psikologi sebagai Pilar Kesehatan Mental Generasi Emas". Dalam kegiatan itu, ada satu kajian yang menarik perhatian saya yakni, psikologi diskursus atau psikologi kritis. Sebuah kajian yang sedang saya minati belakangan ini. Berikut ini adalah sedikit dari catatan saya mengenai kegiatan itu yang kemudian saya gabungkan/menyadur dari artikel Prof. Teguh Wijaya Mulya.  .................. Teori-teori psikologi yang sudah mapan belum tentu dapat digunakan secara langsung untuk membaca fenomena psikologis di Indonesia. Perlu melihat ...