Belakangan ini beredar situs-situs polling Bakal Calon Bupati, Wakil Bupati, Walikota, Wakil Walikota, dst. Tampak, hasil hitungan polling itu terkesan menggiurkan, namun menyesatkan. Kalau kita sayang para Bakal Calon itu, maka sebaiknya polling ini jangan di lanjutkan.
Sebenarnya, yang wajib menerangkan tentang "tidak akuratnya" hitungan polling ini ialah para ahli statistik. Meskipun demikian, dalam ilmu psikologi, sering juga bersentuhan dengan statistik sebagai alat analisis data penelitian.
Hasil hitungan polling sangat tidak akurat. Paling tidak, yang terbaca dari hasil hitungan polling itu ialah upaya meng-goal-kan "Bakal Calon" menjadi "Calon Tetap".
Upaya itu memang baik, tapi bisa mendatangkan petaka di kemudian hari. Berikut akan dijelaskan tentang "tidak akuratnya" hasil hitungan polling, dan dampaknya bagi para "Bakal Calon" yang diharapkan menjadi "Calon Tetap". Polling ini tidak akurat karena:
- Subjek yang mengisi polling tidak representatif. Jika polling di sebarkan ke sosial media (facebook atau whatsapp), maka belum tentu yang mengisi polling itu para pemilih tetap.
- Polling juga tidak merepresentasikan batas usia. Artinya, subjek yang mengisi polling bisa dari usia mana saja, bahkan dibawah 17 tahun pun bisa mengisinya. Kita semua tahu bahwa individu yang berusia dibawah 17 tahun belum bisa menjadi pemilih tetap.
Dari dua kelemahan polling itu, maka bisa dikatakan bahwa polling sangat menyesatkan. Efek buruknya bukan hanya berimbas pada si pengusung Bakal Calon, tapi juga Bakal Calon itu sendiri. Seperti apa efek buruknya?
- Jika nantinya Bakal Calon menjadi Calon Tetap (aamiin), maka di momen pilkada akan bisa kalah telak. Sebab, subjek yang mengusungnya sebagai Calon Tetap bukanlah pemilih tetap berdasarkan polling.
- Secara psikologis, Bakal Calon akan mengalami tekanan psikologis yang luar biasa akibat para pengusung yang "tak bertanggungjawab". Sebab, pilkada besok tentu menguras "materi" dan "moril".
Itulah efek buruk dari euforia polling yang setiap hari menghampiri kita. Lantas, bagaimana solusinya?
- Lakukan komunikasi politik "tradisional" yakni dengan selalu menjaga tali silaturahmi lintas generasi yang notabene adalah pemilih tetap. Ini penting, di samping sebagai kekuatan massa, juga demi menjaga ritme psikologis agar selalu dalam kondisi stabil.
- Lepaskan diri dari ketergantungan pada polling, dan beralih pada SURVEI. Sebab, survei lebih akurat, dan subjek yang diharapkan untuk menjawab survei sangat representatif.
Qashai Pelupessy
Maluku - Ambon
Selasa, 21 Juli 2020
Komentar
Posting Komentar