Langsung ke konten utama

Filosofi Sagu dan Kekuatan Karakter


Maluku menyimpan alam yang eksotis. Ada pantai pasir putih Liang. Pulau Molana yang indah. Sunset teluk Ambon yang megah. Dan puncak Binaya, cocok untuk para pencari ketenangan. Keindahan alam Maluku, alhamdulillah, belum terjamah kaki-kaki usil. Belum terjajah oleh para “penikmat alam”, yang tendensinya hanya merusak alam.

Maluku, termasuk salah-satu provinsi seribu pulau di Indonesia. Setiap gugusan pulau diselimuti hutan lebat. Jangan heran, Dowes Dekker mengistilahkan, zamrud khatulistiwa. Mungkin karena itu juga, bung Pramoedya mendapat inspirasi di Pulau Buru. Warna hijau sangat menenteramkan mata. Cocok untuk para pencari gagasan peradaban demi masa depan yang gemilang.

Sembilan puluh persen wilayah Maluku ialah laut. Laut punya sifat tersendiri. Ulasan kang Yudi Latif dalam bukunya Negara Paripurna, bahwa salah-satu sifat laut ialah menyerap dan membersihkan.

Kata “menyerap” berarti terbuka menerima pandangan yang berbeda dan “membersihkan” ialah meniadakan hal-hal yang dapat merusak siklus kehidupan masyarakat. Sifat laut ini relevan dengan watak orang Maluku.

Selain menyimpan alam yang indah dan sifat kelautan, kuliner orang Maluku juga mengandung sisi psikologis tersendiri. Makanan khas orang Maluku ialah sagu, punya nilai intrinsik unik dan menarik untuk di bahas sekarang. Sagu (metroxylon) merupakan tanaman asli Indonesia yang tergolong jenis palem. Indonesia memiliki lahan sagu terbesar di dunia, yakni 2,21 juta hektar dan 94.494 hektar di antaranya ada di Maluku.

Ada lima jenis pohon sagu di Maluku yakni sagu tuni, sagu ihur, sagu makanaru, sagu duri rotan, dan sagu molat. Biasanya, sagu diolah menjadi papeda, sagu lempeng, bagea, sagu tumbu, dan sinoli. Hasil olahan ini diambil dari pati batang pohon sagu. Sepuluh tahun belakangan, sagu telah mengalami proses modernisasi. Proses ini melahirkan olahan sagu menjadi bolu, brownies, pizza, stick sagu, bakso, dan sun (makanan bayi).

Artinya, meskipun kuliner orang Maluku telah mengalami proses modernisasi, namun tetap mempertahankan sagu sebagai primadona utamanya. Orang Maluku biasanya makan sagu ditemani secangkir kopi hangat atau teh. Sedangkan, untuk makan popeda biasanya di kombinasikan dengan kuah ikan segar dan sayur.

Jika dilihat dari perspektif psikologi indigenous, makanan sagu ini mengandung makna psikologis tersendiri. Sisi psikologis dari makanan sagu menggambarkan sikap tegak dan tegar; berkarakter kuat seperti kulit pohon sagu, tapi dibalik itu memiliki hati yang baik dan bersih seperti pati batang pohon sagu.

Qashai Pelupessy
Maluku - Ambon
Rabu, 08 Juli 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Islam Masuk ke Siri-Sori Islam

Sampai detik ini, sejarah masuknya Islam ke pulau Saparua, tepatnya di negeri Siri-Sori Islam masih menjadi misteri. Ada pendapat mengatakan bahwa masuknya Islam ke Siri-Sori Islam tepat pada tahun 1212 masehi. Apakah pendapat ini benar demikian? Wallahua’lam. Jika kita mengatakan Islam masuk ke Saparua, tepatnya di Siri-Sori Islam pada abad 11/12 masehi, maka bisa dikatakan bahwa pendapat itu “hampir” benar adanya. Memang, pada abad 11/12 masehi ini Islam masuk ke Nusantara dibawa saudagar muslim asal Persia. Buktinya ialah pengaruh bahasa Persia dikalangan kerajaan-kerajaan Nusantara tentang kebiasaan duduk “bersila”. Kata “bersila” ini diserap dari kitab ‘Ajaib Al-Hind dikarang oleh muslim Persia bernama Buzurg bin Shariyar Al-Ramhurmuzi abad 11 masehi. Sekarang, mari kita tengok budaya kerajaan kita (di Siri-Sori Islam), apakah ada kebiasaan duduk “bersila” di hadapan raja? Wallahua’lam. Kalau kita lihat budaya kita, mustahil ada budaya duduk bersila dihadapan raja. Artinya, hal in...

