Dialah Dieter Bartels, antropolog asal Jerman yang sudah puluhan tahun melakukan studi di Maluku, mengatakan bahwa, meskipun orang Maluku itu punya watak keras dan terkadang diperankan sebagai "preman" di kota-kota besar, namun banyak juga orang Maluku yang punya perangai cerdas, cerdik, dan berpengetahuan luas. Artinya, stigma keras kepala alih-alih kurang beradab yang melekat pada orang Maluku ialah suatu kekeliruan yang cukup besar.
Orang Maluku yang beradab ini dapat kita lihat dalam praktik kebudayaan, ada terselip nilai-nilai etis yang sangat tinggi. Salah-satu budaya yang dapat kita perlihatkan di sini ialah kata "tabea", biasa dipakai dalam komunikasi sehari-hari atau dalam upacara adat tertentu. Hampir setiap daerah yang ada di Indonesia bagian timur, kata "tabea" ini tak asing lagi di dengar khayalak umum.
Di Bone, Sulawesi Selatan, misalnya, ada kata "tabea" (dengan penghilangan huruf a menjadi tabe). Beta pernah dengar orang Lombok, dan juga Bima, pernah mengatakan kata "tabe" ini. Di Maluku Utara, yakni Ternate dan sekitarnya, kata "tabea" sering muncul dalam komunikasi sehari-hari. Orang Maluku pada umumnya, di pulau Ambon, Haruku, Seram, dan pulau Lease, juga sering memakai kata "tabea" dalam upacara adat atau saat penyambutan orang "besar" (bangsawan; bupati, dll).
Kata "tabea" yang dipraktikkan masyarakat itu, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun pada saat upacara adat tertentu, dapat dikatakan memiliki makna yang cukup dalam. Orang Maluku Utara, dan juga Bone, Lombok, Bima, dan sekitarnya, biasa mempraktikkan kata "tabea atau tabe" dalam kehidupan sehari-hari. Mereka mengartikan kata "tabea atau tabe" sebagai "permisi".
Sedangkan, di pulau Ambon, Haruku, Seram, Nusalaut, dan pulau-pulau Lease, mempraktikkan kata "tabea" ini pada saat upacara adat atau penyambutan orang besar (raja, bupati, dll). Masyarakat memaknai kata "tabea" sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur atau orang besar (bangsawan; raja, bupati, dll). Dari ulasan singkat itu, kata "tabea atau tabe" yang dipraktikkan masyarakat di berbagai daerah punya motif yang cukup berbeda-beda, namun tujuannya tetap sama yakni suatu bentuk pola perilaku sopan-santun dalam kehidupan bermasyarakat.
Sampai detik ini, beta punya feeling, dalam kamus bahasa Indonesia, ada kata "tabiat" mungkin diserap dari kata "tabe atau tabea" ini. Apakah benar demikian? Ataukah kata "tabiat" dalam bahasa Indonesia itu serapan dari bahasa Melayu? Mungkin perlu ditelusuri lebih dalam lagi. Sebab, jika kita dalami makna dibalik kata "tabiat" sebetulnya punya arti identik dengan kata "tabe atau tabea" pada hal-hal tertentu.
Tabiat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai perangai, ialah suatu bentuk perilaku yang memiliki dua maksud yakni baik dan buruk. Kita biasa mengatakan, "Tabiat dia kurang bagus, tidak sopan" atau "Tabiat dia bagus, sopan". Pada hal-hal tertentu, kata tabiat mirip dengan "tabea atau tabe" yakni suatu bentuk perilaku sopan-santun. Namun, di satu sisi, ketika kata tabiat diartikan sebagai wujud perilaku jelek (tarbae, seng bagus), maka kata itu menjadi tidak selaras dengan kata "tabea atau tabe".
Kembali pada konteks pembahasan, yakni kata "tabea" dipraktikkan dalam komunikasi sehari-hari masyarakat Maluku Utara, dan juga dalam upacara adat di Maluku (pulau Ambon, Lease, Haruku, dan Seram). Anak muda Maluku Utara (Ternate, Tidore, Halmahera, dan sekitarnya), ketika lewat di depan orang tua-tua, mereka (anak muda) sambil membungkukkan badan lalu mengatakan "tabea - permisi". Tampak, praktik tabea itu lintas usia (dari anak muda terhadap orang tua). Namun, pada situasi tertentu, kata tabea juga dipraktikkan dalam posisi sesama usia, yakni ketika seseorang meminta pertolongan dari orang lain.
Praktik tabea dalam konteks masyarakat Maluku Utara, berbeda dengan yang ada di Maluku (pulau Ambon, Lease, Haruku, dan Seram). Di pulau Lease, khususnya di Saparua, Siri-Sori Islam misalnya, kata tabea dipraktikkan pada saat ritual adat (pelantikan raja, cuci negeri, dll) atau saat penyambutan orang besar (bangsawan; bupati, walikota, dll). Makna kata tabea itu terselip "komunikasi adab" lintas fisik atau bahkan lintas roh (suatu penghormatan kepada para leluhur).
Meskipun demikian, di pulau Seram, khusunya suku Alifuru, Wemale, Alune, dan sekitarnya, mereka tidak mempraktikkan kata tabea dalam konteks tertentu, namun mereka lebih menggunakan kata "hormate", yang punya tujuan spesifik identik dengan kata tabea yakni suatu bentuk perilaku sopan-santun (hal ini perlu di telusuri lebih dalam lagi). Singkatnya, dari ulasan tersebut di atas, bahwa orang Maluku punya nilai-nilai etis sopan-santun yang sangat tinggi, terlihat dari praktik kata tabea itu sendiri. Inilah wujud "komunikasi adab" orang Maluku.
Qashai Pelupessy
Maluku - Ambon
Sabtu, 11 Juli 2020
Komentar
Posting Komentar