Langsung ke konten utama

Antropolog Jerman, "Jangan Ragukan Loyalitas Orang Maluku pada Kampungnya"


Dieter Bartels, antropolog asal Jerman, mengatakan bahwa, "loyalitas orang Maluku paling utama ialah pada kampungnya, terus barulah pada negaranya". Pernyataan ini memang betul sekali. 

Loyalitas orang Maluku pada kampungnya ini bukan berarti sisi nasionalis orang Maluku itu melempem. Malah sebaliknya, semakin tinggi loyalitas orang Maluku pada kampung (asal-usulnya), maka semakin kuat sisi nasionalisnya pada negara. 

Kita sering dengar, banyak orang Maluku sering katakan, "Lakukan sesuatu dengan niat untuk kebaikan kampung" atau, "Demi menjaga nama baik kampung halaman". Perkataan ini menyiratkan falsafah hidup yang sangat dalam. 

Niat untuk kampung, ini membuat orang Maluku sadar dengan jati dirinya (asal-usulnya). Orang tua-tua sering bilang, "inga diri bae-bae". Mengenal asal-usul akan berpengaruh pada "striking force psychology" (daya tonjok psikologis). 

Mengenal asal-usul ini penting, sebab kita bisa tahu kapabilitas kita untuk bergerak. Ke mana pun kita tuju, insyaAllah pasti berhasil jika kita mengerti asal-usul. Selain itu, dengan niat untuk kampung, akan berpengaruh pada munculnya kohesi sosial. 

Berbagai tradisi di Maluku, seperti "panas pela", "makan patita", dan terkhusus di Siri-Sori Islam ialah "ilouwe basudarao", ini merupakan wujud dari kohesi sosial akibat "niat untuk kampung halaman". 

Kohesi sosial akan memperkuat sendi-sendi kehidupan, sehingga cita-cita membangun negeri baik di tingkat desa, provinsi, bahkan nasional akhirnya dapat tercapai maksimal. Sudah menjadi petuah para leluhur, sekaligus doa mereka, "inga diri bae-bae".

Qashai Pelupessy
Maluku - Ambon
Senin, 20 Juli 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Permainan Hidup

Di saat realita berganti wajah,  kau hadir, selalu tanpa esensi.  Kadang kau bahagia, hari ini kau sengsara,  besok kau memuakkan.  Hidup. Memang sebatas permainan.  Gelar yang kau bawa ke mana-mana,  di tempel di atas almanak,  undangan, koran, brosur, pamflet,  dan sejenisnya,  tak ku temukan esensi di sana.  Memang, hidup hanya sebatas permainan.  Aku melihat, sarjana hukum,  tak paham arti keadilan.  Aku melihat, sarjana ekonomi,  tak paham arti kesejahteraan.  Aku melihat, sarjana fisika, kimia, tak paham arti keharmonisan alam.  Aku melihat, sarjana sosiologi,  tak paham arti kerukunan.  Aku melihat, sarjana politik.  tak paham arti etika politik.  Aku melihat, sarjana filsafat,  tak paham arti kebijaksanaan. Kau hadir, selalu tanpa esensi.  Memang, hidup sebatas permainan.  Hanya sedikit yang p aham arti keadilan, kesejahter...

Jalan-jalan ke Benteng Amsterdam, Bertemu Putri Duyung-nya Rumphius

Hari ini, beta ingin menceritakan tentang pengalaman beta jalan-jalan ke benteng Amsterdam, desa Hila, kecamatan Leihitu, Maluku Tengah. Di Maluku, benteng-benteng peninggalan Portugis, Belanda, dan Spanyol terlampau banyak.  Ada benteng Victoria di pusat kota Ambon, benteng Durstede di pulau Saparua, benteng Orange di Ternate, benteng Kastela, benteng Toloko, dan masih banyak lagi. Hadirnya beberapa benteng ini membuktikan bahwa Maluku pada masanya sempat menjadi pusat perniagaan rempah-rempah.  Dalam beberapa catatan sejarah, seperti yang di tulis Adnan Amal, bahwa setiap benteng memiliki fungsinya masing-masing. Misalnya, benteng Victoria atau benteng Kastela, biasanya digunakan sebagai kantor Gubernur. Ada juga benteng yang berfungsi sebagai lokasi pertahanan, seperti benteng Toloko.  Selain itu, ada juga benteng yang digunakan sebagai tempat penyimpanan rempah-rempah (loji), seperti benteng Amsterdam. Benteng Amsterdam ialah salah-satu benteng yan...

"MITOS PRIBUMI MALAS"

( Ilustrasi pribumi. Lukisan ) Istilah "mitos pribumi malas" ini saya temui dari buku hasil penelitian yang ditulis Tania Murray Li dan Pujo Semedi (2022). Buku itu berjudul "Hidup Bersama Raksasa". Maksudnya, masyarakat hidup bersama perusahaan perkebunan. Kembali ke soal istilah, "Apakah pribumi kita benar-benar berwatak pemalas? Ataukah ini hanya mitos saja agar kita merasa inferior dalam mengelola sumber daya yang ada secara mandiri dan harmonis?" Jika kita periksa lembar-lembar sejarah, kita akan temui banyak fakta tentang mustahilnya pribumi kita punya watak pemalas. Kalau pribumi kita pemalas, maka tidak mungkin waktu itu pribumi kita bisa membuat perahu lalu mengarungi samudra sampai ke Madagaskar. Mustahil juga pribumi kita waktu itu melakukan perdagangan internasional sampai di anak benua India, lalu dari situ bahan-bahan dagang kita (putik cengkih, lada, dan pala) tersebar ke seluruh Eropa.  Usaha pribumi kita melakukan perdagangan internasional...

Baileo sebagai Tempat Musyawarah ("Hablumminannas?)

Baileo (rumah adat), di berbagai negeri/desa punya bentuk/arsitektur yang cukup beragam. Ada Baileo patasiwa dan ada patalima. Ulasan patasiwa dan patalima punya kontroversi tersendiri (bisa baca di buku Bartels). Karena kontroversi, maka Beta tidak masuk ke pembahasan tsb. Beta mau lihat, sejauhmana makna bangunan Baileo ini dibalik kepala orang Maluku. Baileo identik dengan istilah "balai" (istilah ini masih di perdebatkan), adalah tempat musyawarah para tetuah. Dalam sejarah manusia (bisa baca buku Yuval Noah Harari), masyarakat mulai mengenal sistem musyawarah ini sejak manusia lepas dari sistem berburu-meramu-nomaden. Harari mengatakan, perpindahan dari sistem berpikir nomaden ke masyarakat "fiksi - kognitif" yang mengandalkan akal sebagai alat musyawarah, adalah loncatan peradaban yang sangat luar biasa sekali. Artinya, jika kita turunkan ulasan ini ke makna "Baileo" maka sebetulnya masyarakat kita zaman dulu punya sistem berpikir yang s...