Kata "Tabea" sebagai Wujud Perilaku Sopan-santun Orang Maluku - Malut

Dialah Dieter Bartels, antropolog asal Jerman yang sudah puluhan tahun melakukan studi di Maluku, mengatakan bahwa, meskipun orang Maluku itu punya watak keras dan terkadang diperankan sebagai "preman" di kota-kota besar, namun banyak juga orang Maluku yang punya perangai cerdas, cerdik, dan berpengetahuan luas. Artinya, stigma keras kepala alih-alih kurang beradab yang melekat pada orang Maluku ialah suatu kekeliruan yang cukup besar.  Orang Maluku yang beradab ini dapat kita lihat dalam praktik kebudayaan, ada terselip nilai-nilai etis yang sangat tinggi. Salah-satu budaya yang dapat kita perlihatkan di sini ialah kata "tabea", biasa dipakai dalam komunikasi sehari-hari atau dalam upacara adat tertentu. Hampir setiap daerah yang ada di Indonesia bagian timur, kata "tabea" ini tak asing lagi di dengar khayalak umum.  Di Bone, Sulawesi Selatan, misalnya, ada kata "tabea" (dengan penghilangan huruf a menjadi tabe). Beta pernah dengar ...

Kata "Tabea" sebagai Bentuk Motivasi Orang Maluku - Malut

Di artikel sebelumnya, beta telah ulas mengenai kata "tabea" sebagai wujud perilaku sopan-santun. Sekarang ini, beta akan bahas perihal kata tabea sebagai "daya tonjok psikologis" atau bisa kita maknai sebagai motivasi diri. Kata "tabea" biasa dipraktikkan ketika seorang pemuda berjalan di depan orang tua, maka ia harus nunduk sambil membungkukkan badan, terus ia katakan "tabea - permisi".  Adakalanya juga kata "tabea" ini muncul dalam praktik tarian-tarian adat di Maluku, seperti tarian soya-soya (di Maluku Utara), dan sesekali kata itu juga diteriakkan para penari dalam tarian cakelele. Selain itu, kata tabea juga muncul dalam tradisi "arumbai manggurebe". Para kapitan atau malesi dalam beberapa kesempatan upacara adat, setelah mereka menutup sambutan akan dibarengi dengan teriakan, "tabea!" (dengan suara lantang), sontak masyarakat yang mendengar juga meneriakkan kata yang sama, "tabea!".  ...

PSIKOLOGI KRITIS (Sedikit Catatan)

"Jangan-jangan, psikologi yang saya pahami adalah buah dari kerja-kerja relasi kuasa di luar sana, yang saya tidak mengerti, tapi diam-diam masuk dan kita meyakininya sebagai kebenaran. Parahnya, kita mempraktikkannya tanpa kesadaran kritis" (Jumat, 11 Oktober 2024).  Asumsi itu muncul setelah saya baru selesai mengikuti kegiatan Konferensi Nasional yang diadakan oleh Fakultas Psikologi UGM. Kegiatan ini mengangkat tema "Menyala Indonesiaku: Psikologi sebagai Pilar Kesehatan Mental Generasi Emas". Dalam kegiatan itu, ada satu kajian yang menarik perhatian saya yakni, psikologi diskursus atau psikologi kritis. Sebuah kajian yang sedang saya minati belakangan ini. Berikut ini adalah sedikit dari catatan saya mengenai kegiatan itu yang kemudian saya gabungkan/menyadur dari artikel Prof. Teguh Wijaya Mulya.  .................. Teori-teori psikologi yang sudah mapan belum tentu dapat digunakan secara langsung untuk membaca fenomena psikologis di Indonesia. Perlu melihat ...