Langsung ke konten utama

Hadir 4300 Agama, Tuhan di Otak, dan Kemaslahatan


Saat ini, tercatat ada sekitar 4.300 agama di dunia. Setiap agama punya ciri khas tersendiri, mulai dari yang disebut monoteisme (agama Langit), politeisme (agama Bumi), bahkan teisme (agama Kemanusiaan). Para penganutnya punya kecenderungan yang sama, yakni meyakini suatu zat Maha Tinggi, dengan beragam penamaan yang melekat padanya. 

Agama Zoroaster, salah-satu agama tertua di bumi, memanggil zat Maha Tinggi dengan sebutan Ahura Madza. Agama ini lahir 1.500 sampai 1.000 tahun sebelum masehi, atau sekitar 700 tahun sebelum era filsuf Socrates. Seiring berjalannya waktu, muncul agama-agama: Hindu, Budha, Yahudi, Kristen, Islam, dan masih banyak lagi. 

Yahudi memanggil Tuhan mereka, Yahweh. Orang Kristen, dalam kitab Perjanjian Baru, kadang menyebut Tuhan sebagai Theos, kadang Kyrios, dan kadang juga di sebut Pater (bahasa Yunani: Bapa). Orang Islam memanggil Tuhan dengan sebutan Allah. Dan masih banyak sebutan nama-nama Tuhan lainnya.

Fakta-fakta itu semakin membuktikan bahwa Tuhan - apapun namanya - selalu bersemayam dalam pikiran (otak) manusia. Meskipun nama-nama Tuhan berevolusi sepanjang perjalanan sejarah umat manusia (terjemahan bebas dari perkataan Karen Armstrong dalam buku Sejarah Tuhan), namun yang dituju tetap sama yakni zat Maha Tinggi itu sendiri. Manusia tidak bisa melepaskan zat Maha Tinggi dari kehidupan. 

Semakin manusia berusaha melepaskan-Nya, maka semakin manusia terjerembab pada Tuhan yang baru. Nurcholish Madjid mengatakan, meskipun Komunis itu tampak atheis sekalipun, namun mereka tetap juga menyembah sang Maha Kudus yakni patung Stalin, Lenin, Mao Tse, Marx, dll. Artinya, pikiran (otak) manusia tidak bisa lepas dari "kebutuhan" akan hadirnya Tuhan. 

Dalam dunia sains, meskipun kebenaran yang dipegang para ilmuwan bersifat relatif, namun terkadang juga terjerembab pada absolutisme, dengan anggapan bahwa sains ialah satu-satunya jalan Kebenaran (dengan huruf "K" besar). Di sinilah muncul saintisme, yakni pemahaman ilmuwan bahwa sains adalah zat Maha Tinggi itu sendiri. 

Apa sih, sebenarnya yang ada di balik otak manusia itu? Sampai-sampai tetap mencari pegangan (suatu zat Maha Tinggi) untuk menjalani hidup ini? Ada satu temuan dari Colombia University dan Yale University, tahun 2019 lalu. Mereka mempublikasi temuannya di Journal Neuro Science: Celebral Cortex. Dari hasil temuan mereka menemukan bahwa ada satu lokasi otak yang disebut "parietal cortex".

Mereka menemukan bahwa parietal cortex ini aktif ketika seseorang "membayangkan" dirinya sedang berkomunikasi dengan zat Maha Tinggi. Hasil riset itu ditemukan pada subjek dari berbagai latar belakangan agama berbeda-beda. Para penganut agama apapun itu, ketika sedang membayangkan dirinya berkomunikasi dengan zat Maha Tinggi, maka bagian dalam otak yang disebut "parietal cortex" ini menjadi aktif. 

Berdasarkan temuan itu, maka bisa dikatakan bahwa Tuhan selalu ada dalam otak manusia. Melepaskan Tuhan dari kehidupan sama saja dengan melawan kodrat manusia. Kemana pun manusia tuju, selalu ada bayang-bayang Tuhan dalam otaknya. Zat Maha Tinggi ini cenderung memberi kemaslahatan bagi alam semesta. 

Capaian manusia dalam ber-Tuhan ialah kedamaian di dunia dan di akhirat. Lawan dari kedamaian ialah kesengsaraan, tentu dalam logika (otak) manusia akan menolaknya, begitu pun dengan Tuhan. Dari sini, bisa dikatakan bahwa, setiap produk kreatif manusia, yakni budaya, sains, agama, dll, adalah juga bersumber dari Tuhan, yang semua itu punya tujuan mencapai taraf kedamaian atau kemaslahatan semuanya. 

Qashai Pelupessy
Maluku - Ambon
Jumat, 10 Juli 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Permainan Hidup

Di saat realita berganti wajah,  kau hadir, selalu tanpa esensi.  Kadang kau bahagia, hari ini kau sengsara,  besok kau memuakkan.  Hidup. Memang sebatas permainan.  Gelar yang kau bawa ke mana-mana,  di tempel di atas almanak,  undangan, koran, brosur, pamflet,  dan sejenisnya,  tak ku temukan esensi di sana.  Memang, hidup hanya sebatas permainan.  Aku melihat, sarjana hukum,  tak paham arti keadilan.  Aku melihat, sarjana ekonomi,  tak paham arti kesejahteraan.  Aku melihat, sarjana fisika, kimia, tak paham arti keharmonisan alam.  Aku melihat, sarjana sosiologi,  tak paham arti kerukunan.  Aku melihat, sarjana politik.  tak paham arti etika politik.  Aku melihat, sarjana filsafat,  tak paham arti kebijaksanaan. Kau hadir, selalu tanpa esensi.  Memang, hidup sebatas permainan.  Hanya sedikit yang p aham arti keadilan, kesejahter...

Jalan-jalan ke Benteng Amsterdam, Bertemu Putri Duyung-nya Rumphius

Hari ini, beta ingin menceritakan tentang pengalaman beta jalan-jalan ke benteng Amsterdam, desa Hila, kecamatan Leihitu, Maluku Tengah. Di Maluku, benteng-benteng peninggalan Portugis, Belanda, dan Spanyol terlampau banyak.  Ada benteng Victoria di pusat kota Ambon, benteng Durstede di pulau Saparua, benteng Orange di Ternate, benteng Kastela, benteng Toloko, dan masih banyak lagi. Hadirnya beberapa benteng ini membuktikan bahwa Maluku pada masanya sempat menjadi pusat perniagaan rempah-rempah.  Dalam beberapa catatan sejarah, seperti yang di tulis Adnan Amal, bahwa setiap benteng memiliki fungsinya masing-masing. Misalnya, benteng Victoria atau benteng Kastela, biasanya digunakan sebagai kantor Gubernur. Ada juga benteng yang berfungsi sebagai lokasi pertahanan, seperti benteng Toloko.  Selain itu, ada juga benteng yang digunakan sebagai tempat penyimpanan rempah-rempah (loji), seperti benteng Amsterdam. Benteng Amsterdam ialah salah-satu benteng yan...

"MITOS PRIBUMI MALAS"

( Ilustrasi pribumi. Lukisan ) Istilah "mitos pribumi malas" ini saya temui dari buku hasil penelitian yang ditulis Tania Murray Li dan Pujo Semedi (2022). Buku itu berjudul "Hidup Bersama Raksasa". Maksudnya, masyarakat hidup bersama perusahaan perkebunan. Kembali ke soal istilah, "Apakah pribumi kita benar-benar berwatak pemalas? Ataukah ini hanya mitos saja agar kita merasa inferior dalam mengelola sumber daya yang ada secara mandiri dan harmonis?" Jika kita periksa lembar-lembar sejarah, kita akan temui banyak fakta tentang mustahilnya pribumi kita punya watak pemalas. Kalau pribumi kita pemalas, maka tidak mungkin waktu itu pribumi kita bisa membuat perahu lalu mengarungi samudra sampai ke Madagaskar. Mustahil juga pribumi kita waktu itu melakukan perdagangan internasional sampai di anak benua India, lalu dari situ bahan-bahan dagang kita (putik cengkih, lada, dan pala) tersebar ke seluruh Eropa.  Usaha pribumi kita melakukan perdagangan internasional...

Baileo sebagai Tempat Musyawarah ("Hablumminannas?)

Baileo (rumah adat), di berbagai negeri/desa punya bentuk/arsitektur yang cukup beragam. Ada Baileo patasiwa dan ada patalima. Ulasan patasiwa dan patalima punya kontroversi tersendiri (bisa baca di buku Bartels). Karena kontroversi, maka Beta tidak masuk ke pembahasan tsb. Beta mau lihat, sejauhmana makna bangunan Baileo ini dibalik kepala orang Maluku. Baileo identik dengan istilah "balai" (istilah ini masih di perdebatkan), adalah tempat musyawarah para tetuah. Dalam sejarah manusia (bisa baca buku Yuval Noah Harari), masyarakat mulai mengenal sistem musyawarah ini sejak manusia lepas dari sistem berburu-meramu-nomaden. Harari mengatakan, perpindahan dari sistem berpikir nomaden ke masyarakat "fiksi - kognitif" yang mengandalkan akal sebagai alat musyawarah, adalah loncatan peradaban yang sangat luar biasa sekali. Artinya, jika kita turunkan ulasan ini ke makna "Baileo" maka sebetulnya masyarakat kita zaman dulu punya sistem berpikir yang s...